Muhammad: Manusia dan Nabi (10): Setting Sosial-Politik Pra-Islam (3)

in Sejarah

Last updated on July 10th, 2022 07:29 am

“Nabi Muhammad Saw diutus sebagai Rasul pamungkas, tepat dipusat episentrum peradaban umat manusia. Yang beliau hadapi adalah satu elit global yang menguasai sebuah pasar dunia. Dimana sistem sosial, politik, ekonomi dan perdagangan bercampur aduk menjadi sebuah rezim kejahatan yang menggurita.”

Gambar ilustrasi. Sumber: republika.co.id

Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, bahwa bangsa Arab pra-Islam sebenarnya sudah berhasil mendaki hingga kepuncak kebudayaan. Hal ini memang tidak terlihat dari artefak fisik, tapi lebih otentik dari itu, ketinggian budaya mereka terlihat dari sistem bahasa yang mereka gunakan. Dimana menurut Yuval Noah Harari, bahwa bahasa atau kemampuan linguistik adalah parameter paling otentik untuk menunjukkan capaian kognitif dan tingkat kemajuan peradaban Homo Sapiens.

Maka demikianlah, dengan segenap perangkat kebudayaan yang sudah matang tersebut, tak ayal bangsa Arab pra-Islam mampu menyulap tempat paling suci di muka bumi, menjadi pusat kemusyrikan terbesar di dunia. Mereka mendirikan lebih dari 360 berhala yang disembah oleh para peziarah setiap tahun. Tak ada agama samawi yang mampu menembus sistem ini. Bahkan agama besar lainnya seperti magi, zoroaster dan kepercayaan pagan lainnya justru berlutut mengikuti sistem keperjayaan jahiliyah. Kabah yang semula menjadi pusat peziarahan umat manusia, berubah menjadi pusat menyebahan berhala terbesar.

Pengaruh mereka demikian besar, hingga perilaku mereka ditiru oleh kabilah-kalibah lain di seantero jazirah arab. Berhala-berhala sembahan Kaum Quraisy bertebaran mulai dari Syam hingga Yaman, dari Laut Merah hingga Iraq. Hingga pada masa sebelum turunannya kenabian terakhir, aroma kejahiliyahan sudah bisa tercium dari jarah ribuan kilometer dari Kota Makkah.

Bahkan Abrahah, dengan segenap dukungan dari Bizantium dan Abbaisinia, tak mampu mengalahkan pengaruh mereka. Sudahlah dia bersusah payah membangun gereja terbesar didunia, lengkap dengan segenap perangkat pelayanannya, tapi tak jua memampu memalingkan hati manusia dari Makkah. Sampai-sampai mereka frustasi dan mengerahkan bala tentara gajah yang merupakan armada pasukan paling elit masa itu.

Kisah tentang agresi Abrahah ke Makkah adalah teater sejarah yang komplit. Motif, proses, dan hasil akhirnya menggambarkan secara gamblang betapa sengitnya dinamika persaingan global yang terjadi di masa itu. Untuk membangun gerejanya, Abrahah bahkan didukung dana dan arsitek terampil dari Bizantium.

Keterlibatan Bizantium yang intens dalam hal ini, menurut sejarawan karena Yaman ketika itu berada di bawah pengaruh otoritas Bizantium. Namun bisa di duga bahwa ada motif yang lebih jauh dari itu, yaitu motif persaingan dagang dan ekonomi antara Kota Makkah dengan Bizantium. Karena arus perdagangan dari selatan, secara otomatis akan terlebih dahulu singgah ke Makkah sebelum sampai ke Bizantium. Dan ini jelas merugikan.

Maka ketika pada akhirnya Nabi Muhammad Saw diutus sebagai Rasul pamungkas, yang beliau hadapi adalah satu elit global yang menguasai sebuah pasar dunia. Beliau diutus tepat dipusat episentrum peradaban umat manusia. Dimana sistem sosial, politik, ekonomi dan perdagangan bercampur aduk menjadi sebuah rezim kejahatan yang menggurita.

Sebagai pusat episentrum peradaban kala itu, sangat wajar bila Alquran kemudian menjuluki Makkah sebagai sebagai “Ummul Qura”.

Secara harfiah, Ummul Qura artinya ibu dari semua kota. Istilah ini disebutkan sebanyak dua kali di dalam Alquran, yakni pada surah Al-Anam [6]: 92 dan surah Asy-Syuura [42]: 7, yang masing-masing artinya sebagai berikut:

Dan, ini (Alquran) adalah kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah dan membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat tentu beriman kepadanya (Alquran) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (QS Al-An’am [6]: 92).

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Alquran dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk Jahannam.” (QS Asy-Syuura[42]: 7).

Hampir semua mufasir sepakat bahwa istilah Ummul Qura yang disebut dalam kedua ayat ini adalah Kota Makkah. Akar kata ummul di sini, sama dengan imam yang artinya pemimpin.

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, “Boleh jadi juga Kota Makkah dinamai demikian karena arah yang dituju oleh masyarakat Arab, bahkan umat Islam hingga dewasa ini adalah ke kota tersebut, baik dalam shalat maupun haji. Ini seperti halnya anak yang selalu mengarah kepada ibunya. Mengarah dan berkunjung ke sana karena di sana terdapat Kabah yang menjadi pusat kegiatan.”[1]

Lebih jauh, Quraish Shibab menjelaskan, bahwa Makkah juga disebut Ummul Qura karena Allah SWT menjadikan Kabah sebagai “matsabatan linnas wa amna/tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman”, sama halnya dengan anak-anak yang berkumpul di sekeliling ibunya dan merasa aman berdekatan dengannya.[2]

Di dalam Alquran, Kota Makkah disebut dengan sejumlah nama, seperti Bakkah (Al-Imran [3]: 96); Al-Balad (Al-Balad [90]: 1-2); Al-balad al-Amin (Al-Tin [95]: 1-3 & Al-Baqarah [2]: 126); Al-Baldah (Al-Naml [27]: 91). Beragam bentuk sebutan yang Allah berikan pada Kota Makkah, tentu memiliki maksud masing-masing yang bersifat khusus. Demikian juga dengan Ummul Quro. Dari beberapa kemungkinan arti Ummul Quro yang sudah disebutkan di atas, kita bisa menduga bahwa istilah ini Allah gunakan secara khusus untuk menjelaskan kedudukan hakiki Kota Makkah dalam skema kehidupan manusia di muka bumi pada masa itu, bahkan mungkin hingga hari ini.

Penggunaan istilah ini oleh Alquran membuktikan secara gamblang bahwa Makkah ketika masa Rasulullah Saw, bukanlah sebuah desa kecil di gurun tandus yang terisolir dari hiruk pikuk kehidupan dunia. Sebaliknya, ia adalah pusat episentrum peradaban dunia. Inilah ibu kota dari semua kota di muka bumi. Ke tempat inilah mata para raja, kaisar dan kisrah tertuju. Dan yang terpenting dari semuanya, ke sinilah semua kerinduan spiritual umat manusia terpaut, dan ke sini pula setiap langkah kaki manusia tertuju.

Maka ketika kota ini diubah menjadi pusat kekuasan jahiliyah, adalah suatu hal yang tepat bila pada akhirnya, risalah langit yang terbesar dan pamungkas, diturunkan di tempat ini dengan dibawa oleh mahluk paling agung dijagad penciptaan. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 4, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005). hal. 196

[2] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 12, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005). hal. 459

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*