Dinasti Abbasiyah (68): Abdullah Al-Makmun (17)

in Sejarah

Last updated on July 15th, 2019 06:03 am

Al-Makmun mengetahui bahwa sebagian besar ulama yang mengakui kemahlukan Alquran, bersikap pura-pura patuh. Maka dia memerintahkan Ishaq bin Ibrahim agar mengirim para ulama tersebut menghadap langsung padanya di Tarsus. Tapi ketika mereka baru mencapai Raqqah, tersiar kabar bahwa Al-Makmun sudah wafat.

Gambar ilustrasi. Sumber: aa.com.tr

Sebagaimaan sudah dikisahkan sebelumnya, bahwa setelah Ishaq bin Ibrahim membacakan surat balasan dari Al-Makmun yang berisi tanggapan atas jawaban para ulama, ternyata sebagian besar ulama yang mendengarnya langsung mengubah sikap dan pendapat mereka. Satu-persatu mereka mengakui bahwa Alquran adalah mahluk, kecuali empat orang, yaitu: Ahmad bin Hanbal, Sajjadah, Al-Qawariri dan Muhammad bin Nuh Al-Madrub.[1]

Kepada empat orang tersebut, Ishaq bin Ibrahim memerintahkan agar mereka dibelenggu dan diarak ke hadapan pengadilan sekali lagi. Di hadapan Ishaq, keempat orang tersebut didesak untuk menyatakan bahwa Alquran itu adalah mahluk. Di bawah tekanan seperti itu, akhirnya orang yang bernama Sajjadah mengakui bahwa Alquran adalah mahluk. Dia pun dilepaskan dari belenggu dan dibebaskan. Sedang yang tiga lagi, masih tetap kukuh pada pendapatnya semula.[2]

Keesokan harinya, Ishaq bin Ibrahim kembali memanggil mereka. Ishaq kembali menginterogasi mereka bertiga tentang pendapat mereka mengenai Alquran. Setelah berlangsung interogasi yang cukup lama, akhirnya Al-Qawariri pun melunak, dan mengakui bahwa Alquran adalah mahluk. Ishaq pun memerintahkan agar melenggunya dilepas dan membebaskan Al-Qawariri.[3]

Tinggal dua orang lagi, yaitu Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh. Mereka kembali diinterogasi. Tapi mereka tetap kukuh pada pendapatnya hingga batas waktu yang ditoleransikan habis. Akhirnya Ishaq bin Ibrahim memutuskan untuk menyandera kedua orang tersebut di Baghdad selama beberapa hari. Kemudian Ishaq bin Ibrahim memutuskan untuk mengirim kedua orang tersebut (Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh) ke Tarsus (sekarang Turki) untuk menghadap langsung pada Al-Makmun. Maka dikirimlah kedua orang tersebut dalam keadaan terbelenggu dengan dikawal oleh pasukan yang juga membawa serta laporan Ishaq tentang jawaban mereka atas status kemahlukan Alquran.[4]

Di waktu yang hampir bersamaan, tiba juga surat Al-Makmun kepada Ishaq bin Ibrahim, yang isinya menyatakan bahwa Al-Makmun menemukan adanya kepura-puraan atas pengakuan sejumlah ulama yang sebelumnya sudah mengakui kemahlukan Alquran. Al-Makmun memerintahkan pada Ishaq agar orang-orang tersebut juga dibawa menghadap ke Tarsus sambil menunggu Al-Makmun pulang dari aktifitasnya di wilayah Romawi.[5]

Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ketika para ulama tersebut sudah diarak dari Bahgdad menuju Tarsus – di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Raqqah – datang berita duka yang menginformasikan tentang wafatnya Al-Makmun. Ketika mendapat kabar tersebut, gubernur Raqqah yang ketika itu bernama Anbasah bin Ishaq memutuskan untuk mengirim kembali para ulama tersebut ke Baghdad.[6]

Di tempat berbeda, Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh yang sudah terlebih dahulu berangkat untuk menghadap Al-Makmun, terus berjalan ke Tarsus dengan keadaan terikat dalam keadaan cuaca yang sangat terik di atas punggung unta. [7] Di tengah perjalanan ini Muhammad bin Nuh meninggal dunia. Sehingga tinggal Ahmad bin Hanbal seorang yang tetap bersikukuh dengan sikapnya terhadap status Alquran.

Menurut Ibnu Katsir, ketika dalam perjalan ke Tarsus tersebut, keduanya (Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh) berdoa kepada Allah SWT kiranya tidak mengumpulkan mereka berdua dengan Al-Makmun. Ketika mereka berada di suatu jalan, sampailah berita kepada mereka bahwa Al-Makmun telah wafat. Dengan adanya kabar ini, Ahmad bin Hanbal di kembalikan ke Baghdad.[8]

Di Baghdad, Ishaq bin Ibrahim yang menyambut para ulama ini, tidak langsung membebaskan mereka. Para ulama tersebut ditempatkan dulu di rumah-rumah yang telah disediakan. Setelah beberapa waktu berlalu, akhirnya ulama tersebut dibebaskan, kecuali Bishr bin Al-Walid, Al-Dhayyal, Abu Al-Awwam dan Ali bin Abi Mugatil. Alasanya, karena keempat orang tersebut sempat melarikan diri ketika mereka mendengar kabar Al-Makmun wafat. Atas tindakan mereka tersebut, Ishaq bin Ibrahim menghukum mereka.[9] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 220

[2] Ibid

[3] Ibid, hal. 221

[4] Ibid

[5] Menurut catatan Tabari, para ulama yang diidentifikasi sebagai orang yang berpura-pura (taqiyah) tersebut antara lain: Abu Hassan, Bishr bin al-Walid, Al-Fadl bin Ghanim, Ali bin Abi Mugatil, Al-Dhayyal bin Al-Haytham, Yahya bin Abd al-Rahman Al-Umari, Ali bin Al-Jad, Abu Al-Awwam, Sajjadah, Al-Qawariri, Ibn Al-Hasan bin Ali b. Asim, Ishaq bin Abi Israil, Al-Nadr bin Shumayl, Abu Nasr Al-Tammar, Sadawayh Al-Wasiti, Muhammad bin Hatim bin Maymun, Abu Mamar, Ibn Al-Hirsh, Ibn Al-Farrukhan, Ahmad bin Shuja dan Abu Harun bin Al-Bakka. Lihat, ibid, hal. 222

[6] Ibid

[7] Lihat, DR. Ahmad Al-Khani, Ringkasan Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir,  ia800802.us.archive.org, hal. 590

[8] Ibid

[9] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 223

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*