Kisah Abu Dzar al-Ghifari (1): Perantau itu bernama Jundub bin Janadah

in Tokoh

Last updated on November 3rd, 2017 06:09 am

Dia datang ke Mekah dari suatu tempat yang jauh. Letih, sakit, dan lelah karena telah melewati padang pasir dengan sinar matahari yang menyengat dan udara yang panas. Namun matanya memancarkan sorot yang bahagia karena dia akan menemui seseorang yang dicarinya.

Dia datang ke Mekah dengan menyamar, seolah-olah dia adalah salah seorang peziarah yang hendak menyembah patung berhala, atau bisa juga seorang musafir yang tengah dalam perjalanan jauh dan hendak beristirahat dan mengisi perbekalan. Andai saja orang Mekah mengetahui tujuan yang sebenarnya, yakni mencari seseorang yang sangat dinantinya, niscaya dia akan dibunuh.

Dia terus mencari, setiap kali mendengar orang-orang membicarakan lelaki yang dicarinya itu dia mendekat dan menyimak. Segala petunjuk yang terserak dia kumpulkan dengan hati-hati. Sehingga setelah mendapatkan informasi yang cukup akhirnya pada suatu pagi dia mendapatkan lelaki yang dimaksud. Lelaki itu sedang duduk seorang diri.

“Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!” Ujarnya.

“Alaikum salam, wahai sahabat,” jawab lelaki tersebut.

“Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Engkau!”

“Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi adalah Quran yang mulia.”

“Bacakanlah kalau begitu!”

Maka dibacakanlah oleh lelaki itu, dan dia mendengarkan dengan perhatian, hingga tidak berapa lama dia pun berseru, “asyahadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.

Lelaki yang dia cari adalah seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah, dan sekarang Muhammad sudah berada di hadapannya membacakan Al-Quran, maka tidak ragu setelahnya dia langsung mengucap syahadat. Kemudian Muhammad sang Rasul Allah bertanya kepada musafir yang bernama Jundub bin Janadah tersebut, “Engkau dari mana, saudara sebangsa?” Jundub menjawab, “dari Ghifar.” Maka tersenyumlah Rasulullah, sementara wajahnya diliputi oleh rasa kagum dan takjub. Jundub tersenyum juga, dia paham dari mana timbulnya rasa takjub tersebut, karena orang yang sudah mengaku Islam di hadapan Rasul tersebut ternyata berasal dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tidak menjadi soal bagi mereka, dan celakalah bagi orang yang tersesat atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Pada waktu itu agama Islam baru saja lahir dan dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Ketika ada seseorang dari jauh, dan dia berasal dari kaum Ghifar pula, yang datang dengan sengaja untuk masuk Islam, maka sebagaimana dikisahkan oleh Jundub bin Janadah, “maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus takjub memikirkan tabiat orang-orang Ghifar, lalu sabdanya, ‘Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya….!’”

Menurut riwayat, sebelum bertemu Rasulullah pun Jundub adalah seorang yang menentang penyembahan terhadap berhala, dia mempunyai keyakinan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Pencipta. Demikianlah, ketika dia mendengar sebuah berita tentang seorang Nabi yang menentang berhala dan menyeru untuk menyembah kepada Allah yang Maha Esa lagi Perkasa, maka tak ragu dia pun segera menyiapkan bekal dan mengayunkan langkahnya. Di kemudian hari Jundub bin Janadah dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari. Dzar sebenarnya adalah nama dari putra Jundub yang tertua, sementara al-Ghifari merujuk pada suku Ghifar.[1]

Abu Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi dia telah memeluk Agama Islam pada hari-hari pertama, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan. Ketika itu Rasulullah menyampaikan dakwah secara berbisik-bisik. Dibisikkannya ajaran Islam ke enam orang tersebut termasuk Abu Dzar salah satunya. Dengan kondisi tersebut, tak ada yang dapat dilakukan oleh Abu Dzar selain memendam keimanannya di dalam dada.

Namun sebenarnya, Abu Dzar adalah seseorang yang berwatak radikal dan revolusioner, sehingga sudah menjadi tabiatnya menentang kebathilan di mana pun dia berada. Saat ini kebathilan ada di depan matanya, dia menyaksikan orang-orang membentuk batu menjadi figur tertentu yang kemudian disembah oleh penciptanya sendiri, seraya berkata, “inilah kami, kami datang mengikuti titahmu!” Bagi Abu Dzar ini sama saja dengan merendahkan akal mereka sendiri.

Suatu saat Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, apa yang harus saya kerjakan menurut Engkau?” “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” Ujar Rasul. “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, aku tak akan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!” Kata Abu Dzar.

Abu Dzar pergi menuju Masjidil Haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya, “asyahadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.” Dalam riwayat, diketahui teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka.

Sebagai akibatnya, dia mendapat mendapat perlakuan yang sudah dapat diduga sebelumya. Orang-orang musyrik mengepung dan memukulinya hingga rubuh. Seorang perantau asing, yang di Mekah dia tidak memiliki kawan, jauh dari kaumnya, juga tidak memiliki sanak keluarga maupun pembela, namun dia berani dengan lantang meneriakan tentang agama Islam tanpa keraguan, itulah Abu Dzar al-Ghifari. (PH)

Bersambung ke:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (2): Gerombolan Perampok itu Telah Menjadi Pembela Kebajikan

Catatan:

Artikel ini diceritakan ulang dari buku: Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), bab 3, Abu Dzar al-Ghifari. Adapun data lain yang bukan berasal dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 5.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*