Muhammad: Manusia dan Nabi (8): Setting Sosial-Politik Pra-Islam (1)

in Sejarah

Last updated on March 15th, 2022 09:05 am

Bila kita bertanya, dimanakah peran nilai-nilai agama samawi seperti Yahudi dan Kristen di tanah Arab pada masa itu? Selama berabad-abad kedua agama itu sudah berusaha menembus kebudayaan jahiliyah yang mengakar Kota Makkah, tapi hasilnya sangat minim, kalau tidak dikatakan nihil.

Gambar ilustrasi. Sumber: pukul69.com

Laporan yang kita punya mengenai masa-masa awal kehidupan Muhammad tidaklah banyak. Hal ini tidak mengejutkan karena yang pasti bahwa buta huruf adalah norma di Arab ketika itu, sehingga warisan literatur pada masa itu tidak sebanyak Yunani, Romawi atau Persia. Namun, laporan yang kita miliki cukup untuk menunjukkan pada kita bahwa sejak masa muda, Muhammad telah dibedakan atas [sifat] kejujuran, kebaikan, kesabaran, kerendahan hati, dan kesigapan untuk membantu orang lain. Ia juga dikenal sebagai anak muda yang tidak terlibat [perbuatan-perbuatan] buruk yang dipraktekkan secara luas oleh masyarakat Mekah, seperti mabuk-mabukan, berjudi atau pelacuran.[1]

Sebagai gambaran, Kota Mekkah pada masa itu adalah ibu kota peradaban jahiliah yang sangat masyur dikenal dunia. Sebagaimana para sejarawan gambarkan, bahwa orang-orang Arab sebelum datangnya Islam, terutama di Kota Makkah, sangat kecanduan minum-minuman keras, judi dan mendengarkan musik. Tarian dan nyanyian yang beragam dari berbagai penjuru dunia dipentaskan tiap malam di kota ini. Para penyanyi dan penari tersebut dikenal dengan istilah Kiyan atau yang bentuk tunggalnya Kayna, adalah para budak wanita yang sudah terkenal kebejatannya. Namun di Kota Makkah mereka demikian dihargai dan menjadi sasaran rayuan para konglomerat dari berbagai negara.[2]

Akibat masuknya kebejatan moral dan kebudayaan yang ganjil ini, sistem sosial di Kota Makkah yang sebelumnya sudah pernah dibangun rapih oleh para leluhur Rasulullan Saw itupun runtuh hingga ke titik nadir. Tidak ada lagi penghormatan ataupun pemuliaan terhadap kaum perempuan. Para istri, kecuali ibu kandung, yang ditinggal mati suaminya, menjadi hak properti anak laki-lakinya. Bahkan sebagaimana juga Alquran merekamnya, di antara mereka ada kebiasaan membunuh bayi perempuan dengan cara menguburnya hidup-hidup (Qs. At-Takwir: 8-9). Tradisi ini bahkan terus berlangsung hingga masa kerasulan Muhammad Saw.[3]

Bila kita bertanya, dimanakah peran nilai-nilai agama samawi seperti Yahudi dan Kristen di tanah Arab pada masa itu? Syed Ameer Ali mengatakan, bahwa peran mereka nyaris tak terdengar. Selama berabad-abad lamanya kedua agama itu sudah berusaha menembus kebudayaan jahiliyah yang mengakar Kota Makkah, tapi hasilnya sangat minim, kalau tidak dikatakan nihil.[4]

Orang-orang Yahudi yang membawa serta semangat perpecahan dalam agama mereka, justru pada akhirnya ikut memanfaatkan situasi kerusakan di Kota Makkah demi mengakumulasi kapital mereka sendiri. Di Madinah, di tempat yang bernama Khaibar, mereka mendirikan kawasan ekslusif yang dibentengi dinding-dinding kokoh. Sedang orang-orang Kristen, hanya bisa membangun koloni kecil dengan sedikit pengikutnya.

Demikian juga dengan agama-agama lain seperti Magisme dan Sabaeisme, mereka hanya memiliki sidikit pengikut di kalangan orang Arab. Dewa-dewa mereka tidak bisa menggantikan berhala Kaum Quraisy yang berjejer banyak di sekitar Kabah.

Kaum Quraisy lebih memilih tradisinya sendiri yang memuja tiga Dewi Bulan bernama: Al-Lat (bulan yang cemerlang), Al-Manat (kegelapan), dan Al-Uzza (persatuan keduanya). Ketiganya mereka anggap sebagai putri dewa tertinggi (Banatullah). Alih-alih terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama samawi dan agama-agama pagan lainnya, Kota Makkah justru menjadi pusat penyembahan berhala yang luas berpengaruh ke kawasan sekitarnya.[5]

Suku-suku lain di Semananjung Arabia seperti Kaum Kinana yang letaknya satu setengah hari perjalanan dari Makkah menyembah Bintang Aldobaran dan Dewi Uzza yang dilambangkan dengan sebuah pohon di satu tempat bersama Nakhla. Kaum Hawazin, yang mengembara ke arah tenggara Makkah menyembah dewi kesayangan mereka yang bernama Dewi Lat yang berada di dekat Tayef. Demikian juga dengan Al-Manat, banyak ditemukan berjejer di sejumlah perkampung yang ada di sepanjang jalan yang dilalui Kaum Quraisy dalam perjalanan dagang ke Suriah. Dengan kata lain, aktifitas amoral dan kegelapan spiritual yang terjadi di Kota Makkah malah menginsipirasi kawasan-kawasan lain di sekitarnya untuk juga membangun kebudayan jahiliyah yang sama.[6]

Sir William Muir, salah satu orientalis asal Skotlandia, memaparkan:

Setelah lima abad penyebaran agama Kristen, kita hanya bisa menunjukkan sedikit pengikut Kristen di sana-sini. Mereka itu adalah Banu Harit di Najran, Bani Hanifa di Yamama, beberapa orang Bani Tay di Tayma, dan hampir tidak ada lagi selain mereka. Agama Yahudi yang lebih kuat telah menunjukan upaya pemurtadan yang tak terarah di bawah Zu Nawas; tapi sebagai sarana pemurtadan yang aktif agama Yahudi tak lagi berpengaruh. Singkatnya dari sudut pandang agama, Arabia sekali-kali terpengaruh sedikit oleh upaya-upaya kecil penyebaran agama Kristen. Sementara pengaruh agama Yahudi yang lebih besar terkadang tampak dalam arus yang lebih dalam dan bergejolak. Gelombang pasang berhala pribumi dan tahayul kaum Ismailiyah – yang datang dari segala penjuru dengan gelombang yang terus menerus dan tak pernah reda ke arah Kabah – memberi cukup banyak bukti bahwa keyakinan dan ibadah di Makkah menguasai pikiran bangsa Arab dengan kuat dan tak terbantahkan.”[7] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal.

[2] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. 5

[3] Ibid

[4] Ibid, hal. lv

[5] Ibid

[6] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 69

[7] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. lvi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*