Muhammad: Manusia dan Nabi (9): Setting Sosial-Politik Pra-Islam (2)

in Sejarah

Last updated on March 28th, 2022 07:06 am

Sepanjang catatan sejarah, Kota Mekkah hanya pernah ditaklukkan oleh Nabuchatnezar dari Babilonia. Tapi mereka tidak pernah mengalami penjajahan ataupun revolusi. Sehingga mereka tidak mengalami fase mundur dalam perkembangan budaya. Kebudayaan mereka terus tumbuh secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lain tanpa terputus.

Gambar ilustrasi. Sumber: www.churchofjesuschrist.org

Selama ribuan tahun, Kota Makkah dikelilingi oleh sejumlah peradaban besar dunia. Di sebelah timur ada kekaisaran Persia; di barat ada Bizantium Romawi; dan di selatan terdapat Mesir dan Yaman. Secara rutin, setiap tahun, orang-orang dari semua kekaisaran tersebut berdatangan ke Kota Makkah, menyambut seruan Ibrahim as.

Di Mekkah, Kaum Quraisy bertindak sebagai tuan rumah, dan bertugas melayani para peziarah tersebut. Dari para penziarah yang datang, mereka bisa mendengar informasi yang berkembang di berbagai belahan dunia langsung dari sumbernya. Mereka terbiasa berkenalan dengan teknologi terbaru, karya-karya terbaru, dan segala jenis ilmu yang berkembang di sejumlah kebudayaan. Mungkin karena kebiasaan ini, sehingga membuat mereka memiliki kemampuan beradaptasi, dan menyerap pengaruh dari banyak kebudayaan dunia. Dari kebiasaan ini pula mereka tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang maju dan berbudaya.

Selain sebagai pusar peziarahan dunia, Makkah juga dikelilingi oleh jalur-jalur penting lalu lintas dunia. Hanya sejarak dua hari berjalan kaki (sekitar 60 Km), mereka sudah bisa mencapai tepian Laut merah. Jalur yang menjadi urat nadi perdagangan yang menghubungkan kawasan perdagangan di Samudera Hindia ke Bizantum dan Afrika.

Di sebelah utara, terdapat Syam (Suriah sekarang), yang merupakan ujung lain dari titian Jalur Sutra. Ujung lainnya adalah China, sebuah peradaban besar di tepian Samudera Pasifik.

Selain itu, Syam terletak di tepian Laut Mediterania, pusat peradaban bangsa-bangsa Afrika Utara dan Eropa. Sehingga tak ayal, Syam menjadi sebuah pusat perdagangan dunia. Di sinilah semua barang dari kawasan Eropa, Afrika utara dan Asia dikumpulkan dan dialirkan kembali. Bila sudah lewat musim haji, ke tempat inilah Kaum Quraisy secara rutin melakukan perjalanan dagang tiap tahun.

Selain ke Syam, Kaum Quraisy juga secara rutin melakukan perjalanan dagang ke Yaman. Di tempat itu, ada Teluk Aden dan beberapa pelabuhan lain yang langsung bersentuhan dengan rezim perdagangan purba, yaitu Samudera Hindia.

Layaknya Syam, di Yaman barang-barang dari Afrika, Persia, India hingga Nusantara dan China berkumpul. Di tengah konstalasi perdagangan global tersebut, Kaum Quraisy kelompok yang menjadi jangkar kedua wilayah, Samudera Hindia dan Jalur Sutra.

Sebagaimana dikatakan oleh Syed Ameer Ali, “Makkah adalah pusat perdagangan yang telah membedakan bangsa Arab pada satu waktu dengan bangsa timur lainnya. Dari Makkah, kafilah-kafilah (Quraisy) membawa hasil kekayaan Yaman ke wilayah kekuasaan Bizantium (Romawi), Persia dan India. Dan, dari Suriah (syam) mereka membawa bahan pakaian dan sutra ke kota-kota Persia.”[1]

Maka demikianlah, lambat laun, seiring perkembangan zaman, Kaum Quraisy dan Kota Makkah secara tak terbantahkan berhasil memanjat tangga sosial, politik dan ekonomi di dalam pergaulan dunia. Makkah tidak hanya menjadi destinasi wisaya ruhani, tapi juga mejadi pasar dan pusat perdagangan dunia. Sedang Kaum Quraisy menjadi aktor penting dalam perdagangan global.

Selama ribuan tahun lamanya, mereka hanya pernah ditaklukkan oleh Nabuchatnezar dari Babilonia. Tapi mereka tidak pernah mengalami penjajahan ataupun revolusi. Sehingga mereka tidak mengalami fase mundur dalam perkembangan budaya. Kebudayaan mereka terus tumbuh secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lain tanpa terputus.

Tingkat kemajuan peradaban bangsa Arab pra-Islam dengan mudah bisa diukur dari luasnya perbandaharaan kosa kata yang mereka miliki. Demikian juga dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka memahami ilmu perbintangan, geografi, meteorologi, dan ilmu alam lainnya. Lebih dari itu, mereka juga mampu memahami sifat hewan, tumbuhan, dan juga manusia.

Yuval Noah Harari, dalam buku fenomenalnya yang berjudul “Sapiens”, mengatakan bahwa bahasa atau kemampuan linguistik adalah parameter paling otentik untuk menunjukkan capaian kognitif dan tingkat kemajuan peradaban Homo Sapiens. Karena bahasa adalah produk revolusi kognitif yang khas milik Homo Sapeins. Kemampuan ini—merangkum segenap kehebatan Sapiens—adalah komponen utama dari apa yang kita sebut sebagai “budaya”. Begitu muncul, budaya-budaya itu tak pernah berhenti berubah dan berkembang, dan perubahan-perubahan yang tak terhentikan inilah yang kita sebut “sejarah”.[2]

Terkait tentang mengapa bangsa Arab, khususnya di Kota Makkah tidak memiliki artefak yang merupakan produk teknologi? merujuk Harari, pembuatan alat adalah konsekuensi kecil kalau tidak digabungkan dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan banyak orang lain.[3] Dan bahasa adalah sarana yang membuat manusia bisa bekerja sama, membangun sistem, dan merajut konstelasi realitas yang kompleks. Dengan bahasa, kata Harari, manusia mampu membangun fiksi dan mitos yang esensial untuk kemajuan dan perkembangannya.

Dalam kerangka itu, nyaris tidak ada satupun bahasa di dunia yang mampu menandingi kekayaan kata dan ketinggian makna bahasa Arab. Untuk satu kata “unta” saja, misalnya, ada sekian banyak nama untuk beragam tahap, tipe, dan kondisi khusus unta.

Demikian pula halnya dengan binatang-binatang ternak lain. Mereka juga memiliki kata-kata khas tentang berbagai suasana dan perasaan. Umpamanya, untuk rasa “takut” bahasa Arab menyediakan sejumlah kata semisal khauf, faza’, khasy-yah, hala’,yang dalam bahasa lain mungkin hanya dapat diterjemahkan dengan takut saja.

Demikian pula, contoh lain lagi, untuk kata “dusta”, bahasa Arab, sebagaimana yang dapat kita baca dalam Alquran, menggunakan kata kidz, iftira’, ifk, kharsh dan sebagainya.

Mudahnya, kita lihat saja ayat-ayat yang termaktub di dalam Alquran yang demikian kaya dengan kata dan makna, konotasi dan nuansa, diksi dan kalimat. Dan persisnya karena itu pula kitab suci ini telah menjadi bahan penafsiran dan penguaraian yang telah melahirkan ratusan ribu karya besar maupun kecil dalam berbagai macam bahasa—dengan tren yang tak pernah menyusut.

Kita tentu menyepakati bahwa tidak mungkin wahyu pamungkas itu diturunkan dalam bahasa yang tidak dipahamai manusia di zamannya. Apa yang terdapat dalam Alquran, setidaknya dari sisi makna-makna lahiriahnya dan kata-katanya, adalah bahasa yang dimengerti oleh bangsa-bangsa Arab ketika itu.

Di dalam Alquran, sebagai misal dua ayat pertama yang turun, di dalamnya sudah tersimpan sedemikian banyak konsep yang rumit dan mencengangkan, seperti iqra (baca), Rabb, insan, dan alaq (segumpal darah), yang kemudian menjadi nama surah tersebut.

Dari beberapa contoh yang dipaparkan di atas, kita bisa menilai betapa tingginya bahasa dan dengan demikian kemajuan budaya yang dicapai oleh bangsa Arab pra-Islam. Dimana satu kata bisa memiliki medan makna yang demikian kompleks. Dan ini hanya mungkin dicapai oleh suatu peradaban yang memiliki sistem ilmu pengetahuan dan tradisi intektual yang panjang.

Dengan demikian, tidak begitu tepat bila peradaban “jahiliah” yang dihadapi Rasulullah Saw pada masa itu dipenuhi orang-orang yang kekurangan pengetahuan dan terbelakang secara intelektual. Sangat mungkin, istilah “jahiliyah” – yang dimaksud untuk menunjuk peradaban masyarakat pra-Islam ketika itu – adalah satu karakter atau ideologi pembangkangan terhadap nilai-nilai kebenaran yang disusun secara sengaja, sistematis, serta dilakukan secara kolektif dan masif dalam skala global.

Kepada masyarakat yang seperti inilah mahluk paling agung di jagad penciptaan diturunkan dengan membawa risalah terbesar dan terlengkap sebagai pamungkas kenabian hingga akhir zaman. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. liii

[2] Lihat, Yuval Noah Harari, Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraan Kepunahannya, (Ciputat: PT Pustaka Alvabet, 2011), hal. 43

[3] Ibid, hal. 44

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*