Tahun 183 H bisa dikatakan sebagai tahun kesedihan bagi kaum Muslimin. Selain karena di tahun ada lebih dari 100.000 kaum muslimin Armenia tewas oleh serangan Bangsa Khazar. Pada tahun ini juga seorang tokoh terkemuka Bani Hasyim bernama Musa bin Ja’far Al-Shadiq meninggal di dalam penjara bawah tanah Harun Al Rasyid.
Tahun 183 H bisa dikatakan tahun yang menyedihkan bagi kaum Muslimin. Jumlah korban yang jatuh dalam agresi bangsa Khazar ke Armenia memberi pukulan hebat pada mereka, khususnya Harun Al-Rasyid. Ditambah lagi, pada tahun ini juga, salah seorang tokoh paling terkemuka di kalangan umat Islam meninggal dunia di dalam penjara Harun Al-Rasyid.
Namanya Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, atau lebih dikenal sebagai Musa Al-Kazhim. Biografer Islam terkenal, Al-Dzahabi, dalam karya ensiklopediknya, Siyar A’lam Al-Nubala, menyebut Musa Al-Kazhim sebagai imam dan panutan. Dia mengutip berbagai riwayat yang menuturkan ketekunan ibadah, kemuliaan kepribadian, keluhuran budi pekerti dan ketinggian ilmu sosok ini. Menukil pendapat penulis biografi perawi hadis Abu Hatim Ibn Hibban (wafat 354 H) yang menyatakan bahwa Al-Kazhim adalah salah satu dari imam-imam kaum Muslimin.[1]
Al-Kazhim dapat dikatakan sebagai tokoh Bani Hasyim yang paling menonjol di zamannya. Ketika yang lain sibuk dalam pergulatan politik profan, Al-Kazhim lebih memilih jalur perjuangan spiritual dan intelektual seperti ayahnya, Ja’far Al-Shadiq.
Tapi ternyata, hal inilah yang membuatnya lebih dikhawatirkan oleh Harun Al-Rasyid. Di tengah semaraknya gairah ilmu pengetahuan di dunia Islam, kedudukan orang-orang seperti Musa Al-Kazhim menjadi sangat berbahaya. Karena masyarakat, ternyata sangat menggandrungi sosok ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Akbar Shah Najeebabadi, Harun Al-Rasyid khawatir kalau-kalau masyarakat khususnya kekuatan politik yang mendukung keluarga Ali bin Abi Thalib akan membaiat Musa Al-Kazhim sebagai pemimpin revolusi. Atas dasar pertimbangan inilah Musa Al-Kazhim kemudian ditahan di penjara bawah tanah oleh Harun Al-Rasyid. Dan pada 25 Rajab 183 H, tokoh ini wafat di dalam penjara tersebut.[2]
Berita tentang meninggalnya Musa Al-Kazhim memberikan pukulan tersendiri bagi masyarakat, khususnya mereka yang bercimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Kelak, putra Musa Al-Kazhim yang bernama Ali bin Musa, akan menjadi tokoh penting di era pemerintahan Al-Ma’mun, yang juga disebut sebagai puncak masa kejayaan peradaban Islam.
Pada tahun 184 H, Harun Al-Rasyid berhasil mematenkan kekuasaan Islam di wilayah Afrika Utara. Dia melantik sosok bernama Ibrahim bin al-Aghlab sebagai gubernur yang bertangungjawab atas seluruh wilayah Afrika Utara (Ifriqiyah). Ibrahim kemudian memilih Kota Kairouan (di Tunisia) sebagai ibu kota pemerintahannya. Untuk menyatakan kesetiaannya pada pemerintahan Harun Al-Rasyid, Ibrahim bin al-Aghlab menamai kota ini dengan Abbasiyah.[3]
Kelak, anak keturunan Ibrahim yang melanjutkan kekuasaan di wilayah ini berhasil mendirikan Kesultanan Ifriqiyah, yang beribu kota di Kairouan. Selama berada di bawah pemerintahan mereka, Kota Kairouan berkembang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di kawasan Afrika Utara. Di sinilah pula nantinya didirikan Universitas Kairouan yang merupakan universitas pertama di muka bumi. Pendirinya adalah seorang Muslimah bernama Fatimah Al-Fihri.[4] Dari model pendidikan yang berlangsung dalam universitas inilah tradisi intelektual modern yang kita nikmati sekarang berasal. Eammon Gaeron menyebut momentum berdirinya Universitas Kaurouan sebagai titik balik dalam sejarah peradaban Islam dan dunia.[5]
Pada tahun 185 H, untuk pertama kalinya bisikan dari Yahya bin Khalid tidak didengar oleh Harun Al-Rasyid. Ini terjadi ketika Harun menunjukkan Ali bin Isa bin Mahan sebagai gubernur Khurasan. Ali bin Isa adalah orang yang keras dalam merespon ancaman subversif sekecil apapun. Yahya menilai bahwa karakter semacam itu tidak layak mengelola provinsi sebesar Khurasan. Terlebih di sana orang-orangnya memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat Arab. Tapi hal ini ditolak tegas oleh Harun Al-Rasyid. Harun tetap berkeras menunjukkan Ali bin Isa sebagai gubernur di sana.
Terkait pengangkatan Ali bin Isa. Sebagian pendapat mengatakan bahwa ketidaksetujuan Yahya bin Khalid lebih disebabkan alasan kesukuan (ashobiyah). Karena Yahya berasal dari Persia, dan Khurasan dihuni oleh masyarakat Persia. Mereka adalah orang-orang yang sama dengan Yahya. Dia tidak ingin karakter Ali bin Isa yang demikian tegas menyakiti orang-orang di wilayah tersebut.
Ali bin Isa pun tidak menyia-nyiakan kepercayaan Harun Al-Rasyid. Dia dengan cekatan berhasil menumpas semua ancaman subversif pada negara. Bahkan, Isa bin Ali bin Isa, putra dari gubernur Khurasan, berhasil meluaskan kekuasaan Bani Abbas hingga ke Kabul, Zabulistan dan Qandahar (wilayah Afganistan sekarang). Seorang penyair bernama Abu Al-Udhafi dalam syairnya menggambarkan Isa bin Ali bin Isa hampir mirip seperti Iskandar Agung (Alexander The Great), karena dia bisa menggapai dua wilayah timur dan dua wilayah barat.[6]
Pada tahun 186 H, apa yang dikhawatirkan Yahya bin Khalid ternyata terbukti. Ali bin Isa menebar teror di tengah masyarakat dengan kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini kemudian diadukan oleh masyarakat kepada Harun Al-Rasyid melalui Yahya bin Khalid. Yahya pun meminta agar Harun mempertimbangkan kembali keputusan pengangkatan Ali bin Isa sebagai gubernur di Khurasan.[7]
Mendengar hal ini, Harun kemudian berangkat ke Khurasan untuk meninjau langsung keadaan di sana. Mendengar rencana kedatangan Harun, Ali bin Isa langsung mencari tau tentang jalur perjalanan Harun. Ketika diketahui Harun berkemah di daerah Rayy (Iran sekarang), bergegaslah Ali bin Isa menemui Harun Al-Rasyid. Dia membawa sejumlah hadiah dan upeti yang banyak untuk dipersembahkan pada khalifah. Dalam kesempatan itu dia menyatakan dengan sungguh-sungguh kesetiaannya pada Dinasti Abbasiyah dan kekhalifahan Harun Al-Rasyid.[8]
Melihat loyalitas dan kesungguhan Ali bin Isa, Harun pun luluh. Dalam kesempatan itu dia langsung memutuskan mengukuhkan kedudukan Ali bin Isa bin Mahan sebagai gubernur Khurasan. Tidak sampai di sana. Dia juga memberikan wilayah Rayy, Tabaristan, Nahrawan, Qomas dan Hamdan dalam satu wilayah di bawah kepemimpinan Ali bin Isa.[9] Dengan kata lain, pada saat itu, Ali bin Isa diberikan nyaris 1/3 kekhalifahan Abbasiyah. Sedang pengaruh Yahya bin Khalid, sejak saat itu makin meredup dan berada diujung tanduk. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Imam Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala, (Beirut, Muassasah Al-Risalah, cetakan ke-11, 1996), juz 6, hal. 270-274.
[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 348
[3] Ibid, hal. 349
[4] Uraian lebih jauh mengenai sejarah pendirian Universitas Kaurouan oleh Fatimah Al-Fihri, bisa merujuk pada artikel yang pernah diterbitkan redaksi ganaislamika.com. Untuk membacanya bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/fatimah-al-fihri-wanita-muslim-pendiri-universitas-pertama-di-dunia/
[5] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 10.
[6] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 175-176
[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 360
[8] Ibid
[9] Ibid