Dinasti Abbasiyah (89): Abu Ishaq Al-Muktasim (20)

in Sejarah

Last updated on September 22nd, 2019 08:02 am

Sejak kekalahan Mazyar bin Qarin, Al-Afshin merasa khawatir tentang keselamatannya. Dia ingin membunuh Al-Muktasim dan sejumlah komandan Turki yang masih setia padanya. Rencananya, mereka semua akan diracun dalam sebuah perjamuan makan.

Gambar ilustrasi. Sumber: spikeybits.com

Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Mazyar bin Qarin, Abdullah bin Tahir langsung memerintahkan pamannya, Hasan bin Husein untuk mengejar dan menangkap Mazyar. Tak butuh waktu lama, Mazyar pun tertangkap. Tapi di tengah menangkapan tersebut, betapa terkejutnya Hasan bin Husein ketika menemukan adanya surat dari Al-Afshin kepada Mazyar.[1]

Hal ini kemudian dilaporkan kepada Abdullah bin Tahir. Mendapati laporan tersebut, Abdullah memerintahkan agar semua ini dirahasiakan, dan biarkan urusan ini diserahkan langsung ke Al-Muktasim. Maka Mazyar bin Qarin segera digelandang ke Samarra bersama surat yang dikirim langsung oleh Al-Afshin.

Abdullah memerintahkan kepada pimpinan pasukan yang membawa Mazyar agar menyimpan surat Al-Afshin dengan hati-hati. Serta memerintahkan mereka agar hanya menyerahkan surat tersebut ke Al-Muktasim, bukan yang lain, sekalipun yang meminta itu adalah pejabat tinggi di Samarra.[2]  

Ketika tiba di Samarra, Mazyar bin Qarin langsung dijebloskan ke dalam penjara. Adapun surat dari Al-Afshin, berhasil diterima langsung oleh Al-Muktasim. Dan setelah membaca langsung surat tersebut, Al-Muktasim dicekam kebingungan. Dia mengetahui masalah apa yang sebenarnya dia hadapi selama ini.

Al-Afshin adalah ksatria pilih tanding. Tidak hanya hebat dalam bertempur, dia juga populer, serta cakap dalam memanage dan menyusun strategi peperangan. Selama hampir 20 tahun ikut bertempur bersama Al-Muktasim, tak sekalipun Al-Afshin mengalami kekalahan. Pasukannya yang berasal dari Turki sangat loyal kepada Al-Afshin. Sebab secara genetis, Al-Afshin memang pemimpin alamiah kaumnya. Dia adalah pangeran dari kekaisaran Ashrosna yang dulunya berkuasa atas wilayah Transoxiana atau Turkistan.

Di sisi lain, kekhalifahan Abbasiyah kini sudah tidak memiliki perwira yang bisa diharapkan. Sebab pasca terungkapnya rencana kudeta Abbas bin Al-Makmun, saat ini yang tersisa hanyalah pasukan Turki yang setia pada Al-Afshin dan komandan Turki lainnya seperti Aytakh, Ashinas dan Bugha. Sedang para komandan pasukan inti Abbasiyah sudah habis dieksekusi oleh Al-Muktasim karena terbukti memihak pada Abbas.

Dengan tersingkapnya masalah ini, Al-Muktasim baru menyadari, bahwa di antara semua musuh dan masalah yang dia hadapi, inilah yang terberat. Maka dia berusaha tenang, untuk mencari jalan yang paling aman dan bijak dalam menuntaskan masalah ini. Surat itupun dia simpan sendiri untuk sementara. Ini terjadi di akhir tahun 224 H.[3]

Di tempat berbeda, Al-Afshin yang mendengar berita kekalahan Mazyar bin Qarin, mulai mencium juga bahaya di depan matanya. Dia yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Azarbaijan dan Armenia, sudah mulai berpikir untuk melarikan diri ke kampung halamannya di Transoxiana. Tapi untuk melalui wilayah tersebut, dia harus melintasi Kawasan Tabaristan dan Khuarasan yang kini dikuasai oleh Abdullah bin Tahir.

Memasuki tahun 225 H, adu taktik antara Al-Muktasim mulai berlangsung. Al-Muktasim menyadari, tidak mungkin menyeret orang sekuat Al-Afshin ke pengadilan, sekalipun bukti surat sudah dia dapatkan. Meski begitu, dia juga tidak akan membiarkan Al-Afshin melarikan diri. Untuk itu, dia mulai mengganti orang-orang di sekitar Al-Afshin dengan orang-orang kepercayaannya. Bahkan, wakil Al-Afshin di Azarbaijan, juga diganti dengan orang kepercayaan Al-Muktasim. Sehingga makin kecil kemungkinan bagi Al-Afhsin untuk melarikan diri.[4]

Di pihak lain, Al-Afshin juga tak kalah cerdik. Dia mengawinkan putranya yang bernaman Hasan dengan Utrunjah, putrinya Ashinas, salah satu jenderal Turki yang paling dipercaya Al-Muktasim. Dikisahkan oleh Tabari, pernikahan ini dirayakan secara besar-besaran di Samarra, dan dihadiri oleh semua kelompok masyarakat hingga elit kekhalifahan Abbasiyah. Setelah itu, Al-Afshin tinggal di istananya di Samarra.[5]

Di ibu kota Dinasti Abbasiyah itu, Al-Afshin masih berharap bisa kembali meraih simpati Al-Muktasim. Tapi sikap khalifah sudah banyak berubah kepadanya. Melihat tidak ada kemungkin untuk melakukan rekonsiliasi, Al-Afshin akhirnya memutuskan untuk membunuh Al-Muktasim dan para komandan Turki yang setia kepadanya.[6]

Rencananya, dia akan mengadakan perjamuan makan dan mengundang khalifah berikut semua komandan pasukan ke istananya. Ketika itu, Al-Afshin sudah menyiapkan racun dalam jumlah besar untuk membunuh mereka semua. Bila rencana itu berjalan lancar, dia akan segera melarikan diri dengan menggunakan jalur sungai Tigris dan berlayar menuju ke kampung halamannya. Kemudian, dia akan menggalang kekuatan di sana, lalu menyerang Dinasti Abbasiyah.[7]

Rencana besar ini, dikabarkannya kepada para pelayan yang dianggap setia kepadanya. Tapi tak disangka, di antara para pelayan itu ada seorang yang cukup kritis, sehingga dia meragukan rencana itu akan berhasil. Tidak terima karena rencananya dikritisi, Al-Afshin akhirnya memarahi pelayan tersebut, sehingga keributan di antara mereka didengar oleh penjaga yang masih setia pada Al-Muktasim. Si penjaga tersebut langsung bergegas melaporkan semua rencana Al-Afshin kepada Al-Muktasim. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 172-173

[2] Ibid, hal. 172

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 454

[4] Ibid, hal. 153

[5] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 174

[6] Ibid, hal. 183-184

[7] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*