Kisah Abu Dzar al-Ghifari (4): Situasi Politik Pada Saat Itu (1)

in Tokoh

Last updated on November 27th, 2017 07:59 am

“Untuk dapat memahami tindak perilaku Abu Dzar al-Ghifari, latar belakang situasi politik dan kultural di masa itu perlu digambarkan. Artikel ini dibuat dalam rangka memberikan penggambaran latar belakang yang terjadi di masa ketika Abu Dzar berkeliling ke penjuru negeri untuk melaksanakan syi’arnya”

–O–

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Islam telah menyebar luas dan berkembang pesat. Islam menguasai daerah-daerah di sekitar Arab yang di masa kini disebut dengan Timur Tengah. Dengan wilayah yang sedemikian besar, maka diutuslah perwakilan-perwakilan dari pusat untuk memimpin di daerah-daerah. Secara administratif para pemimpin di daerah tersebut berfungsi mirip dengan gubernur di masa kini.

Di masa kekhalifahan Ustman bin Affan, persoalan pemilihan gubernur ini menjadi persoalan yang rumit karena banyak orang dan golongan yang menginginkan posisi tersebut. Terlebih, setelah peristiwa terbunuhnya Umar bin Khatthab, khalifah sebelum Ustman, fitnah semakin merajalela di tubuh umat Islam. Ustman mengalami masa-masa yang sulit dalam kepemimpinannya, banyak individu atau pun golongan yang memilih bersikap sebagai oposan terhadap kekhalifahan Ustman, dengan ragam cara berserta tingkatannya.

Barangkali yang cukup keras datang dari Jabalah bin Amr, salah satu pemimpin kelompok oposisi, dia melakukan penghinaan yang keji terhadap Ustman di hadapan orang banyak:

“Demi Allah, saya bunuh kau, hai tua Bangka yang dungu! Dan akan aku naikkan engkau ke atas unta kudisan! Si tua Bangka lagi dungu!”

Letupan demi letupan datang silih berganti, Ustman dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang menyudutkannya. Tuduhan-tuduhan tersebut pada dasarnya dapat disimpulkan kepada empat pokok persoalan:

Pertama, berkenaan dengan para pejabat. Ustman dituduh telah memberhentikan beberapa sahabat dan menggantinya dengan kerabat Ustman, yang mana dinilai tidak memiliki kecakapan.

Kedua, tersebar desas-desus bahwa Bani Umayyah telah menyalahgunakan kekuasaan untuk mengambil harta yang bukan hak mereka.

Ketiga, Ustman dinilai terlalu keras terhadap sahabat-sahabat utama Rasulullah.

Keempat, berkenaan dengan pendiriannya terhadap beberapa masalah agama. Dalam hal ini Ustman mempunyai ijtihad tersendiri.

Terhadap gejolak politik yang berkembang, Ustman merespon dengan mengganti beberapa gubernurnya di daerah. Mughirah bin Syubah digantikan oleh Sa’ad bin Abu Waqqash sebagai gubernur Kufah. Namun di Kufah Sa’ad mendapat pertentangan dari Ibnu Mas’ud yang menjadi pejabat pemegang Baitul Mal. Ustman merespon dengan mengganti Sa’ad dengan Walid bin Uqbah. Namun di kemudian hari Walid dilaporkan suka meminum minuman keras. Walid dipecat dan mendapatkan hukuman, sebagai penggantinya ditunjuklah Sa’id bin Ash.

Daerah lainnya adalah Bashrah, Abu Musa al-Asy’ari diganti oleh Abdullah bin Amir; di Mesir Amr bin Ash digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad. Perlu diketahui Walid bin Uqbah masih kerabat Ustman, Abdullah bin Amir adalah saudara Ibunda Ustman, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah adalah saudara sesusuan Ustman. Begitu pula Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan saudara sepupunya, yaitu putra paman dari Ayahanda Ustman, tetap dipertahankannya sebagai Gubernur Suriah. Marwan bin Hakam, yang juga sepupu dari pihak Ayahnya diangkat menjadi Sekretaris Negara.

Perubahan komposisi pejabat tersebut bukannya meredam gejolak politik, tensi malah semakin meningkat. Menurut Khalid Muhammad Khalid, sejarawan Al-Azhar Mesir, Ustman bukan tanpa sebab melakukan tindakan tersebut. Di tengah fitnah yang begitu merajalela, Ustman tidak ada pilihan lain selain mengangkat orang-orang dari kalangan keluarganya sendiri yang dia anggap bisa lebih dipercaya. “Apalagi yang harus aku perbuat? Jika setiap wakil yang kalian tidak sukai aku berhentikan dan setiap wakil yang kalian sukai aku angkat!” Ujar Ustman.

Terhadap situasi tersebut, Imam Ali bin Abu Thalib menemui Ustman dan memberi masukan. Ali berpendapat bahwa Thulaqa[1] (orang-orang yang dibebaskan) tidak berhak untuk menjadi seorang gubernur, apalagi orang-orang yang memiliki cacat atau kelemahan, baik sebelum maupun setelah memeluk Islam.

Lebih lanjut Ali mengatakan bahwa tuntutan penggantian pejabat negara adalah sesuatu yang wajar dan sesuai dengan keadilan. Seandainya ada orang-orang yang berniat buruk untuk memanfaatkan situasi yang pelik ini, bukan berarti pihak yang jujur dan benar-benar membela kebenaran harus berdiam diri dan tidak memberikan nasihat kepadanya.

Di samping itu, Ali juga berpendapat bahwa ketakwaan seorang gubernur lebih penting daripada kemampuannya, dan kejujuran lebih berharga daripada kepandaiannya. Lebih jauh, Ali memandang jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan membuat umat Islam terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di kemudian hari membuktikan kebenaran dari firasat Ali. (PH)

Bersambung ke:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (5): Situasi Politik Pada Saat Itu (2)

Sebelumnya:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (3): Ketika Lisan lebih Tajam daripada Pedang

Catatan:

Artikel ini diceritakan ulang dari buku: Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 333-380. Adapun data lain yang bukan berasal dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] Orang-orang yang masuk Islam pada hari pembebasan kota Mekah, dalam Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 530-538.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*