Mozaik Peradaban Islam

Kosmologi Islam dan Dunia Modern oleh William C. Chittick (5): Musnahnya Sebuah Warisan (5): Situasi Sekarang (1)

in Pustaka

Last updated on January 3rd, 2022 12:58 pm

Kemungkinan besar proses-proses berpikir Muslim saat ini sebenarnya tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip Islam dan pemahaman Islam.

Foto ilustrasi. Kredit: Michael Page

Saya katakan bahwa tradisi Islam umumnya, meskipun tidak sepenuhnya, telah menghilang. Hal ini jelas bagi orang-orang yang telah mempelajari sejarah peradaban Islam. Para sarjana sering membahas kehilangan ini dalam kaitan dengan “periode keemasan” Islam klasik dan kemunduran secara bertahap sains dan aktivitas pembelajaran.

Mengingat hampir semua orang setuju bahwa aktivitas keilmuan Islam dalam berbagai corak dan bentuknya tidak sepadan dengan kebesaran masa lalu, maka ada sedikit yang bisa diperoleh dengan mencoba membuktikan poin itu, atau dengan memetakan sejarah kemunduran, atau dengan menyarankan apa yang mungkin salah ataupun mungkin tidak salah.

Alih-alih, saya ingin menganggap bahwa tradisi intelektual bukanlah seperti yang sudah-sudah, dan bahwa ia masih memiliki sesuatu untuk ditawarkan. Sesuatu ini, bagaimanapun, tidak dapat ditemukan kembali atau dihidupkan kembali sepanjang pengetahuan intelektual diperlakukan sebagai bentuk lain dari pengetahuan nukilan, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh para ilmuwan modern.

Kita memiliki banyak pakar dalam filsafat Islam dan tasawuf, Muslim atau non-Muslim, yang telah memberikan kontribusi luar biasa kepada kajian-kajian tekstual dan historis, tapi berurusan dengan subjek mereka sebagai gudang informasi historis, bukan sebagai tradisi hidup yang raison d ‘etre-nya adalah transformasi jiwa manusia.

Seperti komentar salah seorang profesor saya yang sudah tua dan sekarang sudah almarhum di Universitas Tehran tentang rekan-rekan mudanya, mereka mengetahui segala sesuatu yang mungkin ia tahu tentang sebuah teks, kecuali apa yang dikatakannya.

Lepas dari definisi “intelektual” yang sudah disediakan sebelumnya, sebagian orang akan mengklaim bahwa umat Islam memiliki kehidupan intelektual yang menggelora dan bahwa tradisi intelektual sebenarnya tidak menghilang.

Akan tetapi, hal ini akan membawa kita kembali pada makna kata intelektual yang dipergunakan dewasa ini. Tidak diragukan lagi, ada puluhan ribu intelektual Muslim dalam arti biasa—yaitu, penulis, profesor, doktor, pengacara, dan ilmuwan yang peduli dengan peristiwa-peristiwa terkini dan mengekspresikan diri mereka secara lisan ataupun secara tertulis.

Namun saya punya keraguan serius mengenai apakah ada dari sebagian kecil orang-orang itu yang bisa disebut sebagai intelektual dalam pengertian teknis yang saya gunakan untuk mendefinisikan istilah tersebut.

Memang, ada banyak orang bijaksana dan canggih yang dilahirkan sebagai Muslim dan yang mungkin sebenarnya mempraktikkan agama mereka dengan hati-hati. Tapi apakah mereka berpikir secara Islami?

Mungkinkah menjadi seorang ilmuwan dalam pengertian modern sekaligus menjadi Muslim yang memahami kosmos dan jiwa sebagaimana dipaparkan oleh Al-Quran dan Sunnah kepada mereka?

Mungkinkah menjadi seorang sosiolog dan pada saat yang sama berpikir dalam kerangka tawhîd?

Begitu kita memiliki sebuah gagasan tentang hakikat dari tradisi intelektual dalam arti kata yang ada dalam pikiran saya, maka akan muncul kemungkinan besar bahwa proses-proses berpikir Muslim saat ini sebenarnya tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip Islam dan pemahaman Islam.

Alih-alih, mereka dibentuk dan dipola secara tidak sadar oleh kebiasaan pikiran saat mempelajari tata bahasa dan (mata pelajaran) sekolah menengah kemudian dikonfirmasi dan diperkuat oleh universitas dan pelatihan profesional. Orang-orang seperti itu mungkin shalat dan berpuasa seperti kaum Muslim, tetapi mereka berpandangan seperti para doktor, insinyur, sosiolog, dan ilmuwan politik.

Kiranya naif untuk membayangkan bahwa siapa pun bisa mempelajari bagaimana cara berpikir secara Islami hanya dengan menghadiri kuliah-kuliah sekali dalam seminggu atau dengan membaca sejumlah buku yang ditulis dan disusun oleh para pemuka Muslim kontemporer, atau dengan mempelajari Al-Quran atau dengan mendirikan shalat dan mempunyai “keimanan yang teguh”. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*