Pada satu kesempatan Abdul Muthalib berkata kepada mereka: “Biarkan anakku. Dia telah merasa bahwa dia akan memperoleh kerajaan suatu hari nanti.” Pada waktu yang lain, dia berkata: “Ia pasti akan mempunyai masa depan besar.”
Muhammad tinggal dengan sang ibu yang memanjakan dan memeliharanya seperti kebanyakan ibu memelihara anak-anak yang sangat disayanginya. Itu menjadi hal yang sangat berharga karena Aminah tidak menikahi lelaki lain setelah suaminya, Abdullah yang masih muda itu meninggal. Ini sungguh tidak biasa dalam masyarakat Mekah, bahwa menikahi para janda dan orang yang bercerai merupakan hal biasa.
Aminah memiliki banyak kualitas yang dapat merekomendasikannya kepada pelamar mana pun. Salah satu hal yang terkemuka di antaranya adalah kelahirannya yang mulia, hal itu merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat di masa itu.
Meski demikian, Aminah tetap tidak menikah lagi. Barangkali dia tidak bisa memindahkan pikirannya dari kenangan tragis semasa kehilangan suaminya dahulu.
Dia mempunyai tanda-tanda yang cukup untuk mengindikasikan bahwa putranya itu akan memiliki peran besar di kemudian hari. Mungkin dia berpikir bahwa membaktikan dirinya di dalam mengasuh putranya itu akan dapat memberinya segala kepuasan yang dibutuhkannya.
Dalam gambaran inilah kita melihat dalam perjalanannya ke Yathrib bersama putranya, yang kini berusia enam tahun, dan pengasuhnya, Ummuu Ayman. Dia ingin putranya mengunjungi kaum al-Najjar, paman dari sisi ibunya.
Ketika seorang lelaki menikah ke dalam suatu kaum atau suku lain, maka semua orang dalam kaum atau suku itu akan dianggap sebagai paman dari anak-anak dan cucu-cucunya selama beberapa waktu. Ibunda Abdul Muthalib berasal dari keluarga al-Najjar dan inilah alasannya untuk memasukkan mereka sebagai paman-paman Nabi.
Lebih penting lagi, Aminah ingin putranya itu mengunjungi makam bapaknya. Barangkali, Aminah berpikir sudah saatnya bagi Muhammad untuk mengetahui bahwa bapaknya telah dimakamkan di Yathrib, suatu tempat yang jauh dari Mekah.[1]
Muhammad dan ibunya tinggal selama satu bulan di Yathrib, sebelum memulai perjalanan kembali. Perjalanan itu merupakan perjalanan yang sangat menyedihkan bagi anak tersebut. Mereka belum berangkat jauh saat ibunya jatuh sakit. Suatu penyakit fatal yang dengan cepat mewafatkannya. Walaupun dia hanya menempuh jarak yang singkat dari Yathrib, dia tidak bisa kembali ke sana, ataupun melanjutkan perjalanannya untuk kembali pulang. Sehingga Muhammad, seorang anak yang baru berusia enam tahun, kini tidak memiliki kedua orang tua.
Setelah Aminah dikuburkan di tempat ia meninggal, al-Abwa, Muhammad yang hatinya penuh dengan duka cita, melanjutkan perjalanannya ke Mekah dengan pengasuhnya, Ummuu Ayman. Baginya, ia merasa bahwa tak ada yang bisa menggantikan kecintaan dan kelembutan ibundanya. Pada hari-hari terakhirnya ia tetap mengingat Aminah, dan merasakan kesedihan kehilangan ibunya.[2]
Nabi tetap menunjukkan rasa terima kasih kepada seluruh wanita yang pernah merawatnya di masa kanak-kanak hingga akhir hayatnya. Ia menjadi sangat berterima kasih kepada Thuwaybah, perempuan yang pertama kali menyusuinya setelah ia dilahirkan.
Ketika Nabi menaklukkan Mekah lebih dari enampuluh tahun kemudian, ia meminta untuk bertemu dengan Thuwaybah. Ketika ia mengetahui bahwa Thuwaybah telah meninggal, ia juga menanyakan kepada putra yang disusuinya ketika dia baru dilahirkan. Ia ingin membalas kebaikan Thuwaybah kepada putranya. Tetapi ia telah diberitahu bahwa ia juga telah meninggal.
Begitu juga ketika Halimah mengunjungi dia di Madinah. Ketika tiba ia bangkit untuk menerima Halimah, seraya berteriak: “Ibuku! Ibuku!” Ia menunjukkan semua rasa terima kasih dari seorang anak yang patuh dan penuh kasih. Ia juga berbaik hati kepada al-Shayma’, putri Halimah dan saudari sesusuan dengannya.
Setelah pertempuran di Hunayn, pada saat suku Hawazin dikalahkan, al-Shayma telah dipenjarakan oleh pasukan Islam. Dia mempunyai hubungan dengan Nabi yang diketahui oleh mereka sehingga mereka membawanya kepada Nabi. Ia menerima dengan senang hati dan memberikan kebaikan yang lebih kepadanya sebelum dipulangkan kembali kepada masyarakatnya dengan penghormatan yang sebelumnya telah memberinya kesempatan untuk tinggal bersamanya. Meski demikian, adalah pilihannya untuk tetap kembali.
Ummuu Ayman tetap dekat dengan Nabi sampai akhir hayatnya. Ia menikahkannya kepada Zaid bin Haritsah, lelaki pertama yang menjadi Muslim yang Nabi sangat cintai lebih dari orang lain. Dia melahirkan Usamah, yang Nabi sangat cintai lebih dari cintanya kepada anak-anak lain di samping anaknya sendiri.
Setelah kematian ibunya, Muhammad dipelihara oleh kakeknya. Abdul Muthalib. Ummu Ayman, seorang sahaya perempuan yang nama aslinya adalah Barakah, tetap memeliharanya. Dia kepunyaan bapaknya dan sekarang adalah miliknya. Dia sangat mencintai Nabi—barangkali lebih karena dia menyadari fakta bahwa ia telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya sebelum berusia enam tahun.
Kakek Muhammad memanjakannya lebih daripada kebiasaan masyarakat Arab pada umumnya, yang ditekankan disiplin tegas di dalam mengasuh anak-anak. Tak ada anak yang diperbolehkan masuk ke dalam ruangan di mana bapaknya sedang bertemu dengan orang lain. Namun, hanya Abdul Muthalib, pemimpin Mekah yang mengizinkan cucu lelakinya untuk duduk di dipannya ketika ia sedang bertemu dengan para pemuka Mekah. Seluruh putranya telah dewasa, tetap berdiri, tetapi Muhammad telah diizinkan untuk duduk di bantal kakeknya. Apabila paman-paman Muhammad mencoba untuk menghentikannya, Abdul Muthalib akan berkata kepada mereka agar tidak melakukannya. Pada satu kesempatan Abdul Muthalib berkata kepada mereka: “Biarkan anakku. Dia telah merasa bahwa dia akan memperoleh kerajaan suatu hari nanti.” Pada waktu yang lain, dia berkata: “Ia pasti akan mempunyai masa depan besar.”[3]
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, vol.1, hal. 177. Juga ‘Abdul al-Rahman al-Suhayli, al-Rawd al-Unuf, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hal. 297-298; Juga, Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal. 90; dan Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirah, Dar al-Da’wah, Mesir, edisi ke-6, 2000, hal. 56.
[2] Ibid Ibn Sayyid al-Nas, hal. 100. Juga, Amin Duwaydar, Suwar Min Hayat al-Rasul, Dar al-Ma’arif, edisi ke-4, Kairo, hal. 63-65.
[3] Ibn Hisyam, op.cit., hal. 178. Juga, Ibn Sayyid al-Nas, op.cit., hal. 99.