Dinasti Abbasiyah (66): Abdullah Al-Makmun (15)

in Sejarah

Last updated on July 12th, 2019 06:42 am

Al-Makmun memanggil para ulama ahli hadis ke persidangan inkuisisi. Pada gelombang pertama, dia memanggil tujuh tokoh ulama senior. Pada gelombang selanjutnya, dia memanggil sejumlah ulama yang lebih muda dari gelombang pertama. Di antara mereka yang hadir saat itu ada Ahmad bin Hanbal, tokoh pendiri mahzab Hanbali ”

Gambar ilustrasi. Sumber: NU Online

Dengan keluarnya surat Al-Makmun, maka pengadilan inkuisisi pertama dalam sejarah Islam pun digelar. Al-Makmun menginginkan agar semua ulama, khususnya para ahli hadist atau ulama tradisional mengakui Alquran sebagai ciptaan sebagaimana yang diyakininya. Seperti tertuang dalam suratnya, bahwa semua yang diciptakan Allah adalah mahluk. Dan Alquran diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, Alquran menurutnya adalah mahluk.[1]

Al-Makmun menganggap bahwa apa yang diyakininya ini adalah sesuatu yang sederhana, dan begitu jelas bagi akal siapapun, terlebih di kalangan ulama. Mungkin ini juga sebabnya dia menilai bahwa para ulama yang menolak pemahaman ini “…adalah tentara musuh yang menyerang para pembela kebenaran yang teguh berpegang pada agama Allah. Mereka jauh dari keimanan dan hidayah, dan dipertanyakan kejujurannya, ditolak kesaksiannya, dan tidak dapat dipercaya ketauhidannya kepada Allah.[2]

Tapi terlepas dari benar tidaknya pendapat Al-Makmun secara hakiki, pagelaran pengadilan yang secara khusus menginterogasi para ulama tersebut, banyak disesali oleh para sejarawan dan ulama di kemudian hari. Karena kebijakan ini telah melahirkan perpecahan besar dalam dunia Islam.

Dalam instruksinya kepada Ishaq bin Ibrahim, Al-Makmun secara khusus memerintahkan sepupu Tahir bin Husein itu agar memanggil tujuh nama. Mereka adalah; Muhammad bin Saad (sektretaris sejarawan Al-Waqidi), Yahya bin Main (seorang ulama tradisional, wafat 233 H),  Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb (ulama tradisional, wafat 234 H), Abu Muslim,[3] Ismail bin Daud, Ismail bin Abu Masud, dan Ahmad bin Ibrahim Al-Daruqi (ulama tradisional, wafat 249 H).[4]

Mereka kemudian melakukan dengar pendapat apakah Alquran itu mahluk atau bukan. Setelah menyampaikan jawaban masing-masing mereka dikembalikan dari Raqqah ke Baghdad. Ini semua terjadi karena mereka pada awalnya tidak menjawab apakah Alquran itu mahluk atau bukan, tetapi akhirnya memberikan jawaban pura-pura (taqiyah).[5]   

Al-Makmun menulis kepada Ishaq bin Ibrahim agar dia menghadirkan para fukaha dan ahli hadis, dan memberitahu mereka tentang persetujuan ketujuh ulama di atas bahwa Alquran adalah mahluk. Ishaq pun melakukan apa yang diperintahkan Al-Makmun. Pada saat para fuqaha itu diminta hadir, hanya sebagian kecil yang datang. Yahya bin Main dan yang lain berkata, “kami datang karena khawatir kilatan pedang yang akan menebas kami.”[6]

Selanjutnya, Al-Makmun menulis surat serupa kepada Ishaq bin Ibrahim dan memerintahkan untuk menghadirkan siapa saja yang tidak datang pada kesempatan pertama. Sekali lagi Ishaq menghadirkan para fukaha dan ahli hadis yang tidak datang sebelumnya. Para ulama yang dipanggil pada gelombang kedua ini, terbilang masih sangat muda bila dibanding dengan ketujuh ulama pertama. Di antara deretan nama gelombang kedua inilah ada nama Ahmad bin Hanbal, yang di kemudian hari menjadi pendiri mahzab Hanbali.[7]

Dalam catatan Imam As-Suyuthi, di antara mereka yang hadir waktu itu adalah; Ahmad bin Hanbal, Bisyr bin Walid Al-Kindi, Abu Hasan Al-Ziyadi, Ali bin Abi Muqatil, Fadhl bin Ghanim, (Ubaidillah bin Umar) Al-Qawariri, Ali bin Al-Jadi, Sajadah, Dzayal bin Haitsam, Qutaibah bin Said, Sadawaih Al-Wasithi, Ishaq bin Abi Israel, Ibnul Haras, Ibnul Aliyah Al-Akbar, Muhammad bin Nuh, Al-Ajili, Yahya bin Abdurrahman Al-Umari, Abu Nasr At-Tammar, Abu Mamar Al-Qathii, Muhammad bin Hatim bin Maimun, dan lain-lain. [8]

Lebih jauh, As-Suyuthi mengisahkan,[9] bahwa di hadapan para ulama tersebut, Ishaq memperlihatkan surat Al-Makmun kepada mereka. Para ulama itu mengambil sikap diam, tidak membenarkan dan tidak pula mengingkari. 

Mereka meminta pendapat Bisyr bin Walid lalu Bysr menjawab, “Aku tahu siapa Amirul Mukminin dan kejadian seperti itu bukan hanya sekali ini.”

Ishaq bin Ibrahim berkata, “Amirul Mukminin menulis begitu lagi lalu bagaimana pendapat mu?”

Bisyr berkata, “Kukatakan bahwa Alquran adalah firman Allah.”

Ishaq berkata, “Pertanyaan ku tidak seperti itu, yang kutanyakan adalah apakah ia mahluk atau bukan?”

Bisyr menjawab, “aku tidak bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada itu kepadamu! Aku telah berjanji kepada Amirul Mukminin untuk tidak mengatakan apa-apa mengenai masalah ini.”

Selanjutnya Ishaq berpaling pada Ali bin Abi Muqatil. “Bagaimana pendapat mu?”

Dia menjawab. “Alquran adalah Kalam Allah dan jika Amirul Mukminin memerintahkan sesuatu, kami mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taati’.”

Abu Hasan Al-Ziyadi mengucapkan perkataan serupa.

Lalu ditanya pula kepada Ahmad bin Hanbal. “Apa pendapat mu, Ahmad bin Hanbal?”

Ahmad bin Hanbal menjawab, “Ia adalah firman Allah dan aku tidak akan menambahkan perkataan apapun lebih dari ini!”

Selanjutnya, Ishaq menguji yang lain. Mereka menjawab secara tertulis. Ibnul Bakka berkata. “Menurut pendapat ku, Alquran itu diciptakan dan ia adalah baru karena adanya nash di dalam Alquran.”

Ishaq bertanya, “bukankah setiap yang dijadikan itu mahluk?”

Dia menjawab, “Ya”

“Jadi, kesimpulannya, Alquran itu mahluk?” kejar Ishaq.

Ibnul Bakka menjawab, “Aku tidak pernah mengatakan bahwa Alquran adalah mahluk.”

Ishaq kemudian mengirimkan jawaban mereka kepada Al-Makmun. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 199-204

[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 329

[3] Abu Muslim adalah, seorang yang bertugas mencatat semua didiktekan (mustamli) oleh seorang ulama ahli hadist dan juga mufasir yang cukup terkenal masa itu bernama Yazid bin Harun. Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 204. Yazid bin Harun wafat pada tahun 206 H, ketika masih dalam masa pemerintaha Al-Makmun. Konon, Al-Makmun sangat segan pada Yazid bin Harun. Hingga dia pernah berkata, kalau saja Yazid bin Harun tidak ada, aku sudah menyatakan bahwa Alquran itu makhluk. Lihat, https://www.eramuslim.com/peradaban/bercermin-salaf/yazid-bin-harun-ulama-yang-ditakuti-penguasa.htm#.XSQ3JegzbIU, diakses 9 Juli 2019

[4] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 204

[5] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 330

[6] Ibid

[7] Lihat, DR. Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan: Genelogi dan Ajaran Salafi, (Ciputat: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah, 2018) hal. 46

[8] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit

[9] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*