Abdul Muthalib (4); Menikahkan Abdullah

in Tokoh

Last updated on February 6th, 2018 01:56 pm

Beberapa riwayat mengatakan bahwa Abdullah wafat pada usia 25 tahun. Ia meninggalkan beberapa ternak, dan sedikit harta benda. Ketika berita duka itu datang, Aminah binti Wahab sedang mengandung cahaya agung yang sudah dinantikan seluruh mahluk sejak awal penciptaan.

—Ο—

 

Abdul Muthalib dan masyarakat Mekkah sangat gembira dengan keselamatan Abdullah, seorang permata Mekkah yang paling berkilau. Inilah pemuda terbaik yang pernah hadir di tengah-tengah mereka. Konon, salah satu sebab kecemerlangan wajah Abdullah disebabkan cahaya yang memancar dari dahinya. Baihaqi dan Abu Nuaim meriwayatkan dari Ibn Syihab, bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib adalah lelaki yang tampan. Suatu saat dia keluar ke tempat wanita-wanita Quraisy, salah satu dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada yang mau kawin dengan pemuda ini? sehingga nanti kejatuhan cahaya, karena aku melihat cahaya di antara kedua belah matanya?”[1]

Tidak sedikit riwayat yang mengatakan bahwa banyak gadis-gadis di kota Mekkah yang begitu ingin dipersunting oleh Abdullah. Namun Abdullah bukanlah pemuda biasa, dan tidak pula berasal dari keluarga biasa. Dan Abdul Muthalib memiliki kualifikasi yang sangat ketat terkait pendamping putra kesayangannya ini. Ia hanya akan menikahkan Abdullah dengan gadis terbaik dengan nasab terbaik pula. Sosok tersebut ada pada diri Aminah binti Wahab, yang berasal dari Bani Zurah.

Para sejarawan dan ahli hadits telah meninggalkan kisah berharga tentang sebab musabab perkawinan Aminah dan Abdullah. Ini telah membuktikan bahwa keluarga Abdul Muthalib tidak akan mengawinkan anaknya kecuali berdasarkan kemuliaan.

Ibnu Saad, Thabrani, dan Abu Naim meriwayatkan bahwa Abdul Muthalib bercerita:
“Suatu saat kami sampai di negara Yaman saat perjalanan musim dingin, kami bertemu dengan seorang penganut kitab Zabur (Pendeta Yahudi) dia bertanya: “Kamu dari kabilah mana? Aku menjawab: “Dari Quraisy”. Dari Quraisy mana? Kujawab: Bani Hasyim! Kemudian Pendeta itu berkata: Bolehkah aku melihat salah satu anggota tubuhmu? Boleh saja asal bukan aurat?. Kemudian Pendeta itu melihat kedua tanganku dan berkata: “Aku bersaksi bahwa di salah satu tanganmu terdapat Malaikat dan tangan yang satunya terdapat Kenabian, dan aku melihat hal ini pada Bani Zuhrah, bagaimana semua ini bisa terjadi? Aku menjawab: Tidak tahu?. Kemudian dia bertanya lagi: Apakah kamu mempunyai syaah? Apakah syaah itu? Tanyaku. “Istri!” Jawabnya. Kalau sekarang aku tidak beristri?” Ujar Abdul Muthalib. Kemudian Pendeta itu berkata: “Kalau engkau pulang kawinlah dengan salah satu wanita dari mereka?” Setelah pulang ke Mekkah Abdul Muthalib kawin dengan Hallah binti Uhaib bin Abdul Manaf. Dan mengawinkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab. Setelah itu orang-orang Quraisy berkata: “Abdullah lebih beruntung dari Ayahnya?”[2]

Terkait dengan Aminah binti Wahab, tidak banyak sejarawan yang mengetahui informasi tentangnya. Sedikit yang diketahui, bahwa Aminah lahir di kota Mekkah. Tentang tahun kelahirannya, tidak banyak diketahui. Ia adalah putri dari pemimpin bani Zurah yang bernama Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Sedangkan ibu Aminah adalah Barrah binti Abdul Uzza bin Utsman bin Abduddar bin Qushay bin Kilab. Nasab Aminah dan Abdullah bertemu pada sosok Kilab, ayah dari Qushay, pendiri kota Mekkah.[3]

Aminah adalah seorang yang pemalu dan sangat menjaga diri. Aminah selalu berada di dalam rumah dan bergaul dengan orang-orang terdekatnya. Sosoknya sangat jarang tampil di muka umum. Sehingga sangat jarang diketahui tentang seluk beluk tentang dirinya. Pilihan Abdul Muthalib pun jatuh pada Aminah setelah ia bermunajad dan merenung di depan Ka’bah. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana mulanya keputusan Abdul Muthalib datang ke bani Zurah dan meminang Aminah untuk putranya kesayangannya, Abdullah. Yang jelas, tidak ada yang bisa membantah bahwa pilihan ini memang yang terbaik.

Bagi keluarga Bani Zuhrah tidak ada alasan untuk menolak keinginan Abdul Muthalib, bahkan hal ini merupakan kehormatan baginya. Bani Zuhrah pun menerima lamaran Abdul Muthalib untuk menikahkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab dan dia sendiri pun menikah dengan saudara sepupu Aminah yaitu Halah binti Wuhaib.[4]

Bagan Silsilah Aminah binti Wahab. Sumber gambar: Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 94

 

Pernikahan Abdullah dan Aminah diselenggarakan secara besar-besaran. Semua penduduk Mekkah di undang. Abdul Muthalib juga memerintahkan untuk menyalakan api di gunung-gunung di sekitar Mekkah agar para musafir dan tamu yang kebetulan melintas dapat mengetahui bahwa di kota tersebut sedang ada perayaan, dan mereka di perkenankan untuk menghadirinya. Hidangan dalam perayaan ini digelar sedemikian rupa, hingga tidak hanya manusia, bahkan hewan-hewan buas dan burung-burung pun ikut makan darinya.[5] Demikianlah, pernikahan tersebut menjadi momentum kebahagian bagi semua.

Setelah menikah, Abdullah tinggal bersama istrinya di sebuah rumah baru yang sederhana. Rumah kecil tersebut disiapkan oleh Abdul Muthalib untuk anak kesayangannya. Para sejarawan menyebutkan bahwa rumah itu mempunyai satu kamar dan serambi yang panjangnya sekitar 12 m serta lebar 6 m yang di dinding sebelah kanan terdapat kayu yang disediakan sebagai tempat duduk mempelai.[6]

Hanya dua bulan Abdullah tinggal di rumah ini bersama istrinya. Kemudian datang ajakan padanya untuk mengikuti kafilah dagang yang sedang akan menuju ke Syiria. Abdullah pun memutuskan untuk ikut serta dengan kafilah tersebut. Aminah tidak mengetahui, bahwa itulah saat terakhir ia memandang wajah suaminya, permata yang paling bersinah di Kota Mekkah. Karena tak lama setelah itu, ia menerima kabar duka, bahwa Abdullah telah wafat di Kota Madinah karena sakit yang dideritanya.

Beberapa riwayat mengatakan bahwa Abdullah wafat pada usia 25 tahun. Ia meninggalkan beberapa ternak, dan sedikit harta benda. Ketika berita duka itu datang, Aminah binti Wahab sedang mengandung cahaya agung yang sudah dinantikan seluruh mahluk sejak awal penciptaan. (AL)

Bersambung…

Abdul Muthalib (5); Menghadapi Abrahah

Sebelumnya:

Abdul Muthalib (3); Mengundi Permata Kota Mekkah

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://haska.student.uny.ac.id/2015/04/06/kisah-aminah-binti-wahab/, diakses 2 Januari 2018

[2] Ibid

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 92

[4] Ibid, Hal. 93

[5] Lihat, http://jaipk.perak.gov.my/index.php, diakses 30 Januari 2018

[6] Lihat, http://haska.student.uny.ac.id/2015/04/06/kisah-aminah-binti-wahab/, Op Cit

3 Comments

  1. sedih juga ya baca kisah nabi dari awalnya sampai umur 6thn dan samoai jadi nabi dan rasul cukup hebat ya perjuangan nabi kita ya
    buat aku tambah cinta sama nabi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*