Dinasti Abbasiyah (69): Wafatnya Al-Makmun

in Sejarah

Last updated on July 22nd, 2019 07:34 am

Menurut Tabari, masa kekhalifahan Al-Makmun berlangsung selama 20 tahun, 5 bulan dan 13 hari. Meski sosoknya cukup kontroversial, tapi umumnya sejawaran sependapat, bahwa selama kurun pemerintahannya, Al-Makmun telah berhasil mengantarkan peradaban Islam mencapai puncak era keemasannya.

Gambar ilustrasi. Sumber: eseinosa.com

Al-Makmun meninggal pada hari Kamis, 18 Rajab 218 H, di sebuah wilayah Romawi yang dikenal dengan nama Badidun. Setelah meninggal, dia dibawa ke Tarsus dan dimakamkan di sana. Tentang kisah kematiannya, Imam As-Suyuthi mengisahkan sebagai berikut:[1]

Al-Makmun jatuh sakit saat berada di wilayah Romawi. Tatkala sakitnya kian parah, dia meminta agar anaknya, Abbas bin Al-Makmun, segera menemuinya. Awalnya dia mengira Abbas tidak akan sampai padanya. Tapi ternyata keduanya masih sempat bertemu kendati Abbas dalam kondisi sangat letih. Sementara itu, surat keputusan sudah disebarkan ke seluruh negeri, yang isinya antara lain: “Dari Abdullah Al-Makmun dan saudaranya, Abu Ishaq, khalifah yang akan menggantikannya sepeninggalnya.”

Disebutkan bahwa surat itu ditulis atas perintah Al-Makmun. Namun ada pula yang mengatakan bahwa ia ditulis sewaktu Al-Makmun sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Al-Masudi berkata, “Al-Makmun datang ke wilayah Badidun. Dia sangat kagum dengan kesejukan udaranya, kejernihan airnya, serta keindahan penoramanya dengan pepohonan yang  menghijau dan sangat rindang. Pada satu saat di tempat itu, dia melihat seekor ikan berenang-renang di dalam mata air yang jernih. Ikan itu bagaikan batangan perak yang berkilauan. Dia terkagum-kagum melihatnya. Sayangnya tak ada seorang pun yang berani turun ke dalam mata air itu saking dinginnya. Akhirnya, Al-Makmun membuat sayembara untuk menangkap ikan tersebut.

Seorang pelayan Al-Makmun tiba-tiba terjun ke dalam air. Dia berhasil menangkap ikan tersebut, lalu segera menepi. Namun, sesampainya di darat, ikan itu menggeliat dengan keras dan berusaha melompat kembali ke dalam air. Ia sempat menabrak dada dan pangkal leher Al-Makmun sehingga pakaian sang khalifah basah kuyup.

Si pelayan pun kembali turun untuk menangkap lagi ikan yang berwarna perak tadi. Setelah berhasil kembali ditangkap, ikan itu mereka masak dengan cara digoreng. Namun, belum lagi ikan itu selesai digoreng, tiba-tiba Al-Makmun terserang rasa dingin yang luar biasa. Tubuhnya menggigil sehingga para pelayannya buru-buru menyelimutinya. Dalam keadaan kedinginan itu, Al-Makmun berteriak-teriak. Untuk mengurangi rasa dinginnya, para pengikut Al-Makmun menyalakan api unggun. Setelah itu, ikan yang telah digoreng tadi diberikan kepada Al-Makmun.

Sayangnya, Al-Makmun tidak sempat mencicipi ikan tersebut, karena dia terlanjur jatuh pingsan akibat tidak tahan dingin. Beberapa waktu kemudian, Al-Makmun siuman dari pingsannya. Dia lalu bertanya kepada orang-orang di sekitarnya tentang makna dari tempat ini dalam bahasa Arab. Hadirin menjelaskan bahwa makna “Badidun” dalam bahasa Arab adalah: panjangkan kakimu.

Lebih lanjut, dia menanyakan nama desa tempat dia berada. Mereka menjawab bahwa nama desa itu adalah Riqqah. Konon sejak lahir Al-Makmun pernah diramalkan akan meninggal di sebuah tempat yang bernama Riqqah. Itu sebabnya dia selalu menghindari tempat yang bernama Riqqah (untuk menghindari kematian di tempat itu).

Begitu mendengar dari orang-orang Romawi bahwa nama tempat itu adalah Riqqah, dia pun paham, lalu mulai dihinggapi rasa putus asa. Al-Makmun lalu berkata, “Wahai Dzat yang kerajaanNya tidak pernah berakhir, ampunilah orang yang kerajaannya telah hilang.”

Demikianlah kisah kematian Al-Makmun menurut As-Suyuthi.

Sehubungan dengan waktu kematiannya, menurut Tabari, sebenarnya ada banyak versi laporan mengenai kapan tepatnya waktu wafatnya Al-Makmun. Beberapa laporan mengatakan bahwa masa hidupnya berakhir pada hari Rabu tanggal delapan belas Rajab, 218 H (9 Agustus 833) setelah sholat Ashar. Yang lain menyangkal hal ini, dan mengatakan bahwa masa hidupnya berakhir pada hari yang sama pada waktu shalat Zuhur.[2]

Lebih lanjut menurut Tabari, bahwa ketika Al-Makmun dalam keadaan sekarat, putranya Al-Abbas dan saudaranya Abu Ishaq Muhammad bin Al-Rashid (Al-Muktasim) membawanya ke Tarsus dan menguburkannya di sebuah rumah milik Khagan, seorang kasim (khadim) Al-Rashid. Adapun yang menjadi imam sholat jenazahnya adalah saudaranya Abu Ishaq. Setelah dikebumikan, kemudian mereka mempercayakan tugas mengawasi makan Al-Makmun kepada seratus prajurit yang terdiri dari orang-orang dari garnisun Abna (Khurasan) yang sedang bertugas di Tarsus dan beberapa diambil dari kawasan lainnya. Masing-masing mereka diberi jatah sembilan puluh dirham.[3]

Menurut Tabari, masa kekhalifahan Al-Makmun berlangsung selama dua puluh tahun, lima bulan dan tiga belas hari. Kurun waktu tersebut tidak termasuk dua tahun perang saudara, hingga berujung pada peristiwa pengepungan Baghdad selama dua tahun oleh pasukan Al-Makmun. Di kurun waktu dua tahun tersebut, secara de facto nama Al-Makmun sudah disebut sebagai penguasa Abbasiyah dalam ibadah haji dan di mimbar-mimbar sholat jumat kaum Muslimin.[4]

Al-Makmun dilahirkan di pertengahan bulan Rabiul Awwal (pada tanggal 15) tahun 170 H/14 September 786 M, dan dilantik secara resmi sebagai khalifah ketujuh Bani Abbas pada hari Rabu, tanggal 25 Muharram, 198 H / 25 September 813 M. Selama lebih dari 20 tahun masa pemerintahannya, Al-Makmun telah berhasil mengantarkan peradaban Islam mencapai puncak era keemasannya. Tradisi intelektual yang dibangunnya telah berkembang sedemikian rupa, hingga menghasilkan sejumlah penemukan penting yang menjadi asas berdirinya peradaban modern yang kita nikmati sekarang.

Tapi layaknya tokoh-tokoh besar dunia, sosok Al-Makmun memeram dalam dirinya sejumlah paradoks. Di samping  melahirkan banyak capaian, kebijakan Al-Makmun juga tak jarang menyulut kontroversi. Seperti pencapaiannya yang monumental, kontroversi yang dibuatnya juga menyisakan sejumlah masalah pelik dalam sejarah kehidupan beragama dan politik Islam. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 334-335

[2] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 231

[3] Ibid

[4] Ibid, hal. 232

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*