Ishaq bin Ibrahim membacakan surat balasan dari Al-Makmun di hadapan para ulama. Setelah mendengar tanggapan Al-Makmun, satu-persatu para ulama tersebut menyatakan bahwa Alquran adalah mahluk, kecuali empat orang, yaitu: Ahmad bin Hanbal, Sajjadah, Al-Qawariri and Muhammad bin Nuh al-Madrub.
Setelah Ishaq bin Ibrahim selesai menginterogasi sejumlah ulama, dia menulis semua jawaban mereka, lalu mengirimkannya kepada Al-Makmun. Para ulama tersebut belum diizinkan pulang, hingga mendapat jawaban resmi dari khalifah. Menurut Tabari, sekitar sembilan hari lamanya para ulama tersebut disuruh menunggu dan tidak diperkenankan kemana-mana.[1]
Setelah membaca semua jawaban para ulama yang dikirimkan Ishaq bin Ibrahim, Al-Makmun menulis kembali kepada Ishaq, “Telah sampai kepada ku jawaban orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai ahli kitab dan orang-orang yang memburu kepemimpinan, padahal mereka sama sekali tak berhak mendapatkannya. Barang siapa mengatakan bahwa Alquran itu mahluk, larang dia berfatwa dan meriwayatkan hadis!”[2]
Kemudian Al-Makmun menanggapi satu persatu jawaban dari para ulama tersebut, sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa apapun yang dikatakan oleh Bisyr, itu adalah bohong. Sebab Amirul Mukminin tak pernah melakukan kesepakatan apapun dengannya. Adapun yang terjadi antara dia dan Amirul Mukminin adalah bahwa dia secara ikhlas mengatakan bahwa Alquran adalah mahluk. Oleh karena itu, panggil dia menghadap. Jika dia bertobat, sebarkan pernyataan tobatnya. Jika dia bersikeras dengan musyrikan dan kekufurannya (dengan mengatakan bahwa Alquran bukan mahluk), penggal saja kepalanya lalu kirimkan kepadaku.[3]
Demikian juga dengan Ibrahim Al-Mahdi. Ujilah dia. Jika dia mengatakan bahwa Alquran itu mahluk, biarkan dia. Namun, jika dia menolak, penggal juga kepalanya. Lalu kepada Ali bin Muqatil, katakanlah: “Bukankah engkau mengatakan kepada Amirul Mukminin; ‘engkaulah yang mengharamkan dan menghalalkan’?”[4]
Adapun Dzayyal, beritahukan kepadanya bahwa makanan yang dicurinya dari Anbar sama sekali tidak menyibukkan dirinya. Adapun Ahmad bin Yazid Abul Awwam dan perkataannya bahwa dia sama sekali tidak punya jawaban yang baik tentang Alquran; katakan kepadanya bahwa cara berpikirnya itu seperti anak kecil. Seorang yang bodoh akan baik jawabannya kalau diberi pelajaran. Jika dia tidak melakukan sebagaimana diperintahkan, ketahuilah bahwa pedang telah menunggu di belakang perbuatannya.[5]
Adapun kepada Ahmad bin Hanbal, beritahu dia bahwa Amirul Mukminin sudah paham maksud jawabannya. Ini semua menunjukkan kebodohan dan penyakit yang bercokol di dalam dirinya.[6]
Kepada Fadhl bin Ghanim, ajarkan bahwa semua yang dilakukannya di Mesir sudah diketahui Amirul Mukminin, termasuk bagaimana dia menumpuk harga dalam waktu kurang dari setahun, yakni saat dia hanyalah hakim di wilayah itu.[7]
Kepada Az-Ziyadi beritahukan bahwa dia hanyalah keturunan budak yang menisbatkan dirinya kepada Ziyad. Terkait tanggapan Al-Makmun kepada Abu Hasan Az-Ziyadi tersebut, Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa Abu Hasan menolak keras pernyataan bahwa dia adalah budak Ziyad bin Abihi. Dia menyebutkan bahwa dia dijuluki Az-Ziyadi karena sejumlah alasan.[8]
Al-Makmun melanjutkan suratnya. “Adapun Abi Nashr At-Tamar, beritakan kepadanya bahwa Amirul Mukminin menyamakan kerendahan pikirannya dengan kerendahan dalam perniagaannya.”
Adapun kepada Muhammad bin Hatim, Ibnu Nuh (Muhammad bin Nuh) dan seseorang yang dikenal sebagai Abu Mamar, beritahukan bahwa mereka lebih disibukkan memakan riba daripada membahas perkara tauhid. Seandainya Amirul Mukminin menganggap halal untuk memerangi mereka di jalan Allah karena mereka makan riba dan memperlakukan secara tidak patut sesuatu yang diturunkan Allah, Amirul Mukminin akan memerangi mereka. Bagaimana tidak?! Tak cuma memakan harta riba, mereka juga menggabungkannya dengan kemusyrikan. Benar-benar seperti orang-orang Nasrani![9]
Adapun Ibnu Syuja, katakan padanya; “Engkau adalah sahabatnya pada masa lalu dan adalah orang yang mengeluarkan kepadanya harta yang dia halalkan dari Ali bin Hisyam.” Kepada Sadawaih Al-Wasithi, katakan; “Allah memburukkan rupa orang yang mengada-adakan hadis dan orang yang ambisius untuk menduduki jabatan tertentu, jika dia membayangkan sesuatu pada masa cobaan dan ujian.”[10]
Adapun orang yang dikenal sebagai Sajadah, yang mengingkari bahwa dia pernah mendengar pendapat ulama bahwa Alquran adalah mahluk, beritahu dia bahwa kesibukannya mempersiapkan kurma dan penggosok sajadahnya, kesibukannya dengan barang-barang titipan Ali bin Yahya dan lain-lain, rupanya telah menyibukkannya dari masalah tauhid.[11]
Tentang Al-Qawariri, sudah tersiar berita bahwa dia suka makan suap dan semua pemberian yang tidak halal. Ini telah menggambarkan bagaimana cara pandangnya, betapa buruknya jalan hidup yang ditempuhnya, dan sejauh mana kekerdilan pikiean dan kerendahan agamanya.[12]
Adapun Yahya Al-Umari, jika dia benar-benar cucu Umar bin Khattab, jelaslah jawabannya. Adapun Muhammad bin Husein bin Ali bin Ashim, seandainya mengikuti jejak para pendahulunya, pastilah dia tidak mengambil pendapat yang kau (Ishaq bin Ibrahim) ceritakan kepadaku. Sungguh dia seperti anak kecil yang butuh arahan.[13]
Setelah menanggapi satu persatu jawaban para ulama yang diinterogasi tersebut, Al-Makmun menutup suratnya dengan kalimat sebagai berikut: “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah mengutus seseorang yang biasa disebut Abu Mashar setelah mengujinya dengan soal apakah Alquran itu mahluk atau bukan. Namun, ternyata dia tidak bicara dengan jelas dan terus terang, sehingga Amirul Mukminin memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman dengan pedang. Akhirnya, dengan cara yang hina, dia mau mengatakan bahwa Alquran adalah mahluk, maka tulislah pernyataannya. Jika dia tetap mengukuhi apa yang dikatakannya, siarkan hal itu kepada khalayak. Barang siapa tidak bersedia meninggalkan kemusyrikan (siapa saja yang disebutkan setelah Bisyr dan Ibnul Mahdi), hadapkanlah mereka kepada Amirul Mukminin dalam keadaan terbelenggu agar dia bisa menanyai mereka secara langsung. Kalau mereka belum juga menarik pendapatnya, maka pedang menjadi bagian dari mereka.”[14]
Setelah Ishaq bin Ibrahim membacakan surat balasan dari Al-Makmun tersebut, ternyata sebagian besar ulama yang mendengarnya langsung mengubah sikap dan pendapat mereka. Satu-persatu mereka mengakui bahwa Alquran adalah mahluk, kecuali empat orang, yaitu: Ahmad bin Hanbal, Sajjadah, Al-Qawariri and Muhammad bin Nuh al-Madrub.[15] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 213
[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 331
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 332
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Pada tahun 198 H, Al-Fadhl bin Ghanim pernah ditunjuk ungtuk menjadi hakim kepala di Mesir, ketika masa gubernur Al-Muttalib bin Abdallah Al-Khuzai. Tapi kemudian dia menghilang setelah 10 bulan menjabat. Lihat, Lihat, C.E. Bosworth, anotasi dalam The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 217
[8] Ziyad adalah anak Abu Sufyan bin Harb dari hasil hubungan tidak sahnya dengan seorang budak bernama Sumayyah. Awalnya dia tidak diakui oleh Abu Sufyan dan kelurganya, sehingga dia dipanggil dengan sebutan Ziyad bin Abihi (Ziyad anak ayahnya). Tapi ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan memerintah Dinasti Umayyah, Ziyad berhasil menunjukkan prestasi mengagumkan. Sehingga dia diperkenankan menggunakan nama Abu Sufyan di belakang namanya oleh Muawiyah. Sejak itu, Ziyad mendapat kemuliaan di mata keluarga Umayyah, dan dipercaya menjadi gubernur wilayah Persia hingga Khurasan. Pada sosok inilah Abu Hasan Az-Ziyadi menisbatkan namanya. Uraian lebih jauh mengenai sosok ini, bisa merujuk pada artikel ganaislamika di link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-umayyah-7-yazid-naik-tahta-sebagai-khalifah-kedua-dinasti-umayyah/
[9] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit
[10] Ibid
[11] Ibid, hal. 333
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 219
[15] Ibid, hal. 220 e