Kisah Abu Dzar al-Ghifari (5): Situasi Politik Pada Saat Itu (2)

in Tokoh

Last updated on November 28th, 2017 01:53 pm

“Ustman bin Affan berkata kepada Ali bin Abu Thalib, ‘tidakkah engkau ketahui bahwa Umar mengangkat Muawiyah menjadi gubernur selama masa pemerintahannya, maka patutkah aku disalahkan jika aku mengangkatnya juga?’ Ali menjawab, ‘Tetapi tahukah engkau? Bahwa takutnya Muawiyah kepada Umar lebih besar daripada takutnya budak Umar.’”

–O–

Dalam kitabnya Ibnu Katsir menceritakan dialog yang terjadi di antara Ustman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Dialog ini berlangsung atas permintaan orang-orang yang memilih Ali sebagai wakil mereka untuk menyampaikan keluhan-keluhan mereka terhadap Ustman. Ali datang menemui Ustman, dan mereka berbicara hanya empat mata saja. Maka disampaikannyalah segala pandangan Ali berikut pengaduan dari khalayak yang meminta Ali menjadi wakil.[1]

Setelah disampaikan, Ustman menanggapinya dengan kata-kata berikut ini:

“Demi Allah, seandainya engkau berada pada tempatku, tiadalah aku akan mencela dan menyalahkan engkau, serta tidak pula akan menjelek-jelekkan engkau. Menurut pendapatmu, apakah dinamakan munkar apabila aku menghubungkan silaturahmi, menutupi celah dan mengisi kekosongan, melindungi orang yang sesat jalan dan mengangkat orang seperti yang diangkat oleh Umar (Umar bin Khatthab, khalifah sebelumnya—pen)? Atas nama Allah, saya mohon jawaban engkau wahai Ali, tahukah engkau bahwa Mughirah bin Syu’bah menjadi gubernur di masa Umar?”

“Ya,” jawab Ali Singkat.

“Kemudian mengapa disalahkan jika aku mengangkat Ibnu Amir yang menjadi kerabat dan mempunyai hubungan silaturahmi denganku, padahal tidak banyak kelebihan Mughirah daripadanya?”

“Baiklah aku terangkan,” ucap Ali. “Jika Umar mengangkat seorang pejabat, maka dipegangnya cocok hidungnya. Dan jika terdengar olehnya dia berbuat kesalahan, maka segera ditariknya hidungnya itu dan dibentaknya sejadi-jadinya. Tetapi engkau tidak melakukan itu. Engkau bersikap lemah dan terlalu berbaik hati kepada kaum kerabatmu.

“Bukankah mereka juga kaum kerabat engkau, wahai Ali?” Jawab Ustman.

“Memang, hubungan kekeluargaan mereka denganku sungguh dekat, tetapi tentang kebaikan dan keutamaan mereka sama sekali jauh dan tidak ada pada mereka.”

Ustman melanjutkan, “tidakkah engkau ketahui bahwa Umar mengangkat Muawiyah menjadi gubernur selama masa pemerintahannya, maka patutkah aku disalahkan jika aku mengangkatnya juga?”

Ali menjawab, “Tetapi tahukah engkau? Bahwa takutnya Muawiyah kepada Umar lebih besar daripada takutnya budak Umar.”

“Memang benarlah demikian!” Ujar Ustman.

“Nah, orang ini (Muawiyah) telah memutuskan sendiri urusan-urusan tanpa merundingkannya dahulu dengan engkau, sedangkan engkau tidak mencegahnya.”[2]

Sampai pada wafatnya, Ustman pada akhirnya tidak pernah memberhentikan Muawiyah.

Dikisahkan dalam banyak riwayat, Ustman adalah jenis orang yang sangat sensitif dan perasa. Di tengah kemelut politik yang datang bertubi-tubi terhadap Ustman, kritik dan pertentangan datang silih berganti, baik itu dari orang yang benar-benar membencinya atau pun dari orang yang benar-benar datang dengan niat baik membantunya. Tidaklah benar-benar terluka dan tertekan hatinya, jika seseorang yang dikenal tenang dan lemah lembut tiba-tiba meledak kemurkaannya:

“Demi Allah! Kalian menyalahkanku dalam hal yang kalian setujui bagi Umar bin Khatthab, padahal aku bersikap lemah lembut kepada kalian, aku rendahkan bahuku dan aku tahan tangan dan lidahku dari menyakiti kalian, tapi kalian jadi berani dan bersikap lancang kepadaku!”[3]

 

Abu Dzar al-Ghifari Berangkat ke Suriah

Di antara seluruh daerah kekuasaan Islam pada waktu itu, Suriah adalah yang terkaya. Di sana tanah-tanah masih terbentang begitu luas, bangunan-bangunan layaknya istana berdiri tinggi, dan harta melimpah ruah. Singkat kata, Suriah merupakan gudang raksasa kekayaan. Suriah menjadi kaya karena tanahnya paling subur, hasil buminya melimpah, dan paling banyak mendapatkan upeti.[4]

Terhadap muslimin yang gemar mengumpulkan harta, Ustman bin Affan memiliki pandangan yang berbeda dengan Umar bin Khatthab—khalifah sebelumnya. Baik Umar maupun Ustman, sama-sama memiliki keyakinan bahwa kekayaan yang bertumpuk-tumpuk merupakan bahaya besar bagi umat Islam yang akan membaktikan hidupnya dalam dakwah dan jihad. Namun cara mereka menafsirkan “bahaya” ini amat berbeda. Umar menilai bahwa kehendak untuk bersenang-senang, bahkan dalam cara yang terhitung halal pun harus dihindari dan dipadamkan. Sedangkan Ustman menilai harta itu diciptakan untuk mempermudah dan memperlancar kehidupan, maka selama itu halal seorang Muslim diperbolehkan untuk menikmatinya.[5]

Suriah diperintah oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, dia memerintah dengan cara memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh. Muawiyah melakukan hal tersebut bukan tanpa sebab, dia memiliki tujuan tertentu di masa depan yang diinginkan, dirindukan, dan didambakannya.[6]

Adalah Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang sahabat Rasulullah di masa awal kelahiran Islam. Dia memiliki pandangan bahwa harta hanyalah titipan Allah SWT, masing-masing orang boleh mengambil hanya untuk sekedar keperluan dan kebutuhannya, tidak boleh lebih dari itu. Selain itu dia juga berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW hadir di muka bumi ini untuk memberi, bukan untuk menerima.[7]

Maka atas dasar prinsipnya itu lah, pemimpin gerakan hidup sederhana itu pun berkemas dan secepatnya berangkat. Dia berangkat menuju suatu tempat yang dia anggap sebagai poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu Suriah, sebuah daerah di mana Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjadi gubernurnya. Demi mendengar berita tersebut, rakyat jelata hendak menyambutnya kedatangannya dengan semangat yang menyala dan disertai kerinduan terhadap sosok muslim yang hidup dengan kesederhanaan.[8] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (6): Bertemu Muawiyah

Sebelumnya:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (4): Situasi Politik Pada Saat Itu (1)

Catatan Kaki:

[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 377.

[2] Ibid., hlm 377-378.

[3] Ibid., hlm 386.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), hlm 87

[5] Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Ibid., hlm 333-334.

[6] Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, Ibid., hlm 87.

[7] Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Ibid., hlm 388.

[8] Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, Ibid., hlm 88.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*