“Abu Dzar berkata kepada Muawiyah, ‘apakah tuan-tuan yang sewaktu Quran diturunkan kepada Rasulullah, dia (harta kekayaan) berada di lingkungan tuan-tuan?’”
–O–
Abu Dzar al-Ghifari telah tiba di Suriah, tempat di mana Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan berkuasa. Menurut Tarikh Abul Fida, kejadian tersebut terjadi pada tahun 30 Hijriyah.[1] Di sana rakyat jelata telah menyambut kedatangannya, dan mereka berkata, “bicaralah wahai Abu Dzar! Bicaralah wahai sahabat Rasulullah!” Abu Dzar melihat ke arah mereka, kepada orang-orang-orang yang mengerumuninya. Dilihatnya bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang-orang miskin yang serba kekurangan.
Lalu dilayangkan pandangannya ke arah dataran agak tinggi yang tidak jauh dari sana, dia melihat bangunan-bangunan tinggi yang megah, menampilkan kemewahan. Berserulah Abu Dzar ke orang-orang miskin itu:
“Aku heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa dia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya!”
Namun kemudian dia teringat kembali wasiat Rasulullah yang melarangnya untuk angkat senjata, maka ditinggalkannya lah bahasa-bahasa yang dapat mengobarkan peperangan. Dia mengajarkan kepada orang-orang miskin tersebut pemahaman-pemahaman dasar mengenai Islam. Manusia ibarat gigi-gigi sisir, untuk mendapatkan rizki semuanya harus berhimpun; Bahwa tidak ada kelebihan seseorang dari lainnya, kecuali dalam hal ketaqwaan; Dan pemimpin dari suatu golongan haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum pengikutnya, sebaliknya dia harus yang paling belakang menikmati kekenyangan.
Abu Dzar telah memutuskan, bahwa dia akan terus berbicara, dia akan membangunkan kesadaran orang-orang di negeri Islam. Dia telah bertekad untuk membangun pehamaman di tengah-tengah umat Islam, sehingga itu dapat membatasi gerak dari para pembesar dan golongan orang kaya agar tidak menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan demi kepentingan pribadi.
Orang-orang terus berdatangan untuk mendengarkan ceramah Abu Dzar, suatu hari dia berkata, “Wahai kaum bangsawan! Wahai Muawiyah dan pemerintahannya! Bersimpatilah dengan orang miskin. Biarkan mereka yang mengumpulkan emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, ketahuilah bahwa dahi, sisi, dan punggung mereka akan disetrika dengan api. Wahai penimbun kekayaan! Tidakkah kamu tahu bahwa ketika seseorang meninggal, semuanya akan terpisah darinya. Hanya tiga hal yang tersisa untuknya, amal jariyah, pengetahuan yang bermanfaat, dan anak yang saleh, yang berdoa untuknya.”[2]
Hanya dalam beberapa hari sejak kedatangan Abu Dzar di Suriah, daerah tersebut seolah-olah telah berubah menjadi sel-sel lebah yang menemukan ratunya yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk memberontak, niscaya api pemberontakan akan berkobar di Suriah. Namun, hal itu tidak dia lakukan, niatnya hanya sebatas membangun pemahaman dan kesadaran bagi umat Islam.
Golongan orang kaya Suriah mulai merasa terganggu dengan Abu Dzar. Suatu saat Habib bin Muslimah Fahri menyaksikan bagaimana orang-orang mengerumuni dan mendengarkan ceramah Abu Dzar. Dia berkesimpulan, “ini adalah gangguan besar.” Dia segera pergi menemui Muawiyah dan berkata kepadanya, “wahai Mu’awiyah! Abu Dzar benar-benar akan mengacaukan pemerintah Suriah. Jika engkau membutuhkan Suriah, engkau harus menghentikan gangguan ini sejak awal.”[3]
Seruan-seruan Abu Dzar terhadap rakyat akhirnya mencapai puncaknya, Muawiyah menjadi gerah karenanya, maka dipanggil lah Abu Dzar untuk berdialog. Dialog tersebut dihadiri juga oleh beberapa kalangan sahabat. Tanpa merasa gentar dan tanpa basa-basi, ditanyainyalah Muawiyah perihal kekayaannya sewaktu sebelum menjadi pejabat dan sesudahnya. Dia mempertanyakan mengenai rumah Muawiyah dulu di Mekah dan membandingkannya dengan istana-istana megahnya di Suriah saat ini.
Kemudian, dihadapkannya pula pertanyaan kepada para sahabat yang duduk di sekeliling Muawiyah mengenai bangunan-bangunan mewah dan lahan pertanian luas yang mereka miliki di Suriah. Lalu dia berseru, “apakah tuan-tuan yang sewaktu Quran diturunkan kepada Rasulullah, dia (harta kekayaan) berada di lingkungan tuan-tuan?” Sebelum sempat dijawab Abu Dzar telah berbicara kembali, “benar, kepada tuan-tuanlah Al-Quran diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!”
Abu Dzar kembali bertanya, tidakkah tuan-tuan jumpai dalam Al-Quran ayat ini?:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Q.S at-Taubah ayat 34-35)
Muawiyah kemudian memotong jalannya pembicaraan, “ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab!”
“Tidak!” Seru Abu Dzar. “Bahkan dia diturunkan kepada kita dan kepada mereka!”
Abu Dzar melanjutkan kata-katanya, dia menasihati Muawiyah dan para pengikutnya agar segera melepaskan bangunan-bangunan mewah, tanah, serta harta kekayaan mereka; dan tidak menyimpan untuk diri sendiri kecuali untuk sekedar keperluan sesehari.
Berita mengenai tanya jawab Abu Dzar dengan Muawiyah ini segera tersebar dari mulut ke mulut, dan menyebar luas ke masyarakat banyak. Semboyannya semakin nyaring terdengar di rumah-rumah dan di jalan-jalan, “sampaikanlah kepada para penumpuk harta akan setrika-setrika api neraka!” Revolusi seolah terasa semakin dekat.
Muawiyah sadar akan adanya bahaya ini, dia cemas akan akibat ucapan dari tokoh ulung ini. Tetapi dia pun paham akan pengaruh dan kedudukan yang dimiliki Abu Dzar, sehingga itu mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang dapat menyakiti Abu Dzar. Dengan segera dia menulis surat kepada Khalifah Ustman bin Affan, dalam suratnya dia berkata, “Abu Dzar telah merusak orang-orang di Suriah!”
Sebagai respon terhadap surat pengaduan tersebut, Ustman mengirim surat meminta Abu Dzar agar menghadapnya di Madinah. Abu Dzar menurut, dia berkemas dan menyingsingkan kaki celananya dan berangkat ke Madinah. Pada hari keberangkatannya dia diantar oleh khalayak ramai yang mengucapkan selamat jalan. Ini merupakan suatu peristiwa yang belum pernah disaksikan sebelumnya. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Kisah Abu Dzar al-Ghifari (5): Situasi Politik Pada Saat Itu (2)
Catatan:
Artikel ini diceritakan ulang dari buku: Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), bab 3, Abu Dzar al-Ghifari. Adapun data lain yang bukan berasal dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.
Catatan Kaki:
[1] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 75.
[2] Ibid., hlm 77.
[3] Ibid.