Dinasti Abbasiyah (88): Abu Ishaq Al-Muktasim (19)

in Sejarah

Last updated on September 21st, 2019 05:51 am

Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Mazyar bin Qarin, Klan Tahir secara otomatis menjadi satu-satunya kekuatan yang diakui di wilayah Khurasan. Pada masa selanjutnya, klan ini berkembang menjadi entitas politik otonom yang dikenal dengan nama Dinasti Tahiriyah.

Gambar ilustrasi. Sumber: threadreaderapp.com

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi sebelumnya, bahwa disebabkan masalah permusuhan antar keluarga yang sudah berlangsung lama, penguasan wilayah Tabaristan, Mazyar bin Qarin tidak mau menyerahkan pajaknya melalui Abdullah bin Tahir yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Khurasan. Padahal, sesuai ketentuan Al-Muktasim, wilayah Tabristan masuk dalam teritori Khurasan.

Dikisahkan oleh Tabari, bahwa Mazyar bin Qarin akhirnya mengirimkan langsung pajaknya pada Al-Muktasim di Samarra. Tapi oleh Al-Muktasim pajak tersebut dikembalikan kepada Abdullah bin Tahir, karena memang hasil pajak itu akan menjadi kas daerah yang digunakan untuk mengelola seluruh wilayah Khurasan. Tapi ketika Mazyar mengetahui hal ini, dia mulai kecewa pada Al-Muktasim.[1]

Di sisi lain, Al-Afshin sudah sejak lama mendengar adanya rencana Al-Muktasim untuk mengeser kedudukan Abdullah bin Tahir. Tapi karena satu dan lain hal, rencana itu tak pernah dilakukannya. Maka ketika Al-Afshin berhasil memadamkan pemberontakan Babak Khurmi, dan mendapat penghargaan tinggi atas keberhasilan tersebut, dia memberanikan mengajukan diri kepada Al-Muktasim untuk mengelola wilayah Khurasan.[2]

Tapi tak di sangka, permohonan itu ditolak. Al-Afshin malah diperintahkan untuk menjadi gubernur di wilayah Azarbaijan dan Armenia yang jaraknya jauh dari wilayah kelahirannya, Turkistan atau Transoxiana. Atas keputusan Al-Muktasim tersebut, Al-Afshin pun kecewa.[3]

Maka, ketika melihat ketegangan antara Mazyar bin Qarin dengan Abdullah bin Tahir terus meningkat, dia memberanikan diri masuk dalam dinamika konflik antar dua keluarga itu. Al-Afshin secara pribadi menulis surat kepada Mazyar yang isinya kurang lebih sebagai berikut:

“(Sekarang) tidak ada lagi tokoh yang masih berkomitmen menyebarkan agama Zoroaster selain kau dan aku. Babak (Khurmi) sempat mencoba melakukannya, tapi dia gagal karena kebodohannya sendiri. Dia tidak mau bertindak sebagaimana arahan ku. Kini ada kesempatan emas untuk menunjukkannya kembali. Yang kau perlu lakukan hanya bangkit melakukan revolusi. Mereka tidak punya pilihan lain, selain mengirim ku untuk menghadapi mu. Aku akan berkonspirasi dengan mu, dan segera menggabungkan kekuatan kita. Sehingga yang tersisa (dari kekuatan Abbasiyah) kini tinggalah pasukan dari Maghribah (orang-orang barat), Arab dan Khurasan yang akan menghadapi kita. Mahgribah jumlahnya sangat sedikit. Kekuatan mereka cukup ditangani oleh divisi menengah saja dari pasukan kita. Adapun pasukan Arab, cukup pancing mereka, lalu jatuhi kepala mereka dengan batu. Sedangkan pasukan Khurasan, antusiasme mereka tak ubahnya seperti susu yang mendidih, sebentar naik, tapi tak lama kemudian langsung surut kembali. Dengan sedikit upaya saja, mereka semua bisa cepat kita atasi. Jika sekarang kau bersiap, maka agama (Zoroaster) yang pernah berkibar selama era raja-raja non-Arab, akan melihat kebangkitannya kembali.”[4]

Mendapat surat langsung dari Al-Afshin yang saat itu menjabat sebagai panglima perang tantara Abbasiyah, semangat Mazyar bin Qarin langsung membumbung tinggi. Tanpa menunggu lagi, dia langsung merencanakan revolusi untuk menggulingkan kekuasaan Abdullah bin Tahir dan Dinasti Abbasiyah.

Mazyar bin Qarin menyadari, bahwa yang akan dihadapinya adalah salah satu pasukan terkuat di muka bumi. Sehingga sebagai langkah awal, dia harus mengumpulkan sebanyak mungkin senjata, pasukan, dan logistik. Dia memerintahkan agar anak buahnya segera menarik pajak yang tinggi dari masyarakat – tidak hanya di wilayah Tabaristan – tapi juga di sekitar wilayah Khurasan.[5]

Pada awalnya, proses penarikan pajak dan pengumpulan kekuatan ini dilakukannya secara senyap. Tapi banyaknya penolakan dari masyarakat atas biaya pajak yang begitu tinggi, sehingga kerusuhan pun banyak terjadi di sejumlah wilayah. Dan karena hasil pajak itu tidak lagi diserahkan kepada Al-Muktasim ataupun Abdullah bin Tahir, maka tahulah Abdullah, bahwa runtutan dari kerusuhan yang terjadi tersebut, tidak lain adalah kedok dari sebuah pemberontakan yang sedang berlangsung. Maka Abdullah bin Tahir langsung memerintahkan pamannya yang bernama Hasan bin Husein (adik dari Tahir bin Husein) untuk memadamkan pemberontakan Mazyar.[6]

Tapi proses pemadaman pemberontakan ini tidak berlangsung mudah. Karena selain harus menghadapi Mazyar bin Qarin, Hasan bin Husein juga harus menghadapi kerusuhan rakyat yang mengira bahwa kebijakan penarikan pajak tersebut berasal dari kebijakan Abdullah bin Tahir dan Al-Muktasim. Maka yang terjadi kemudian adalah huru hara di Khurasan. Masing-masing kekuatan (Mazyar bin Qarin dan Hasan bin Husein) tidak mampu mengembangkan kemampuan tempurnya. Sehingga perlu ada intervensi dari luar untuk memecah kebuntuan ini.

Mazyar bin Qarin berharap bantuan dari Al-Afshin sebagaimana yang dijanjikannya dalam suratnya. Al-Afshin juga berharap, inilah saatnya dia memasuki teather sejarah. Tapi tak disangka, Al-Muktasim malah mengirim pasukan ke Khurasan dan menyerahkannya di bawah komando Hasan bin Husein, serta melarang Al-Afshin untuk bertempur.[7]

Dengan datangnya bantuan dari Samarra, dengan cepat Hasan bin Husein berhasil membalikkan keadaan. Dan dalam waktu singkat berhasil menumpas pemberontakan Mazyar bin Qarin. Dengan kekalahan Mazyar, berakhir pula konflik keluarga yang berlangsung bertahun-tahun di kawasan Khurasan sampai tepian laut Kaspia.

Klan Tahir secara otomatis menjadi satu-satunya kekuatan yang diakui di Kawasan tersebut. Pada masa selanjutnya, klan Tahir terus tumbuh sebagai sebuah entitas politik yang kokoh, lalu betransformasi menjadi sebuah dinasti yang otonom. Sejarawan kemudian mencatat, Dinasti Tahiriyah adalah entitas politik yang pertama di Kawasan Timur yang memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah.[8] (AL)

Peta wilayah Dinasti Tahiriyah yang dianggap sebagai entitas politik yang pertama di Kawasan Timur yang memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah. Dinasti ini hidup sekitar tahun 205 H/821 M sampai 259 H/ 873 M. Sumber gambar: wikipedia.com

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 136

[2] Ibid, hal. 137

[3] Ibid

[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 451

[5] Ibid, hal. 452

[6] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 137-138

[7] . Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit

[8] Menurut Akbar Shah Najeebabadi, Dinasti Tahiriyah sudah berdiri sejak ditetapkannya Tahir bin Husein sebagai gubernur di Khuarsan pada tahun 205 H/ 820 M. Meski begitu, mereka tetap merujuk pada khalifah Abbasiyah sebagai penguasa tertinggi dalam dunia Islam. Mirip seperti Dinasti Umayyah di Cordoba, meski memiliki otonomi sendiri, para sultan mereka tidak mendapuk diri sebagai Amirul Mukminin. Akan tetapi, Dinasti Tahiriyah hanya mampu bertahan selama 50 tahun, atau sampai 259 H/ 872 M. Setelah itu, dinasti ini hilang dari arus sejarah. Tapi eksistensi mereka sudah berhasil menginsipirasi banyak wilayah untuk membangun kekuatan politik serupa. Lihat, Ibid, hal. 615  

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*