Dinasti Abbasiyah (59): Abdullah Al-Makmun (8)

in Sejarah

Last updated on June 22nd, 2019 05:48 am

Dulu, dalam kondisi terdesak, Al-Amin pernah menulis surat pada Tahir bin Husein, “Wahai Tahir, tak seorang pun yang membantu hak-hak kami, kecuali menerima balasan kami berupa pedang! Karena itu, hendaknya engkau berpikir ulang atau tinggalkan perkara ini segera!” Dan hal ini pun terjadi.

Gambar ilustrasi. Sumber: Pinterest


Setelah berhasil kembali menduduki Baghdad, Al-Makmun memutuskan untuk menjadikan kota yang dibangun oleh Al-Manshur tersebut sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah. Dia mulai merancang dari awal sistem pemerintahannya, serta menunjukkan sejumlah orang baru untuk menempati posisi-posisi strategis. Dia memilih Tahir bin Husein – pahlawan yang menaklukkan Al-Amin di Baghdad – sebagai kapala kepolisian (madwin).[1] Pada tahun 205 H, Al-Makmun menobatkan Tahir bin Husein sebagai gubernur wilayah mulai dari Baghdad hingga sejauh manapun kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Timur.[2]

Di tempat yang lain, Al-Makmun juga mengangkat putra Tahir bin Husein bernama Abdullah bin Tahir sebagai gubernur di Raqqah (Irak sekarang). Ketika mendengar putranya mengemban amanat penting, Tahir nulis surat khusus pada putranya tentang prinsip-prinsip administrasi, dasar-dasar etika, dan politik.[3]

Menurut Akbar Shah Najeebabadi, suratnya ini kemudian menjadi salah satu dokumen terbaik tentang etika dan prinsip-prinsp administrasi.[4] Konon, Al-Makmun yang mendapatkan salinan dari surat ini, kemudian men-copy nya lalu menyebarkan surat tersebut ke semua gubernurnya. Ibnu Khaldun dan Ibnu Atsir dalam karya mereka sempat mengutip surat ini, dan menilai isi surat tersebut penting dipelajari oleh para siswa dalam memahami dasar etika pemerintahan.[5]

Tapi sayangnya, kisah hidup Tahir bin Husein berakhir tragis. Di Khurasan, Tahir dengan mudah meraup simpati dari masyarakat di sana. Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, bahwa Tahir bukan orang baru dikenal di Khurasan. Dia adalah pahlawan yang berhasil membunuh Ali bin Isa bin Mahan, seorang gubernur yang tidak disukai oleh masyarakat Khurasan.[6] Setelah itu namanya melambung menjadi pahlawan masyarakat. Dan ketika kini dia menjadi penguasa kawasan timur Dinasti Abbasiyah, popularitasnya kian melambung, bahkan hampir setara dengan Al-Makmun.

Hingga satu ketika di tahun 207 H, para prajurit di Khurasan kebingungan, karena Sholat Jumat yang diselenggarakan di Khurasan sudah tidak lagi menyebut nama Al-Makmun. Hal ini kemudian dilaporkan oleh para inteligen Al-Makmun ke Baghdad. Mendengar informasi ini, Al-Makmun marah. Dia kemudian mengutus anak buahnya ke Khuarasan untuk terus memantau pergerakan Tahir bin Husein.[7] Dan tak lama kemudian, di tahun yang sama, Tahir bin Husein menghembuskan napas terakhirnya.

Kulthum bin Thabit bin Abi Saad, salah satu intel yang dikirim Al-Makmun mengisahkan, bahwa suatu hari dia melihat Tahir bin Husein datang padanya dengan luka cukup besar dipelipis. Akibat luka itu, dia pingsan dan kemudian meninggal dunia. Para prajurit mengatakan bahwa telah terjadi pemberontakan di dalam istana Tahir bin Husein. Kulthum kemudian diperintahkan oleh komandan Tahir agar melaporkan masalah ini ke Baghdad.[8]

Akbar Shah Najeebabadi mengatakan, bahwa sebelum wafat, Tahir bin Husein sempat mengalami sakit keras yang tidak wajar. Besar kemungkinan Tahir tewas diracun oleh salah satu budaknya yang tidak setuju dengan gejala pengkhianatan Tahir bin Husein.[9]

Akbar Shah Najeebabadi melanjutkan, memang sudah ciri khas Al-Makmun, bahwa dia tidak mentolerir sedikitpun gejala pemberontakan. Namun demikian, kebenciannya pada para pengkhianat itu tidak membuatnya membenci keluarga mereka. Sebaliknya, anggota keluarga mereka malah diangkat untuk menggantikan posisi orang tersebut.[10] Sebagaimana yang terjadi dengan Fadl bin Sahal, yang digantikan posisinya oleh adiknya Hasan bin Sahal. Dalam kasus Tahir bin Husein, Al-Makmun segera mengangkat putra Tahir yang lain bernama Talhah bin Tahir sebagai gubernur Khuarasan menggantikan ayahnya.[11]

Tapi terlepas dari itu, kematian Tahir bin Husein mengingatkan orang pada surat yang dulu pernah ditulis Al-Amin ke padanya. Ketika itu Al-Amin yang sudah dalam kondisi terdesak akibat serangan Tahir bin Husein, mengirim surat pada Tahir yang isinya, “Wahai Tahir, tak seorang pun yang membantu hak-hak kami (Bani Abbas), kecuali menerima balasan kami berupa pedang! Karena itu, hendaknya engkau berpikir ulang atau tinggalkan perkara ini segera!”[12]

Al-Amin tampaknya ingin memberi isyarat pada Tahir tentang apa yang dulu menimpa Abu Muslim Al-Khurasani, Yahya bin Khalid Al-Barmaki, dan lain-lain. Orang-orang itu dulu berani mengorbankan nyawanya demi kejayaan Dinasti Abbasiyah, tapi pada ujungnya mereka bernasib tragis dan dihabisi secara tidak hormat. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Jabatan madwin di sini agak sulit dicari padanannya dengan profesi saat ini. Istilah madwin berarti bantuan atau pelayanan yang juga menjadi tugas kepolisian saat ini. Tapi dalam tugasnya, Madwin juga menanggung beban keuangan, seperti pengumpulan pajak dan lain-lain. Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal.

[2] Wilayah Timur Dinastia Abbasiyah ketika mencakup hingga ke wilayah Asia Tengah (Khurasan). Tapi rentangannya tidak tetap. Karena sejumlah pemberontakan kerap terjadi di sana. Di sisi lain, ekspedisi militer pun terus dilakukan. Dengan demikian, wilayah ini cukup sulit ditentukan batas pastinya.

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 421

[4] Terkait isi surat ini, bisa merujuk pada riwayat Tabari. Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 110-128

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 422

[6] Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-48-muhammad-al-amin-5/

[7] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 131

[8] Ibid, hal. 132

[9] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 423

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 320

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*