Mozaik Peradaban Islam

Muhammad: Manusia dan Nabi (7): Studi tentang Sejarah Kehidupan Nabi Islam (6): Pekerjaan Pertama

in Sejarah/Studi Islam

Last updated on March 14th, 2022 11:13 am

Satu-satunya pekerjaan yang pantas untuk Arab Mekah adalah berdagang. Oleh karena itu, tak ada apa pun yang Muhammad dapat lakukan untuk membantu pamannya kecuali bekerja sebagai penggembala.”

Ilustrasi Gambar: islamandihsan.com

Pada waktu itu, di dalam masyarakat Mekah hanya ada sedikit hal yang dapat dilakukan bagi seorang anak lelaki muda seumur Muhammad. Kehidupan seluruh masyarakat lebih besar bergantung pada perdagangan yang tumbuh subur melalui perjalanan yang biasa dilakukan ke Syria dan Yaman. Perjalanan ini berarti bahwa secara esensial perdagangan Mekah yang kita sebut sekarang sebagai “perdagangan luar negeri”, bergantung pada ekspor dan impor. Supaya bisa berhasil di dalam bidang ini diperlukan pengalaman yang banyak dalam semua segi yang tidak bisa diperoleh dari seorang anak lelaki di permulaan usia remajanya. Lebih dari itu, bepergian pada usia semuda itu melintasi medan-medan sulit seperti Arabia adalah petualangan yang terlalu besar dan berisiko bagi seorang anak lelaki muda seperti Muhammad.

Ada sedikit atau tidak ada pertanian di Mekah atau daerah di sekitarnya. Jika ada, hanya sedikit pekerjaan di bidang industri yang tersedia. Bangsa Arab benar-benar meremehkan seseorang yang terikat dengan pekerjaan semacam itu. Satu-satunya pekerjaan yang pantas untuk Arab Mekah adalah berdagang. Oleh karena itu, tak ada apa pun yang Muhammad dapat lakukan untuk membantu pamannya kecuali bekerja sebagai penggembala.

Hidup sebagai penggembala perlu perenungan dan kesabaran. Seorang penggembala mempunyai banyak waktu dan hanya sedikit yang dapat dia lakukan, kecuali mengawasi binatang yang digembalakannya. Ketika ia duduk sendiri, pemikirannya tak terelakkan kembali ke alam semesta di sekitarnya. Ia berpikir tentang ciptaan, dan permukaan yang luas tak habis-habisnya.

Dia berpikir bagaimana keanekaragaman makhluk yang berbeda-beda dapat berbagi hidup mereka di salah satu sudut [alam semesta] yang kecil itu, dan dusta-dusta yang berada di luar lingkaran persepsi manusia.

Dia berpikir tentang keanekaragaman tumbuhan yang banyak tumbuh dan buah-buahan di bumi, masing-masing dengan karakteristiknya yang berbeda-beda. Namun, mereka semua berasal dari jenis lahan yang sama dan hidup dengan air yang sama. Pemikirannya ke luar batas yang membimbingnya untuk berpikir tentang kekuasaan yang besar yang mengendalikan segalanya di alam semesta ini.

Seorang gembala perlu kesabaran, dan setiap dia pergi bekerja dia melompat untuk mengembangkan kualitas itu tanpa dia harus terus-menerus mengawasi domba-dombanya. Barangkali, akibat dua kualitas ini ditambah sedikit orang-orang penting, maka Tuhan telah memilih pekerjaan ini bagi para Nabi dan para utusan-Nya.

Sangat diketahui bahwa Musa dan Daud telah diberikan kenabian ketika mereka benar-benar terlibat di dalam mengawasi domba-domba. Nabi pernah ditanya apakah ia benar mengembalakan domba-domba, dan ia menjawab: “Ya tentu saja. Setiap Nabi mengembalakan domba-domba pada suatu waktu atau waktu lainnya.”

Jika kita pikirkan dengan benar tentang itu, maka kita dapat menyimpulkan bahwa para Nabi yang bagian dari hidup mereka memelihara umat manusia dan menuntun mereka, telah menerima pelatihan awalnya ketika mulai hidup secara nyata sebagai para gembala. Pekerjaan khusus ini merupakan suatu bentuk pendidikan. Itu membantu para gembala untuk memperoleh suatu perasaan yang tajam atas apa yang terjadi di sekitarnya dan mengembangkan kemampuannya untuk memperhatikan detilnya. Dia juga mengembangkan suatu kualitas lain yang sangat penting bagi kariernya di kemudian hari—suatu kemampuan untuk bekerja secara konsisten menuju keberhasilan-keberhasilan dari suatu hal yang telah direncanakan sebelumnya, dan untuk senantiasa gigih bersamanya hingga tercapai.

Muhammad bukanlah satu-satunya anak lelaki yang bekerja sebagai seorang gembala di Mekah—ini merupakan pekerjaan mulia di mana keluarga bangsawan Mekah tidak meremehkannya.

Anak lelaki lain yang berusia sama juga mengembalakan unta dan domba-domba. Kadang-Kadang beberapa di antara mereka bertemu dan mengembangkan persahabatan. Mereka membicarakan tentang apa yang mereka lakukan di malam hari.

Pada banyak kesempatan, pesta dan peristiwa sosial sering terorganisir di Mekah. Anak lelaki seusia Muhammad sering melakukan hal ini. Ketika mereka berjumpa dalam hari-hari mereka yang panjang, mereka membicarakan tentang kesenangan yang mereka dapatkan di pesta. Hal itu adalah sesuatu yang alami, oleh karena itu, Muhammad perlu berpikir tentang melakukannya seperti anak-anak lelaki lain lakukan.

Dikutip oleh Ali bin Abi Thalib, sepupunya, Muhammad pernah mengatakan: “Aku tak pernah berpikir mengambil bagian bagi orang-orang yang hidup dalam kejahilan ini untuk mengatur pertunjukan-pertunjukan hiburan kecuali pada dua malam. Di kedua kesempatan itu, Tuhan telah melindungiku dari kejahatan. Pada suatu malam aku berkata kepada salah seorang kawan sekerjaku, para gembala: ‘Maukah kamu berbaik hati menjaga domba-dombaku untuk memberi aku suatu kesempatan untuk turun ke Mekah dan menghadiri suatu acara sosial sebagaimana dilakukan oleh anak pria lain?’ Dia bersedia melakukannya. Aku pergi ke Mekah. Ketika aku masuk, aku mendengar musik dan nyanyian dari rumah yang pertama. Aku bertanya sedang ada acara apa dan aku telah diberitahukan bahwa itu adalah acara resepsi perkawinan. Aku duduk untuk melihat. Segera kepalaku terasa berat dan aku pun tertidur. Aku terbangun pada pagi berikutnya karena panasnya sinar matahari. Aku kembali pada teman-temanku dan melaporkan kepada mereka atas apa yang telah terjadi. Aku pun melakukannya lagi, dan hal yang sama terjadi lagi kepadaku. Aku tak pernah lagi berpikir atau melakukan hal tersebut hingga Allah memuliakanku dengan kenabian.”[1]

Dengan cara ini, Muhammad telah dilindungi oleh Allah terhadap semua bentuk pertunjukan yang tidak menarik untuk seseorang yang akan menjadi Nabi terakhir bagi seluruh umat manusia.

Laporan lain menyatakan bahwa Muhammad ”dilindungi” terhadap segala ketersandungan moral dari semenjak dia masih muda. Beberapa nilai [moral] tertentu yang diperkenalkan Islam belum pernah didengar oleh masyarakat Mekah di mana dia dibesarkan, sebagaimana aturan-aturan itu memang tidak terlalu dikenal di masyarakat yang tidak mengikuti kode etik moral yang tegas. Sebagai contohnya, tampil bugil di hadapan orang yang berjenis kelamin sama bisa diterima bagi kebanyakan masyarakat non-Islam. Beberapa masyarakat lainnya bahkan melakukan lebih jauh.

Di zaman moderen kita ini, gagasan “naturalis” telah mendapatkan banyak dukungan, dan klub naturalis yang mempromosikan [paham] ketelanjangan ini telah didirikan di banyak tempat di Eropa. Ini bertentangan dengan gagasan Islam mengenai sopan santun. Di masa mudanya, Muhammad sepenuhnya tidak menyadari atas nilai-nilai Islam mengenai sopan santun. Meskipun demikian, dia telah dibentuk untuk mentaatinya.[2]

Beberapa tahun sebelum permulaan wahyu-wahyu Alqurān, warga Quraish memutuskan untuk memperbaiki bangunan Kakbah. Nabi membantu perbaikan itu bersama-sama dengan masyarakat Mekah. Mereka yang pulang-balik membawa batu mengangkat bagian terendah dari pakaian mereka dan menaruhnya di atas bahu sebagai bantal yang di atasnya untuk menempatkan batu itu. Karena orang Arab pada waktu itu tidak mempunyai pakaian dalam, mereka melakukan pekerjaan ini sambil telanjang. Hanya Muhammad saja yang membawa batu sembari mengenakan pakaian bagian bawahnya. Pamannya, al-Abbas, yang bekerja bersamanya ketika itu, menyarankan kepadanya bahwa ia perlu menggunakan pakaian [bagian bawahnya] untuk melindungi bahunya. Ketika Muhammad melakukan hal ini ia terjatuh ke tanah dan tak sadarkan diri. Sesaat kemudian ia tersadarkan, mencari-cari pakaiannya dan mempereratnya mengelilingi auratnya. Kemudian, dia kembali meneruskan pekerjaannya.

Laporan yang sama menyatakan bahwa hal yang serupa terjadi lagi padanya. Nabi dikutip berkata bahwa ketika dirinya masih seorang anak lelaki muda, dia sedang bermain dengan anak-anak lelaki seusianya membawa batu dari satu tempat ke tempat lain. Ia berkata: “Kita semua sedang menanggalkan pakaian. Kita mengambil pakaian kita dan menempatkannya pada bahu untuk meletakkan batu di atasnya. Aku sedang berjalan berkeliling dengan anak-anak yang lain ketika seseorang yang tidak kulihat memukulku dengan sebuah pukulan yang sangat keras. Ia berkata: “Pakai bajumu!” Aku membungkus diriku dengan itu dan membuatnya ketat. Aku terus membawa batu di bahuku, tetapi aku satu-satunya yang memakai pakaian.”[3]

Kedua laporan ini jelas mencontohkan bagaimana esensi nilai moral dari manusia yang tidak menyimpang telah diberlakukan bagi Muhammad, bahkan jauh sebelum ia menjadi Nabi. Ini menjadi bagian dari “pendidikan” yang dia terima. Walaupun Muhammad tidak dididik melalui sekolah formal atau oleh seorang guru tertentu, ia telah ditempatkan di tengah beragam peristiwa yang telah memberinya ketajaman atas nilai-nilai moral yang perlu dipelihara dalam suatu masyarakat sehat yang bermoral.

Pendidikan pribadi juga diberikan kepadanya sehingga dia mampu mengembangkan suatu ciri kebiasaan yang menjadikan segala jenis kecerobohan menjadi asing bagi jiwanya.

Pendidikan seperti itulah yang cenderung lebih efektif dan lebih bertahan dibandingkan pendidikan yang diterima di sekolah formal. Seperti yang akan kita lihat pada tulisan berikutnya, pemahaman Muhammad atas seluruh aspek kehidupan akan jauh lebih dalam dibandingkan dengan ahli filsafat atau orang bijak mana pun. [EH]

Sebelumnya:

Bersambung…

Catatan kaki:


[1] Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal. 110-111

[2] Ibid., hal. 109

[3] Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, vol.1, hal. 194-195

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*