Abdul Muthalib (3); Mengundi Permata Kota Mekkah

in Tokoh

Last updated on February 3rd, 2018 08:46 am

Setelah doanya terkabul, dan misi menggali sumur Zamzam terlaksana, Abdul Muthalib tinggal melunasi nazarnya, yaitu mengorbankan salah satu dari 10 orang putranya di depan Ka’bah.

—Ο—

 

Menurut riwayat, Abdul Muthalib memiliki beberapa istri dan dari mereka ia dikaruniai banyak anak. Berapa jumlah persis anaknya, tidak ada kesepakatan ulama sejarah di sini. Ada yang mengatakan 18, 19, 20.[1] Beberapa istri Abdul Muthalib tersebut diantaranya:

Pertama, Samra’ binti Jundab bin UJair bin Ri’ab bin Habib bin Suwa’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah bm Bakr bin Hawazin bin Mansur bin lkrimah.  Dari Samra’ Abdul Muthalib dikaruniai seorang putra yang bernama Harist, yang tidak lain adalah putra pertamanya.[2]

Kedua, Lubna binti Hajir bin Abdu Manaf bin Dhathir bin Hubsyiyyah bin Salul bin Ka’ab bin Amr Al-Khuza’i.  Dari Lubna, Abdul Muthalib dikaruniai satu orang putra yang kelak begitu sengit memusuhi Rasulullah SAW, yaitu Abu Lahab (Abdul Uzza), ia memiliki seorang istri bernama Ummu Jami. Allah SWT kemudian melaknat Abu Lahab dan Istrinya yang disebutkan secara gamblang dalam Al Quran, surat Al-Lahab.

Ketiga, Takhmur binti Abd bin Qushai bin Kilab bin Muwah bm Kaab bin Luai bin Ghaub bin Fihr bm Malik bin An-Nadhr. Dari sini Abdul Muthalib dikaruniai seorang putra bernama Shakhrah.

Keempat, Nutailah binti Janab bin Kulaib bin Malik bin Amr bin Amir bin Zaid bin Manat bin Amir bin Sa’ad bin Al-Khazraj bin’l`aim A1-Lata bin An-Namir bin Qasith bin I-Iinbun bin Afsha bin Jadilah bin Asad bin Rabi’ah bin Nizar. Dari pernikahannya dengan Nutailah kelak lahir dua orang anak yaitu, Dirar dan Abbas bin Abdul Muthalib yang anak keturunannya kelak adalah pendiri dinasti Abbasiyyah. Dari Abbas kemudian lahir Fadhl; Abdullah; Qutsam; Ma’bad; Abdullah; Ummu Habibah; dan Ubaidillah bin Abbas.

Kelima, Haulah binti Wuhaib bin Abdu Manat bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai. Dari sini Abdul Muthalib dikaruniai Al Muqawwim; Hajl (yang digelari dengan gelar Al Ghaidaq karena kebaikannya yang banyak, dan hartanya yang melimpah); Hamzah yang dijuluki “Singa Allah”; Shafiyyah, yang suami pertamanya adalah Al Harits bin Harb bin Umayyah. Setelah suaminya meninggal, ia menikah dengan Al Awwam bin Khuwalid bin Asad. Dari pernikahan ini kelak mereka dikaruniai Zubair bin Awwam, As Saaib bin Awwam, dan Abdul Ka’bah bin Awwam.

Keenam, Abdul Muthalib menikahi Shakhrah binti Abdun bin Imran bin Makhzum bfn Yaqadhah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghaiib bin Fihr bin Malik bm An-Nadhr. Dari pernikahan ini lahir anak yang bernama Fathimah.

Ketujuh, Fathimah binti Amr bin Aidz bin Imran bin Makhzum bin Yaqadhah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Ah-Nahdr. Dari Fatimah ini, Abdul Muthalib dikaruniai 8 orang anak, diantaranya; Abu Thalib (Abdul Manaf);[3] Zubair bin Abdul Muthalib; Arwah; Atiqah; Ummu Hakim; Barrah, kelak dua putra Barrah ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia), yakni Abu Salamah dan Abu Sabrah; dan Umaimah .[4]  Dan yang teristimewa dari anak-anak Abdul Muthalib dari pernikahannya dengan Fatimah adalah Abdullah, yang merupakan putra kesayangan Abdul Muthalib. Kelak Abdullah beristrikan Aminah. Dari pernikahan inilah lahir Nabi Muhammad SAW.

Adapun 10 orang anak laki-laki yang dimaksud ketika Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya, yaitu Harist, Abu Lahab, Dirar, Abbas, Al Muqawwim, Hajl (Al Ghaidaq), Hamzah, Zubair, Abu Thalib dan Abdullah.[5] Ketika diundi diantara 10 orang tersebut, nama Abdullah yang akhirnya muncul. Keputusan ini diterima Abdullah dengan lapang dada. Meski bagi Abdul Muthalib ini adalah keputusan yang paling berat yang harus ia tanggung selama hidupnya.

Namun yang tak diduga, adalah reaksi masyarakat Mekkah kala itu. Mendengar hasil undian yang dilakukan oleh Abdul Muthalib, para pemuka setiap suku datang dan memprotes hasil tersebut. Mereka bahkan berusaha memberontak, dan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.

Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih di kawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, “Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada dukun.”[6]

Sang Dukun pun akhirnya berkata, bahwa mereka bisa menebus Abdullah dengan kurban lainnya, yaitu berupa 10 ekor unta. Tapi mereka harus mengundi antara 10 ekor unta tersebut dengan Abdullah. Bila yang keluar kembali adalah nama Abdullah, maka mereka harus menambahkan 10 lagi, dan begitu seterusnya. Akhirnya Abdul Muthalib meletakkan 10 ekor pertama di samping Abdullah. Setelah diundi, nama yang keluar adalah nama Abdullah, dan ia menambahkan 10 ekor lagi, namun yang keluar tetap nama Abdullah; demikian seterusnya hingga terkumpul 100 ekor unta, dan akhirnya nama Abdullah tidak keluar lagi.[7]

Melihat kejadian ini, semua orang bergembira, khususnya Abdul Muthalib. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka’bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga oleh binatang-binatang buas. Di antara masyarakat bahkan ada yang sampai berlinangan air mata, karena bisa melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Bagaimana tidak, belum pernah mereka melihat keagungan akhlak dari seorang manusia sampai Abdullah hadir di tengah-tengah mereka. Bagi mereka, Abdullah bukan hanya seorang pemuda biasa, dialah permata kota Mekkah. (AL)

Bersambung…

Abdul Muthalib (4); Menikahkan Abdullah

Sebelumnya:

Abdul Muthalib (2); Menggali Sumur Zamzam

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://nabimuhammad.info/abdul-muthalib/, diakses 26 Januari 2018

[2] Harist memiliki 6 orang putra, diantaranya; Naufal bin Harist,  yang kelak memiliki anak bernama Abdullah yang menjadi salah seorang perawi hadist; Rabiah bin Harist; Thufail bin Harist; Ubaidillah bin Harist, yang kelak menemui kesyahidan dalam perang Badar; Abdullah bin Harist; dan Abu Sufyan bin Harist, si penyair Quraisy ini adalah musuh Islam yang cukup kejam terhadap sepupunya sendiri, yakni Muhammad SAW.

[3] Abu Thalib menikah dengan beberapa istri. Yang tercatat dalam sejarah adalah Fatimah binti Asad. Fatimah-lah yang ikut merawat Muhammad ketika beliau tinggal di rumah Abu Thalib.  Dengan Fatimah, Abu Thalib dikuruniai 4 orang putra dan 2 orang putri, diantaranya: Thalib bin Abi Thalib ; Ja’far bin Abi Thalib yang beristri : Asma binti Umais; Ali bin Abi Thalib yang kelak memperistri Fatimah Binti Muhammad SAW. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Zaynab binti Ali, dan Ummu Kultsum bin Ali; anak-anak Abu Thalib yang lain yaitu, Aqil bin Abu Thalib; Fakhtihah binti Abu Thalib (Ummu Hani); dan Jumanah binti Abu Thalib.

[4] Kelak Umaimah menikah dengan Jahsyi bin Ri`ab, dan dikaruniai lima orang anak yaitu Zainab binti Jahsy yang menikah dengan Zaid bin Haritsah. Kemudian dicerai lalu zainab menikah dengan Rasulullah SAW menjadi istri yang ke tujuh; Hamnah binti Jahsy; Abdullah bin Jahsy; Abu Ahmad bin Jahsy; dan Ubaidillah bin Jahsy  yang menikah dengan Ummu Habibah (anak Abu Sufyan bin Harb) namun kemudian Ummu Habibah minta cerai karena Ubaydillah di negri Habsyah murtad dari Islam dan masuk Kristen dan kemudian mati di sana.

[5] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 9

[6] Lihat, http://jaipk.perak.gov.my/index.php, diakses 30 Januari 2018

[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 91

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*