Mozaik Peradaban Islam

Kosmologi Islam dan Dunia Modern oleh William C. Chittick (6): Musnahnya Sebuah Warisan (6): Situasi Sekarang (2)

in Pustaka

Tak perlu ilmuwan besar, ataupun ilmuwan apapun, untuk memahami bahwa dunia berbicara lantang tentang keagungan Sang Penciptanya. Orang bodoh pun mengetahui hal ini.

Foto ilustrasi: Freepik

Dalam dunia Islam pramodern, etos Islami ada di mana-mana, namun para pemikir dan intelektual besar tetap menghabiskan seluruh kehidupan mereka untuk mencari pengetahuan tentang Tuhan, kosmos, dan jiwa secara lebih mendalam. Menurut mereka, pencarian akan pemahaman adalah tugas yang tidak pernah berakhir.

Warisan yang ditinggalkan oleh para intelektual tersebut luar biasa kayanya. Mereka menulis beribu-ribu buku, kendatipun sebagian besar buku penting tersebut belum pernah dicetak, apalagi diterjemahkan. Dan, karya-karya yang telah diterbitkan jarang dibaca oleh kaum Muslim modern.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kiranya penting untuk membaca seluruh buku besar dari tradisi intelektual dalam bahasa aslinya agar kita dapat berpikir secara Islami. Jika Muslim modern dapat membaca salah satu buku penting, sekalipun dalam format terjemahan, dan memahaminya, pemikiran mereka niscaya akan sangat terpengaruh.

Namun, satu-satunya cara untuk memahami buku-buku tersebut adalah dengan mempersiapkan diri sendiri untuk memahami, dan itu menuntut studi dan pelatihan. Hal ini tidak dapat dilakukan beralaskan suatu pendidikan universitas modern, kecuali, mungkin, ia setia kepada tradisi Islam (saya katakan “mungkin” karena banyak Muslim dan non-Muslim dengan gelar Ph.D. dalam bidang Kajian-kajian Islam tidak bisa membaca dan memahami buku-buku agung warisan intelektual).

Mengingat bahwa proses sekolah modern berakar pada topik-topik dan modus-modus pemikiran yang tidak selaras dan tidak sejalan dengan pembelajaran Islam tradisional, maka sangat sulit kiranya bagi Muslim yang berpikir dan mengamalkan Islam untuk menyelaraskan ranah pemikiran dan teori dengan ranah keimanan dan amal perbuatan.

Siapa pun tidak dapat belajar selama bertahun-tahun dan kemudian tidak tersentuh oleh apa pun yang telah dia pelajari. Orang tak bisa terhindar dari kebiasaan-kebiasan mental yang ditimbulkan dari materi yang dipelajarinya sepanjang hidup.

Kemungkinan besar, cukup besar tapi tidak sepenuhnya, para pemikir modern dengan keyakinan agama tak bisa menghindar dari memiliki benak yang terkompartemenkan. Satu kompartemen pikiran akan mencakup ranah profesional dan rasional, sedangkan kompartemen yang lain menampung ranah ketakwaan dan amal pribadi. Secara lebih umum, hal ini terjadi pada kebanyakan orang yang dibesarkan dalam suasana tradisional dan kemudian dididik dalam gaya modern.

Pemikir Iran Daryoush Shayegan, yang secara fasih menulis sebagai filosof dan kritikus sosial yang sedang berjuang melawan fenomena ini, menyebutnya sebagai “skizofrenia kultural.”

Kaum beriman yang cenderung bijaksana yang terperangkap dalam skizofrenia kultural tadi mungkin mencoba merasionalisasikan hubungan antara praktik keagamaan mereka dan pelatihan profesional mereka, tetapi mereka akan melakukannya dalam kerangka pandangan dunia yang ditentukan oleh aspek rasional dari pikiran mereka.

Pandangan Islam tradisional, yang dibangun oleh Al-Quran dan diwariskan oleh berbagai generasi Muslim, akan tertutup bagi mereka, dan karenanya mereka akan menarik kategori-kategori dan pola-pola berpikir mereka dari Zeitgeist yang selalu berubah yang muncul dalam beragam tren budaya kontemporer dan dipopulerkan melalui televisi dan bentuk-bentuk lain indoktrinasi massal.

Banyak ilmuwan Muslim mengatakan kepada kita bahwa sains-sains modern membantu mereka melihat keajaiban-keajaiban ciptaan Tuhan, dan ini jelas argumen untuk mengutamakan sains-sains alam di atas sains-sains sosial.

Namun, apakah penting mempelajari fisika atau biokimia guna menyaksikan tanda-tanda Tuhan dalam semua makhluk-Nya?

Al-Quran terus menerus mengatakan kepada kaum Muslim, “Apakah engkau tidak merenungkan, tidakkah engkau memikirkan, tidakkah engkau berpikir?” Tentang apa? Tentang tanda-tanda yang ditemukan, seperti dalam lebih dari dua ratus ayat Al-Quran yang mengingatkan kita, dalam segala hal, terutama gejala-gejala alam.

Tak perlu ilmuwan besar, ataupun ilmuwan apapun, untuk memahami bahwa dunia berbicara lantang tentang keagungan Sang Penciptanya. Orang bodoh pun mengetahui hal ini. Ini adalah apa yang Nabi sebut sebagai “agama perempuan tua” (dîn al-‘ajâ’iz), dan tak seorang pun membutuhkan pelatihan profesional untuk memahaminya.

Memang benar bahwa pemahaman dasar tentang tanda-tanda Tuhan dapat memberikan pengetahuan yang memadai bagi keselamatan. Apalagi, Nabi pernah bersabda bahwa “Kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang bodoh.” Namun, kebodohan yang membawa kita ke surga menuntut kebodohan dalam urusan-urusan dunia ini, yang di zaman sekarang hal itu justru tidak mudah didapatkan. Tentu saja “kebodohan” itu jarang kita temukan di antara para pemikir Muslim, yang sudah jauh lebih “pandai”, yang membantu menjelaskan mengapa mereka menjadi para doktor dan insinyur yang sukses. (PH)

Bersambung…..

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*