Setelah mematahkan rencana pemberontakan Abbas bin Al-Makmun, Al-Muktasim kembali mencium rencana makar lainnya. Kali ini pelakunya adalah Al-Afshin, jenderal perang kepercayaannya. Setelah mendapatkan kepercayaan dan kekayaan yang banyak dari Al-Muktasim, Al-Afshin ternyata sedang menyusun kekuatan dan berencana untuk membangun kembali kekaisaran leluhurnya di kawasan Asia Tengah.
Masalah lain yang harus di hadapi Al-Muktasim selain rencana kudeta Abbas bin Al-Makmun, adalah isu pengkhianatan Al-Afshin, jenderal pasukan Turki yang sangat dia percaya. Isu pengkhianatan ini baru tercium pada tahun 224 H, atau tak lama setelah Al-Muktasim pulang dari Bizantium. Adapun alasan mengkhianatan ini, tidak lepas dari konteks masa lalu Al-Afshin sendiri.
Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, Al-Afshin sebenarnya adalah seorang pangeran dari Kerajaan Ashrosna. Wilayah teritori kerajaan ini, dulunya mencakup sekitar wilayah Turkistan atau Transoxiana (sekarang mencakup Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgistan).[1] Adapun di sebalah barat Turkistan, dulunya bernama Khurasan, lalu di sebelah baratnya lagi, barulah Al-Iraq, yang di dalamnya terdapat Baghdad dan Samarra, ibu kota Dinasti Abbasiyah. [2] (lihat peta)
Alkisah, Al-Afshin yang sudah berhasil mendapat popularitas, kekayaan dan kepercayaan penuh dari Al-Muktasim, mulai berani membangun mimpinya untuk mendirikan kembali kekaisaran Ashrosna. Ketika dia sedang melakukan pertempuran melawan Babak Khurmi, Al-Muktasim mendukungnya dengan uang, logistik, dan senjata yang melimpah. Di antara uang, logistik dan senjata tersebut, ternyata dia sisihkan untuk dikirim ke rakyatnya di Ashrosna.[3]
Hal demikian itu dia lakukan berkali-kali dan berlangsung selama beberapa waktu. Sehingga lambat laun, harapan masyarakat Ashrosna menjadi tinggi kepadanya, dan nama keluarganya kembali populer di sana sebagai pemimpin kaumnya.
Hanya saja, untuk mengirimkan lebih banyak logistik dan uang ke Ashrosna, orang-orang Al-Afshin harus melalui wilayah Khurasan, yang ketika itu sedang dipimpin oleh seorang gubernur yang cerdik, bernama Abdullah bin Tahir. Dia adalah putra dari Tahir bin Husein yang ketika era Al-Makmun memiliki jasa besar membawa Al-Makmun merebut kekuasaan dari Al-Amin.[4]
Pada satu ketika, salah satu rombongan pengirim logistik wilayah Khurasan tersebut tertangkap oleh kaki tangan Abdullah bin Tahir. Orang-orangnya ditangkap, dan barang-barangnya disita. Dari pengakuan para kurir tersebut, didapatkan informasi bahwa mereka disuruh oleh Al-Afshin untuk mengirimkan barang-barang tersebut ke Ashrosna.[5]
Awalnya, hal ini tidak dipercaya oleh Abdullah bin Tahir. Maka dia mengirim surat pribadi kepada Al-Afshin yang menginformasikan bahwa terdapat pengkhianat dalam tubuh pasukannya. Beberapa dari mereka mencuri uang, logistik dan senjata dalam jumlah cukup besar, dan sekarang sudah ditangkap di Khurasan.[6]
Mendapat informasi langsung dari Abdullah bin Tahir, Al-Afshin panik. Tapi dia tidak memiliki jalan untuk berkelit. Dengan rasa malu, diapun mengakui, bahwa benar apa yang dikatakan oleh para kurir tersebut. Dia meminta agar mereka dilepaskan, dan semua barang yang disita itu dikembalikan padanya.[7]
Mendapat pengakuan langsung dari Al-Afshin, Abdullah mulia menaruh curiga. Tapi dia tidak ingin memperpanjang masalah. Maka dia memutuskan untuk membebaskan para kurir Al-Afshin, tapi tetap menyita barang-barang yang mereka bawa, lalu membagikannya kepada para prajuritnya.[8]
Bagi Abdullah bin Tahir, keputusannya ini adalah harga yang pantas (good deal), mengingat apa yang dilakukan oleh Al-Afshin bisa berarti pengkhianatan bila dia adukan pada Al-Muktasim. Tapi tidak bagi Al-Afshin. Dia justru merasa khawatir bawah gerakannya sudah mulai tercium, dan tak lama lagi akan sampai ke telinga Al-Muktasim. Sejak itu, Abdullah bin Tahir sudah masuk dalam bidikan Al-Afshin.
Kemudian, ketika Al-Afshin berhasil mengalahkan Babak Khurmi, dan kembali ke Samarra layaknya seorang raja yang baru pulang dari perang, imajinasi politiknya kian liar. Dengan semua prestasi yang ditorehnya, dia merasa layak mendapat privilege untuk memilih sendiri dimana dia akan berkuasa.[9]
Dia berharap ditunjuk menjadi gubernur di wilayah Khurasan menggantikan Abdullah bin Tahir. Dengan demikian dia bisa lebih leluasa mengirim logistik ke wilayah Ashrosna dan menyatukan seluruh kekuatan di wilayah timur dengan Ashrosna sebagai pusatnya.[10]
Hanya saja, ketika itu Al-Muktasim malah menunjuknya sebagai penguasa di Kawasan Azarbaijan dan Armenia. Yang lokasi justru lebih jauh dari Ashrosna. Hal ini membuat Al-Afshin kecewa. Tapi perasaan itu masih bisa diredamnya. Dia tetap melayani Al-Muktasim dengan baik, hingga berhasil mengalahkan Bizantium.[11]
Tapi ketika memasuki tahun 224 H, atau sepulangnya dari penaklukan atas Bizantium – dan armada pasukan inti Abbasiyah (abna) sudah kehilangan para komandannya pasca terbongkarnya rencanan kudeta Abbas bin Al-Makmun – Al-Afshin melihat momentum untuk mulai melancarkan siasat politiknya menyingkirkan Abdullah bin Tahir.
Secara kebetulan, Abdullah bin Tahir memiliki musuh potensial, yaitu penguasa Tabaristan, bernama Mazyar bin Qarin. Permusuhan kedua orang ini terbilang lebih bersifat primordial ketimbang politis. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan kedua orang ini kian memanas karena dipicu oleh masalah aturan pembayaran pajak yang ditetapkan Al-Mutasim.[12]
Berdasarkan aturan yang ditetapkan Al-Muktasim, pajak wilayah Tabaristan dikumpulkan melalui penguasa Khurasan, yang kebetulan ketikan itu adalah Abdullah bin Tahir. Tak ayal, hal ini memicu keengganan dari Mazyar. Atas nama harga diri kaumnya, dia ingin langsung membayarkan pajaknya ke Al-Muktasim. Ketegangan pun terjadi antara Mazyar bin Qarin dengan Abdullah bin Tahir. Melihat perkembangan situasi ini, Al-Afshin pun berencana menggunakan tanggan Mazyar untuk menghancurkan Abdullah bin Tahir.[13] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Turkistan atau Turkestan adalah nama sebuah kelompok masyarakat ernis Turki. Ruang lingkup wilayah yang mereka tempat kira-kira berada di wilayah Asia Tengah yang terletak di antara Siberia di utara; Tibet, Pakistan, Afghanistan, dan Iran di selatan; Gurun Gobi di timur; dan Laut Kaspia di sebelah barat. Orang-orang Turki atau disebut juga Turki Oghuz, mencakup etnis Uzbeks, Kazakhs, Khazars, Kyrgyzstan, Hazara, dan Uighur. Tapi seiring berjalannya waktu beberapa penduduk Turki di wilayah tersebut, telah menyebar lebih jauh ke Eurasia membentuk negara-negara etnis Turki, seperti Turki, dan wilayah sub-nasional seperti Tatarstan di Rusia dan Crimea di Ukraina. Saat ini wilayah Turkistan yang disebut di atas, telah dibagi menjadi dua, yaitu, Turkistan barat yang mencakup dari wilayah Afghanistan hingga ke Rusia di Barat. Dan Turkistan Timur, yang mencakup dari Kazakhstan sampai daerah Xinjiang, China yang ditempati oleh etnis Uighur. Lihat, Turkistan, https://www.britannica.com/place/Turkistan, diakses 12 September 2019
[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 450
[3] Ibid
[4] Uraian lebih jauh mengenai kiprah Tahir bin Husein, bisa menyimak edisi ke-59 serial ini. Untuk membaca bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/%EF%BB%BFdinasti-abbasiyah-59-abdullah-al-makmun-8/
[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit
[6] Ibid, hal. 451
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 136
[13] Ibid