Mozaik Peradaban Islam

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (3): Ketika Lisan lebih Tajam daripada Pedang

in Tokoh

Last updated on November 26th, 2017 12:59 pm

Setelah Sang Nabi wafat, ia menyaksikan para sahabat berpaling. Mereka menyimpan gundukan upeti dan harta rampasan perang di bawah telapak kaki mereka. Dan Hasil kekayaan bumi yang semestinya dipergunakan untuk kepentingan orang banyak, sekarang telah dipergunakan secara istimewa untuk kalangan tertentu saja.

—Ο—

 

Pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, ajaran Islam menyebar begitu luas ke berbagai wilayah penjuru dunia. Seiring dengan penyebaran tersebut, kesejahteraan orang-orang Islam pun tumbuh dengan pesat. Sehingga di beberapa tempat dapat ditemui orang-orang Islam yang hidup dengan kemewahan.

Terhadap kemewahan yang dinikmati oleh beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Dzar mempunyai pandangan yang lain. Dia menilai ini adalah sesuatu yang berbahaya, dia melihat bahwa telah terjadi pergeseran akan nilai-nilai Islam. Kepentingan pribadi telah menggeser kepentingan yang lebih besar, yaitu tegaknya ajaran Islam.

Abu Dzar melihat bahwa harta yang semestinya menjadi pelayan yang tunduk kepada manusia malah berbalik rupa menjadi tuan yang mengendalikan manusia. Apa yang dilakukan oleh para sahabat berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yang bahkan pada saat wafatnya pun baju besinya sedang dalam keadaan tergadai. Sementara para sahabat sepeninggal Rasulullah menyimpan gundukan upeti dan harta rampasan perang di bawah telapak kaki mereka.

Hasil kekayaan bumi yang semestinya dipergunakan untuk kepentingan orang banyak, sekarang telah dipergunakan secara istimewa untuk orang-orang tertentu saja dalam bentuk monopoli. Dan jabatan, yang secara nilai dasar merupakan amanat untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan.

Melihat hal tersebut, tanpa berpikir panjang Abu Dzar langsung menghunus pedangnya. Diangkat lah pedangnya yang tidak pernah tumpul itu, dan menebaskannya ke udara yang kosong. Bergegas dia bangkit dan berdiri untuk menantang orang-orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam. Namun sesuatu bergema di dalam kalbunya, dia teringat akan wasiat Rasulullah yang pernah disampaikan kepadanya:

“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?” Tanya Rasulullah. “Demi yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, akan aku tebas mereka dengan pedangku!” Jawab Abu Dzar. Kemudian Rasulullah bersabda, “maukah engkau aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Ialah bersabar sampai kamu menemuiku.”

Rasulullah mengetahui bahwa permasalahan harta bagi kepentingan umat adalah persoalan yang pokok bagi Abu Dzar, dan untuk itu dia akan membaktikan hidupnya. Abu Dzar akan selalu mengingat wasiat guru tercintanya ini. Demi larangan dari Rasulullah untuk menebas leher para pembesar yang meraup kekayaan untuk kepentingan dirinya sendiri, Abu Dzar akan berdiam diri. Tetapi tidak untuk lidahnya yang tidak kalah tajam untuk membela kebenaran. Abu Dzar tidak dilarang untuk berkata-kata. Maka sabda Rasulullah mengenai Abu Dzar akan segera terjadi kembali:

“Tak akan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar!”

Mengingat wasiat Rasulullah, Abu Dzar mengurungkan niatnya untuk mengangkat senjata. Maka disarungkannya kembali pedang yang sudah terangkat tadi. Jauh hari sebelumnya Rasulullah telah mengetahui keunggulan Abu Dzar, bahwa dia memiliki kemampuan berupa kata-kata yang tepat dan jitu, sehingga dia tidak membutuhkan senjata apapun. Satu kalimat yang diucapkannya akan lebih tajam dan menghasilkan daripada pedang walaupun sebanyak isi bumi.

Maka dengan senjata kebenarannya dia akan pergi menemui para pembesar, para penguasa, kaum hartawan, atau singkat kata, orang-orang yang menyalahgunakan agama demi kepentingan duniawi. Dia akan membawa misi-misi kenabian yang semestinya menjadi rahmat bagi alam semesta, sebuah ajaran yang mengajarkan rahmat karunia bukan adzab kesengsaraan, kerendahan hati bukan kesombongan, persamaan bukan pengkastaan, kebersahajaan bukan keserakahan, kesederhaan bukan pemborosan, serta kedamaian dan kebijaksaan dalam hidup.

Pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam, dia benar-benar mengubah mereka satu demi satu. Hanya dalam waktu yang singkat saja Abu Dzar telah menjadi simbol perlawanan. Dia menjadi sosok yang dicintai oleh rakyat kebanyakan dan golongan pekerja, bahkan oleh orang-orang di negeri jauh yang sama sekali belum pernah melihatnya.

Nama Abu Dzar membayangi seluruh dunia Islam, kehadirannya di setiap daerah yang dilaluinya—bahkan ketika baru namanya saja yang sampai ke sana—menimbulkan rasa takut bagi para penguasa dan golongan orang kaya yang gemar berlaku curang.

“Beritakanlah kepada para penumpuk harta,

yang menumpuk emas dan perak,

mereka akan disetrika dengan setrika api neraka,

menyetrika kening dan pinggang mereka di hari kiamat.”

Kalimat tersebut menjadi semacam syair atau lagu perjuangan bagi para pendukung Abu Dzar. Setiap dia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota, dan setiap dia berhadapan dengan para penguasa dan pembesar, kalimat itu lah yang selalu diucapkannya. Begitu pun dengan setiap orang yang melihatnya datang, mereka akan menyambutnya dengan kalimat seperti di atas, “Beritakanlah kepada para penumpuk harta….”

Abu Dzar adalah sosok yang sangat deterministik dan teguh dalam hal pendirian, sehingga dia tidak pernah gentar dengan kekuasaan besar mana pun jika itu dia anggap menghalangi prinsip hidupnya. Nasihat ataupun dorongan dari orang sekitarnya untuk menghindari bahaya tidak pernah membuat pendiriannya goyah. Dalam suatu kesempatan dia pernah dengan bangga berkata:

 “Wahai manusia! Pada hari kiamat aku akan tetap berada di dekat majelis suci Nabi, karena aku telah mendengar dia mengatakan bahwa yang terdekat dengannya pada hari kiamat adalah orang yang meninggalkan dunia dalam kondisi sama ketika dia (Nabi) meninggalkannya. Aku bersumpah demi Allah bahwa sekarang tidak ada yang tertinggal di antara kalian kecuali aku yang berada dalam keadaan asalku dan belum terkontaminasi dengan sesuatu yang baru.[1]

Perkataan Abu Dzar tersebut bukanlah klaim sepihak, Nabi Muhammad SAW juga pernah berkata seperti itu, dalam Tabaqat Ibn Sa’d dikisahkan suatu hari Nabi berkata, “siapa di antara engkau yang akan datang untuk menemuiku (di Kautsar) dalam kondisi yang sama di mana aku meninggalkannya?” Abu Dzar berkata, “aku”. Sebagai balasannya Nabi berkata, “engkau benar, yaitu engkau akan mati dalam keadaan iman yang sama pada saat aku meninggalkan engkau.”[2] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (4): Situasi Politik Pada Saat Itu (1)

Sebelumnya:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (2): Gerombolan Perampok itu Telah Menjadi Pembela Kebajikan

Catatan:

Artikel ini diceritakan ulang dari buku: Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), bab 3, Abu Dzar al-Ghifari. Adapun data lain yang bukan berasal dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 28.

[2] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*