Abu Dzar meneriakkan kalimat syahadat dengan keras di Masjidil Haram di hadapan kaum Quraisy, atas tindakannya tersebut dia dipukuli. Berita mengenai peristiwa pemukulan terhadap Abu Dzar oleh kaum Quraisy segera sampai kepada paman Rasulullah, Abbas. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut. Dia sadar, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Abu Dzar hanya dapat dengan cara diplomasi halus.
Maka Abbas berkata, “wahai kaum Quraisy! Kalian semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini adalah salah seorang warganya, bila dia bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!” Mereka sadar akan hal itu, maka ditinggalkannya lah Abu Dzar.
Namun watak keras Abu Dzar tidak dapat ditundukkan, terlebih dia adalah salah seorang suku Ghifar yang memang terkenal tangguh, peristiwa pemukulan tersebut bukan apa-apa baginya. Pada hari berikutnya dia melihat dua orang wanita sedang thawaf mengelilingi berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambal bermohon kepada berhala-berhala tersebut. Abu Dzar segera berdiri dan menghalangi mereka, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina oleh Abu Dzar sejadi-jadinya.
Melihat peristiwa itu, kedua wanita tersebut menjadi histeris dan berteriak-teriak, sehingga orang-orang di sekitar gempar. Khalayak paham dengan apa yang sedang tengah berlangsung, dan segera mereka memukuli Abu Dzar hingga tak sadarkan diri. Begitu siuman, kalimat pertama yang diucapkan Abu Dzar adalah, “bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
Rasulullah dapat memaklumi akan watak dari murid barunya yang “bengal” ini, Rasulullah takjub terhadap keberaniannya dalam melawan kebathilan. Hanya, bagi Rasulullah cara berdakwah secara terang-terangan untuk saat ini belum waktunya. Maka diulanginyalah perintah agar Abu Dzar kembali ke kaumnya. Abu Dzar diperkenankan untuk kembali apabila dia sudah mendengar kabar bahwa Islam sudah dalam tahap bisa diperjuangkan secara terang-terangan.
Pulanglah Abu Dzar ke kampung halamannya di mana Bani Ghifar beserta sanak keluarganya berada. Abu Dzar menceritakan kisah pertemuannya dengan Sang Nabi yang baru diutus oleh Allah, yang menyeru untuk mengabdi hanya kepada Allah yang Maha Esa dan membimbing orang-orang agar berakhlak mulia. Cahaya Islam mulai berpendar di sana, seorang demi seorang kaumnya mulai masuk Islam. Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tapi dilanjutkan sampai ke suku lain, yaitu suku Aslam. Pun di sana cahaya Islam pada akhirnya bersinar terang.
Kisah lain mengatakan, karena tempat tinggal Bani Ghifar adalah jalur perdagangan bagi orang-orang Quraisy, maka ketika pemukiman Bani Ghifar telah hidup dengan cahaya Islam, mereka pun berdakwah terhadap siapa saja yang melintasi daerah tersebut. Riwayat mengatakan bahwa ketika ada rombongan orang Quraisy melintas daerah tersebut, Abu Dzar mengajak mereka untuk masuk Islam, dan banyak diantara mereka yang masuk Islam karena pengaruh Abu Dzar.[1]
Hari demi hari berlalu mengikuti peredaran masa, Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama kaum Muslimin.[2] Hingga pada suatu hari, di dekat Madinah hadir serombongan kafilah dalam satu barisan panjang, mereka terdiri baik dari para pengendara maupun pejalan kaki. Mereka tiba di pinggiran kota Madinah dengan kepulan debu yang mengikuti di belakang mereka. Kalau bukan karena suara gemuruh mereka yang mengumandangkan Takbir, tentulah mereka akan disangka sebagai orang Musyrik yang akan menyerang kota Madinah.
Rombongan besar itu semakin mendekat dan lalu masuk ke dalam kota Madinah. Mereka meneruskan langkahnya menuju Masjid Nabawi, yang mana Rasulullah pun tinggal di sekitar situ. Rombongan itu tiada lain adalah kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan oleh Abu Dzar, dan tanpa terkecuali mereka semua telah masuk Islam: laki-laki, perempuan, orang tua, remaja, dan anak-anak.
Bani Gafar dan Bani Aslam sudah menunggu cukup lama untuk bertemu dengan Rasulullah. Walaupun pernah mendapat penggambaran mengenai sosok Rasulullah dari Abu Dzar, bagi mereka itu belum cukup. Mereka ingin melihat langsung, dan pertemuan ini adalah sesuatu yang sangat mendebarkan, mereka tidak sabar![3]
Abu Dzar berkata kepada kaumnya, “kalian akan segera melihatnya, dialah yang terbaik dan melebihi semua orang dalam keunggulan.” Abu Dzar terus melihat ke arah jalanan, menunggu dengan gelisah. Setelah cukup lama, Abu Dzar melihat sosok seseorang di kejauhan sedang menaiki unta. Sontak dia berteriak, “demi Allah, Nabi telah datang!” Kaumnya dengan serta merta mengikuti teriakan Abu Dzar dalam kekompakan berteriak, “Nabi Allah telah datang, Nabi Allah telah datang!”[4]
Abu Dzar dengan tergesa-gesa mengambil tali kekang unta yang dinaiki Rasulullah. Orang-orang kemudian sambil mengerubungi Rasulullah dengan gegap gempita meneriakkan, “Allahuakbar, Allahuakbar, Nabi Allah telah datang, Nabi Allah telah datang!” Kemudian Rasulullah turun dari untanya, dan memandangi wajah mereka yang berseri-seri.[5]
Rasulullah merasa takjub dan kagum melihat pemandangan tersebut. Rasanya belum terlalu lama ketika Rasulullah bertemu seorang perantau dari Ghifar yang menyatakan keislamannya. Dan kini dia kembali bersama seluruh kaumnya yang telah masuk Islam. Rasulullah bersabda, “sungguh, Allah memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
Bani Ghifar sudah masuk Islam sejak beberapa tahun yang lalu, mereka diajak oleh Abu Dzar untuk memeluk agama Islam, dan melalui Abu Dzar mereka mendapatkan hidayah-Nya, dan tidak hanya itu, bersama mereka ikut pula Bani Aslam. Dua suku yang dikenal sebagai komplotan perampok terbesar pada waktu itu kini telah beralih rupa menjadi kelompok besar pendukung kebajikan dan kebenaran.
Mereka kemudian secara berkelompok menyatakan sumpah setianya kepada Nabi. Abu Dzar berdiri disamping Rasul dengan bangga bercampur rasa bahagia. Salah seorang dari suku Ghifar kemudian berkata, “ya Nabi Allah! Abu Dzar mengajarkan kita semua yang kau ajarkan kepada dia. Kami menjadi Islam, dan kami bersaksi engkaulah Nabi Allah.”[6]
Setelahnya salah seorang dari suku Aslam berkata, “kami juga memeluk Islam dengan cara yang sama seperti saudara kami (Abu Dzar) telah lakukan.” Mendengar itu Rasulullah menjadi sangat bergembira, dan beliau mengangkat tangannya seraya berdoa, “Ya Tuhan pemilik dunia! Ampunilah suku Ghifar dan jaga suku Aslam dalam keselamatan.”[7]
Lalu sambil menoleh kepada suku Ghifar, beliau berkata, “suku Ghifar telah di-ghafar (diampuni) oleh Allah.” Kemudian sambil menghadap suku Aslam, beliau berkata, “suku Aslam telah disalam (diterima dengan damai) oleh Allah.”
Orang-orang sangat berbahagia dan memandangi wajah Rasulullah terus menerus. Mereka menggambarkan Rasulullah sebagai sosok yang wajahnya bercahaya, bibirnya tersenyum, dan sangat hangat. Dia tidak langsing dan kurus, tetapi juga tidak gemuk. Secara keseluruhan sosoknya adalah sosok yang indah.[8]
Dan mengenai Abu Dzar, pejuang tangguh murid Rasulullah di awal-awal dakwah Islam ini. Rasulullah mengucapkan sebuah kalimat penghargaan yang begitu tinggi, sebuah kalimat yang akan terus diingat oleh generasi-generasi selanjutnya, Rasulullah berkata, “tak akan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar!” (PH)
Bersambung ke:
Kisah Abu Dzar al-Ghifari (3): Ketika Lisan lebih Tajam daripada Pedang
Sebelumnya:
Kisah Abu Dzar al-Ghifari (1): Perantau itu bernama Jundub bin Janadah
Catatan:
Artikel ini diceritakan ulang dari buku: Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), bab 3, Abu Dzar al-Ghifari. Adapun data lain yang bukan berasal dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.
Catatan Kaki:
[1] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 20.
[2] Kisah lengkap bagaimana Nabi bersama kaum Muslimin akhirnya memutuskan untuk berhijrah bisa dilihat di: https://ganaislamika.com/sirah-rasul-terobosan-besar-hijrah-1/
[3] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), Ibid., hlm 21-22.
[4] Loc. Cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.