Kisah Abu Dzar al-Ghifari (7): Perintah Pergi ke Rabzah

in Tokoh

Last updated on August 29th, 2018 10:02 am

“Abu Dzar bertanya, ‘katakan kepadaku ke mana aku harus pergi. Apakah aku harus pergi ke hutan?’ Kemudian Ustman menjawab, ‘aku memberimu perintah untuk pergi ke Rabzah.’”

–O–

Tibalah Abu Dzar di Madinah atas panggilan Ustman bin Affan. Sebelumnya Ustman telah mendapatkan informasi bahwa Abu Dzar mendapat dukungan dari masyarakat banyak. Ustman berpendapat bahwa apa yang dilakukan Abu Dzar berbahaya dan dapat menimbulkan gejolak politik yang tidak menentu. Terhadap hal tersebut, Ustman memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikannya.

Di depan sahabat-sahabatnya Ustman berkata kepada Abu Dzar, “tinggallah di sini di sampingku, disediakan bagimu unta yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore.”

“Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!” Jawab Abu Dzar. [1]

Selanjutnya Abu Dzar bertanya kepada Ustman:

“Katakan kepadaku ke mana aku harus pergi. Apakah aku harus pergi ke hutan?”

“Tidak,” jawab Ustman. “Baiklah, aku memberimu perintah untuk pergi ke Rabzah.”

“Allah maha besar! Nabi suci telah mengatakan dengan benar bahwa semua ini akan terjadi,” jawab Abu Dzar.

“Apa yang Nabi katakan?” Tanya Ustman.

“Beliau mengatakan bahwa aku akan disuruh pergi dari Madinah….Tinggal di tempat sunyi di Rabzah, di mana aku akan mati dan akan dikubur oleh sekelompok orang Irak yang menuju Hijaz.”[2]

Setelah percakapan tersebut, sebagaimana dikisahkan oleh  A’tham Kufi, Ustman berkata, “bangkit dan pergilah ke Rabzah. Tinggallah di sana dan jangan pergi ke mana pun.” Kemudian Ustman memerintahkan Marwan untuk memberikan unta kepada Abu Dzar yang akan digunakan sebagai alat transpotasi menuju Rabzah.[3]

Sebelum Abu Dzar berangkat tiba-tiba Ali bin Abu Thalib, Hasan, Husain, Aqil, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Abbas dan Miqdad bin al-Aswad datang, “berhenti! Jangan dulu dudukan dia di unta. Kami harus mengucapkan selamat tinggal padanya.” Mereka semua menyadari bahwa ini adalah pertemuan terakhir, sebab Ustman memberi larangan bagi siapapun untuk menemui Abu Dzar di kemudian hari.

Ali berkata, “wahai Abu Dzar! Jangan khawatir. Orang-orang takut padamu karena keserakahan mereka akan dunia ini, dan engkau tidak takut kepada mereka karena imanmu, sampai saatnya tiba ketika mereka mengasingkanmu. Abu Dzar! Setiap jenis masalah datang kepada dia yang saleh, tapi ingatlah bahwa Allah merancang sarana pembebasan yang luar biasa bagi orang yang saleh. Tidak ada yang bisa memberimu penghiburan kecuali ‘kebenaran’. ‘Kebenaran’ akan menjadi temanmu dalam kesepian. Saya tahu bahwa engkau bisa menjadi begitu terganggu hanya dengan ketidakbenaran dan (sekarang) itu tidak bisa mendekatimu.”

Kemudian Ali menyuruh anak-anaknya mengucapkan selamat tinggal kepada Abu Dzar.

Setelah mendengar perintah ayahnya, Hasan berkata, “wahai Pamanku yang tersayang, Abu Dzarr, semoga Allah mengasihimu. Kami melihat apa yang sedang dilakukan kepadamu. Hati kami terbakar. Jangan khawatir, Allah adalah tuntunanmu dan hanya Dia yang engkau harus miliki sebelum engkau. Wahai paman! Bersabarlah terhadap bencana ini sampai tiba saatnya engkau bertemu dengan kakekku, dia sangat berbahagia untukmu.”

Kemudian Husain berkata, “wahai Pamanku, engkau tidak perlu khawatir karena Allah memiliki kuasa atas segala hal. Dia dapat menghapus setiap masalah di mana pun engkau berada. Kemuliaan-Nya luar biasa. Wahai Paman, orang-orang telah membuat hidupmu menderita. Tentu saja engkau tidak peduli. Biarkan dunia berpisah darimu, cepat atau lambat. Aku berdoa kepada Allah untuk memberimu dukungan dan kesabaran. Wahai Paman, tidak ada yang lebih baik dari pada kesabaran. Percayalah kepada Allah. Dia lah yang menyelesaikan segala urusanmu.”

Mendengar itu semua, tubuh Abu Dzar yang sudah lemah dan tua berguncang, dan pecahlah tangisnya, seraya berkata, “wahai keluarga Nabi suci, ketika aku melihat kalian aku teringat nabi suci dan berkahnya di sekelilingku. Wahai orang-orang yang kuhormati, kalian adalah satu-satunya penghiburan bagiku di Madinah. Setiap kali aku melihat kalian, aku mendapatkan kepuasan di hati dan kedamaian dalam pikiran. Wahai junjunganku, sebagaimana aku menjadi beban bagi Ustman di Hijaz, aku juga beban bagi Muawiyah di Suriah. Dia tidak menginginkanku pergi ke Basrah atau Mesir, karena dia memiliki saudara angkatnya, Abdullah bin Sarah sebagai Gubernur Mesir, dan anak dari bibinya, Abdullah bin Amir sebagai Gubernur Basrah. Dia sekarang telah menyuruhku pergi ke sebuah tempat, sebuah padang pasir, di mana aku tidak mempunyai pendukung selain Allah. Demi Allah, aku tahu bahwa hanya Allah sendiri lah yang menjadi penolongku dan hanya untuk Dia saja saya tidak akan peduli terhadap (kesulitan) kehidupan di alam liar.”[4]

Setelah perpisahan tersebut, lalu berangkatlah Abu Dzar menuju Rabzah, sebuah padang pasir yang sunyi lagi sepi. Sejarawan berpendapat bahwa jarak Madinah ke Rabzah adalah sekitar 5 km, dia terletak dekat dengan Zate Araq, sebuah tempat yang akan terlewati apabila menuju Hijaz. Jangan bandingkan dengan masa sekarang, pada waktu itu Rabzah adalah sebuah tempat yang tidak berpenghuni dan sangat terpencil, yang ada di sana hanyalah kehidupan alam liar.[5] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (8): Kehidupan di Rabzah

Sebelumnya:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (6): Bertemu Muawiyah

Catatan Kaki:

[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), hlm 91.

[2] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 106.

[3] Dam’ah Sakibah vol. 1, hlm, 194, dalam The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), loc. Cit

[4] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), Ibid., hlm 107-108.

[5] Ibid., hlm 115.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*