Mozaik Peradaban Islam

Muhammad: Manusia dan Nabi (1): Pengantar

in Studi Islam

Last updated on January 28th, 2022 08:46 am

Barangkali dunia belum pernah memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk memahami tentang riwayat kehidupan Nabi Muhammad s.a.w yang akurat daripada saat sekarang ini.

Ilustrasi Foto: headtopics.com

Melonjaknya minat terhadap Islam sejak beberapa dekade terakhir yang trennya terus berlanjut hingga pertukaran abad, sayangnya tidak selalu berlangsung untuk sebab yang benar. Peristiwa-peristiwa yang beberapa di antaranya dibawa oleh umat Islam yang melukiskan diri mereka sebagai pembela-pembela Islam, cenderung untuk memberikan gambaran yang menyuramkan terhadap agama wahyu terakhir ini, dan bersamaan dengannya, termasuk juga merebaknya kesalahpahaman terhadap sosok dan kepribadian Nabi Muhammad s.a.w selaku pembawa risalah suci tersebut.

Itulah sebabnya, barangkali dunia belum pernah memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk memahami tentang riwayat kehidupan Nabi Muhammad s.a.w yang akurat daripada saat sekarang ini.

Walaupun asing dari sifat Islam yang sesungguhnya, ekstremisme telah berupaya untuk membebankan sikap garis kerasnya terhadap Islam. Ia telah terus memainkan perannya yang menyolok, menyediakan lahan subur bagi mereka yang mengharapkan untuk mendiskreditkan Islam dan untuk menampilkannya secara negatif.

Tak bisa dimungkiri, tuduhan yang paling sering diletakkan di depan pintu Islam adalah “terorisme”. Hal ini telah menimbulkan daya yang lebih kuat setelah peristiwa tragis pada 11 September 2001, tapi tentu saja tidak dimulai darinya. Beberapa bulan sebelumnya, saluran-saluran berita melaporkan bahwa para pemirsa di Amerika telah ditanya untuk menyatakan kata pertama yang terlintas dalam pikirannya ketika Islam disebutkan, dan mayoritas terbesar dari responden menyatakan “terorisme”.

Pendek kata, di mata mereka, Islam identik dengan terorisme, dan Nabi Islam, karenanya juga diidentikkan dengan segala varian sifat tak terpuji, tak terkecuali juga kebengisan, sebagai sifat dasar dari aksi-aksi terorisme tersebut. Padahal, Islam menganggap aksi terorisme terhadap warga sipil sebagai kejahatan serius yang mesti dihukum, sementara Nabi Islam adalah sosok yang padanya melekat sifat-sifat utama yang patut dijadikan suri teladan.

Belum lama ini, kita telah mendengar suara-suara keras yang membicarakan tentang benturan peradaban, menempatkan Islam dalam oposisi terhadap peradaban Barat dan membicarakan tentang pertikaian yang [saling] menghancurkan dan tidak bisa dihindari antara keduanya. Namun, Islam tidak mencoba untuk menghancurkan peradaban mana pun juga.

Pada masa puncaknya, ketika Islam menyebar ke berbagai negara [yang masih hidup] dengan peradaban-peradaban, tradisi dan seperangkat nilai-nilai yang menyimpang, Islam telah berinteraksi dengan semuanya, [Islam] mendorong apa pun yang sejalan dengan tujuannya untuk membangun masyarakat manusia yang dilandasi oleh suatu gagasan utama tentang keesaan Tuhan. Oleh sebab itu, ia mampu untuk mengambil yang terbaik dari yang ditawarkan oleh peradaban-peradaban ini, seraya menolak hanya terhadap apa yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan yang tidak sejalan dengan konsep utamanya.

Bahkan di Arab, tempat lahirnya Islam, di mana penyembahan berhala merupakan norma, Islam telah menerima semua nilai-nilai yang baik yang terdapat dalam masyarakat itu, lalu mengadopsinya seperti miliknya sendiri. Dengan demikian, Islam telah mampu untuk menggabungkan ke dalam peradabannya semua nilai kebaikan yang dijunjung oleh masyarakat manusia, memanfaatkannya bersama dalam keseluruhan yang lengkap. Pendekatannya akan tetap sama. Ia selalu terbuka pada pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan terbaik yang dimiliki masyarakat, menolak hanya kepada apa yang opresif dan palsu serta yang menahan manusia dari kebebasan berpikir.

Walaupun demikian, kegaduhan tentang perselisihan peradaban masih terus berlanjut, dengan suara-suara keras tertentu yang mencoba untuk menumpahkan bensin ke dalam api. Hembusan penilaian-penilaian oleh para tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa peradaban Barat adalah lebih unggul daripada Islam, terkadang sering dikutip media. Tanpa harus diucapkan, hingar-bingar semacam itu tidak sesuai dengan tujuan yang sebenarnya.

Dari sisi lain, beberapa politisi kondang yang penuh perhatian dari kalangan Muslim khususnya, mungkin berusaha untuk menutupi perasaan-perasaan yang kurang mereka sukai itu dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang lebih diplomatis. Lainnya bicara dalam ucapan-ucapan yang mendamaikan dan membuat isyarat persahabatan, tapi hal ini sering diingkari melalui tindakan-tidakan mereka yang agresif.

Namun, mengapa mesti terjadi adanya perseteruan peradaban ketika keduanya, yaitu peradaban Islam dan Barat, sama-sama memberikan penekanan yang amat besar terhadap kebebasan manusia untuk berpikir, berkeyakinan dan berekspresi?

Dalam pikiran saya, kesalahan persepsi dari kedua belah pihak telah menyumbangkan pada munculnya polarisasi sikap-sikap yang tidak dibutuhkan, berbahaya dan sangat mencelakakan. Sayangnya, kesalahan persepsi semacam itu telah mengotori secara luas beberapa aspek Islam yang mana hal ini sering disalah pahami oleh pihak kawan dan lawan. Hal ini telah mendalamkan rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan dari kedua belah pihak.

Hal yang paling dibutuhkan adalah: bahwa kedua belah pihak [harus] menghidupkan kembali nilai dasar kebebasan untuk persahabatan dan kerja sama yang saling menguntungkan untuk menggantikan dasar ketidakpercayaan, rasa takut dan bahkan permusuhan yang telah mewataki hubungan antarkedua kubu selama berabad-abad.

Satu-satunya tugas yang mesti disiapkan oleh para pembela Islam bagi dirinya adalah menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap umat manusia. Namun, apakah orang-orang itu akan bersedia untuk menerima atau menolaknya, maka hal itu sepenuhnya adalah urusan mereka masing-masing. Tidak perlu ada tekanan dalam mengajak mereka kepada Islam. Pemaksaan dengan tekanan apa pun adalah asing dari kemurnian akidah Islam. Berbicara kepada Rasul-Nya, Tuhan berfirman dalam Alquran:

“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan risalah.” (QS. Asy Syuura [42]:48)

Ini merupakan misi yang Nabi Muhammad s.a.w telah baktikan seluruh hidupnya sejak dia telah diamanatkan dengan risalah Tuhan hingga saat hidupnya yang diberkati di dunia ini selesai.

Ketika mempelajari hidupnya, kita menemukan hal ini secara jelas di kedua [bagian hidupnya] itu, [pertama, adalah] pada saat risalahnya yang dianggap tak berarti dipertemukan dengan perlawanan tanpa henti dan [kedua adalah] ketika dia telah memiliki kekuasaan yang seandainya dia menghendaki, maka dia bisa menggunakan kekuatannya itu untuk memaksakan para lawannya menyerah.

Tulisan yang disarikan dari buku Muhammad: Man and Prophet karya Adil Salahi ini ditujukan untuk menghadirkan [sejarah] kehidupannya yang diberkati menurut cahaya kebenaran yang sesungguhnya. Ia meliputi peristiwa-peristiwa utama pada masa kehidupan Nabi Muhammad s.a.w dari sejak kanak-kanak hingga usia senja.[1]

Adalah wajar bahwa [pembahasan] kita [di sini] hanya akan memberikan perhatian yang lebih besar kepada peristiwa-peristiwa yang mengikuti setelah turunnya permulaan wahyu Alquran, yaitu risalah terakhir Tuhan kepada umat manusia. Di setiap bagian peristiwa, kita mengenali perannya sebagai seorang utusan yang telah diamanatkan untuk menyampaikan pesan, dan kita dapat melihat keteladanan yang telah dia persiapkan bagi kita untuk mengikutinya.

Mengikuti teladannya merupakan salah satu kewajiban sebagai Muslim. Meninggalkan keteladanannya untuk selanjutnya diganti dengan ajaran lain adalah menolak bagian kedua dari rukun Islam yang pertama, yaitu penyaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. [EH]

Bersambung….

Catatan kaki:


[1] Adil Salahi, Muhammad: Man And Prophet: A Complete Study Of The Life Of The Prophet Of Islam (Leicestere, 2002)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*