“Sang Sultan mabuk berat, dia berkata, ‘bicaralah’. Ibnu Bathuthah menjawab, ‘tidak ada satupun yang ingin kulakukan untuk menentangmu sebagai penguasa, tapi ini….,’ kata Ibnu Bathuthah sambil menunjuk gelas berisi anggur di hadapan Sultan.”
–O–
Ketika tiba di Basrah, Ibnu Bathuthah cukup kecewa, sebab Basrah yang dulunya terkenal karena keindahannya kini telah menyusut, baik dari tingkat populasi maupun denyutnya sebagai kota metropolis yang penting bagi kehidupan orang-orang di dalamnya.[1] Sekitar 3 km dari Basrah, terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Ali, dulunya, ketika Basrah sedang maju-majunya, masjid tersebut terletak di pusat kota.[2] Setelah serangan Mongol yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat, tata letak kota menjadi tidak beraturan.[3]
Masjid Ali merupakan sebuah bangunan tinggi yang menyerupai benteng, bahkan dari jarak 3 km pun bangunan tersebut sudah dapat dilihat. Kecuali pada hari jumat, biasanya masjid tersebut selalu ditutup. Ibnu Bathuthah sempat datang ke masjid tersebut untuk mengikuti ibadah Shalat Jumat. “Sekali waktu aku hadir pada ibadah shalat jumat di masjid ini, dan ketika khatib berdiri dan menyampaikan ceramah, dia melakukan banyak kesalahan tata bahasa,” kata Ibnu Bathuthah.[4]
Dengan keheranan Ibnu Bathuthah menyampaikan hal tersebut kepada Qadi setempat, dan dia berkata, “di kota ini tidak ada seorang pun yang tahu tentang ilmu tata bahasa.” Padahal, dulunya Basra merupakan sebuah kota di mana orang-orangnya terkenal sangat menguasai tata bahasa dengan keunggulan yang tidak terbantahkan.[5]
Dalam peristiwa penyerangan Mongol ke Irak dan Persia sekitar 100 tahun sebelum Ibnu Bathuthah tiba di sana, dikisahkan kota Baghdad yang pernah pencapai peradaban paling tinggi dibuat hancur berantakan, dan masyarakatnya dibantai sampai nyaris habis. Asap membumbung tinggi dan menyebar sejauh hampir 50 Km. Perpustakaan Besar Baghdad, yang berisi banyak dokumen sejarah berharga dan buku tentang topik mulai dari kedokteran hingga astronomi, dihancurkan. Korban selamat mengatakan bahwa air sungai Tigris menghitam karena tinta dari sejumlah besar buku yang dilempar ke sungai, dan bercampur warna merah yang berasal dari darah para ilmuwan dan filsuf yang terbunuh.[6]
Artikel terkait:
Dari Basrah, Ibnu Bathuthah hendak melanjutkan perjalanan ke Baghdad, namun sebelumnya dia sempat singgah ke kota Tustar (Shushtar, sekarang salah kota di provinsi Khuzestan, Iran) menggunakan perahu layar. Kota tersebut terletak di ujung sebuah dataran luas yang juga sekaligus permulaan dari daerah pegunungan di area tersebut. Di Tustar, Ibnu Bathuthah menetap selama 16 hari di Madrasah milik Syaikh Sharaf ad-Din Musa.[7]
Terhadap Syaikh Sharaf ad-Din Musa, Ibnu Bathuthah memberi penilaian, “salah satu pria paling tampan dan paling jujur.” Ibnu Bathuthah sebelumnya telah bertemu dengan banyak ulama di Hijaz, Suriah, dan Mesir, namun menurutnya, tidak ada seorang pun yang menyamai kualitas Syaikh Sharaf ad-Din Musa.[8]
“Suatu hari aku hadir bersamanya di sebuah pertemuan para tokoh terkemuka, teolog dan darwish di kebun buah di tepi sungai. Setelah dia menjamu mereka semua dengan makanan, dia menyampaikan sebuah khotbah dengan sungguh-sungguh dan bermartabat. Ketika dia selesai, beberapa carik kertas dilemparkan kepadanya dari semua sisi, karena ini adalah kebiasaan orang-orang Persia untuk menuliskan beberapa pertanyaan di secarik kertas dan melemparkannya ke ulama yang menjawabnya. Syaikh mengumpulkan semua dan mulai menjawabnya satu demi satu dengan cara yang paling baik dan elegan,” Ibnu Bathuthah mengisahkan.[9]
Dari Tustar, Ibnu Bathuthah melanjutkan perjalanan melalui pegunungan ke kota Idhaj (Mal al-Amir), sebuah ibu kota dari kesultanan Atabeg. Di sana sang Sultan mengundang Ibnu Bathuthah untuk menemuinya. Sultan bertanya ke Ibnu Bathuthah tentang Maroko, Sultan di Mesir, dan Sultan di Hijaz. Dengan gelas minuman berkaki (goblet) dari emas dan perak berisi anggur di hadapan Sultan, Ibnu Bathuthah sadar bahwa sang Sultan sedang mabuk berat.[10]
“Bicaralah,” kata Sultan. “Apabila engkau akan mendengarkanku, aku akan berkata padamu, engkau adalah putra seorang Sultan yang terkenal akan keshalehan dan kejujurannya, dan tidak ada satupun yang ingin kulakukan untuk menentangmu sebagai penguasa, tapi ini….,” kata Ibnu Bathuthah sambil menunjuk gelas berisi anggur tersebut.[11]
Sultan terlihat kebingungan dan terdiam, Ibnu Bathuthah hendak undur diri, namun Sultan memaksanya untuk tetap duduk dan berkata, “untuk bertemu dengan orang sepertimu adalah sebuah pengampunan,” ujarnya. Kemudian Sultan terhuyung-huyung dan jatuh tertidur. Ibnu Bathuthah segera pergi.[12]
Ketika Ibnu Bathuthah hendak pergi, salah satu orang kepercayaan Sultan membawakan sandal Ibnu Bathuthah, sebelum memberikannya, orang tersebut mencium sandal Ibnu Bathuthah dan meletakkannya di atas keningnya, lalu dia berkata, “Allah memberkatimu. Apa yang engkau katakan kepada Sultan tidak ada seorangpun yang sanggup (mengatakannya) kecuali engkau. Aku harap ini akan memberikan kesan kepadanya,” dan Ibnu Bathuthah izin untuk undur diri.[13] (PH)
Bersambung ke:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (11): Isfahan dan Shiraz
Sebelumnya:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (9): Tarekat Rifa’iyya
Catatan Kaki:
[1] Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm 92, dalam Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, Iraq and Persia: 1326 – 1327”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/iraq-and-persia-1326-1327, diakses 31 Januari 2018.
[2] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 86.
[3] Nick Bartel, Ibid.
[4] Ibn Battuta, Ibid., hlm 87.
[5] Ibid.
[6] “Invasi Mongol ke Baghdad 1258 M (2)”, dari laman https://ganaislamika.com/invasi-mongol-ke-baghdad-1258-m-2/, diakses 1 Februari 2018.
[7] Ibn Battuta, Ibid., hlm 89.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm 89-90.
[11] Ibid., hlm 90.
[12] Ibid.
[13] Ibid.