Kisah Abu Dzar al-Ghifari (8): Kehidupan di Rabzah

in Tokoh

Last updated on December 4th, 2017 12:30 pm

“Abu Dzar melewatkan hari-harinya di Rabzah dengan kesepian dan kesendirian. Tidak ada seorang pun yang mendatangi untuk mencari tahu kondisinya. Dia tidak memiliki sarana hiburan apapun. Seandainya keluarganya bersamanya dia tidak akan merasakan kesepian yang begitu menyakitkan. Keluarganya masih di Suriah dari sejak Abu Dzar dipanggil ke Madinah dan kemudian diperintahkan untuk tinggal di Rabzah.”[1]

–O–

Abdul Hamid Jaudatus Sihar menuliskan, ketika Muawiyah mengetahui bahwa Utsman telah memerintahkan Abu Dzar tinggal di Rabzah, diapun mengirim istri dan anak-anak Abu Dzar ke Rabzah. Ketika istri Abu Dzar keluar dari rumahnya, dia hanya membawa sebuah tas. Muawiyah berkata kepada orang-orang, “lihatlah barang-barang milik pengkhotbah tentang penghematan”. Istri Abu Dzar menanggapinya dengan berkata,  “ini hanya berisi beberapa koin, bukan dirham atau dinar dan sejenisnya, hanya untuk pengeluaran secukupnya.” Ketika istrinya tiba di Rabzah, dia melihat Abu Dzar telah membangun sebuah masjid di sana.[2]

Beberapa sejarawan telah mengisahkan mengenai pembangunan masjid oleh Abu Dzar di Rabzah, misalnya dalam kitab-kitab karya Tabari, Ibnu Athir dan Ibnu Khaldun. Dalam salinan bahasa Arab kitab karya Tabari terdapat kalimat yang mengatakan, “Abu Dzar telah membangun sebuah masjid”, yaitu sebuah “tempat” di mana Abu Dzar shalat dan berdoa. Namun jangan membayangkan masjid tersebut seperti masjid di masa kini, itu lebih menyerupai konstruksi seadanya. Lagi pula, mustahil pada waktu itu Abu Dzar dapat membangun sebuah bangunan yang sifatnya permanen.[3]

Rabzah adalah sebuah daerah yang terisolir, tidak ada populasi di sana, Rabzah hanya merupakan gurun pasir yang sepi. Abdul Hamid mengatakan, dalam sejarah perjalanan haji di masa itu, tidak pernah ada catatan mengenai orang-orang yang bersinggah di Rabzah, hal itu memperkuat bukti bahwa Rabzah memang tempat yang terisolir dan tidak berpenghuni.[4]

Allamah Subaiti menulis bahwa Abu Dzar selama di Rabzah seseharinya berada dalam suatu kondisi yang sangat kesepian, tidak ada manusia lain di tempat tersebut, kecuali beberapa musafir saja yang terkadang melintas. Di sana tidak ada tempat berlindung, yang ada hanya sebuah pohon di mana Abu Dzar tinggal di bawahnya. Di sana juga tidak ada makanan, yang ada di sekitar hanyalah rumput beracun yang di kemudian hari menjadi penyebab meninggal diri dan istrinya.[5]

Singkatnya, Abu Dzar hidup di Rabzah bersama keluarganya dalam keadaan yang sangat sulit. Tidak ada seorang pun yang membantunya di sana. Tapi orang-orang jujur yang mencintai dan menghormatinya dari dalam hati, meskipun ada larangan, tetap memberanikan diri untuk menemuinya. Menurut sejarawan, Waqidi, Abul Aswal Duayli memberikan kesaksian bahwa dia menemui Abu Dzar di Rabzah.[6]

Abul mengatakan, “aku berharap dengan sepenuh hati untuk mengunjungi Abu Dzar dan bertanya kepadanya mengapa dia menyendiri. Oleh karena itu, aku mendatanginya di Rabzah dan bertanya apakah dia pergi dari Madinah atas kehendaknya sendiri atau dia telah diusir secara paksa. Dia berkata, ‘saudaraku! Bagaimana cara mengatakannya kepadamu? Bahwa waktu aku ke Suriah, aku menyangka bahwa aku telah berangkat ke suatu tempat yang penting bagi umat Islam. Aku merasa bahagia di sana, tapi aku tidak diizinkan tinggal di sana dan dipanggil kembali ke Madinah. Ketika aku sampai di sana (Madinah), aku meyakinkan diriku dengan ide bahwa itu adalah tempat di mana aku ditempatkan dan mendapat kehormatan untuk bersama dengan Nabi suci. Tapi, sayangnya, aku disuruh pergi dari tempat itu, dan di sinilah aku sekarang sebagaimana engkau lihat.’”[7]

Pada kesempatan lain, seseorang yang berasal dari Kufah mendatanginya juga, dan memintanya untuk memimpin pemberontakan terhadap Khalifah Ustman bin Affan, maka ditolaknya lah permintaan tersebut.

“Demi Allah, seandainya Ustman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, tentulah aku dengar titahnya dan aku taati, aku bersabar dan sadarkan diri, dan aku merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku.”

Dan seandainya dia menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, tentulah akan aku dengar dan taati, aku bersabar dan sadarkan diri, dan aku merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku.”

“Begitupun jika dia menyuruhku pulang ke rumahku, tentulah akan aku dengar dan taati, aku bersabar dan sadarkan diri, dan aku merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku.”[8]

Perhatikanlah kata-kata Abu Dzar, dia mengucapkan “aku bersabar dan sadarkan diri, dan aku merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku” sampai tiga kali. Abu Dzar sampai akhir hayatnya tetap memegang teguh wasiat yang diberikan Rasul kepadanya:

“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?” Tanya Rasulullah. “Demi yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, akan aku tebas mereka dengan pedangku!” Jawab Abu Dzar. Kemudian Rasulullah bersabda, “maukah engkau aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Ialah bersabar sampai kamu menemuiku.”[9] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (9): Dialog dengan Malaikat Maut

Sebelumnya:

Kisah Abu Dzar al-Ghifari (7): Perintah Pergi ke Rabzah

Catatan Kaki:

[1] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 109.

[2] Ibid., hlm 109-110.

[3] Ibid., hlm 110.

[4] Ibid.

[5] Abu Dharr al-Ghifari, hlm, 165, printed Najaf, 1364 A.H, dalam The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), hlm 110.

[6] The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), hlm 110.

[7] Ibid., hlm 110-111.

[8] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), hlm 91-92.

[9] Lebih lengkap mengenai kiprah Abu Dzar dalam memerangi golongan orang kaya lihat “Kisah Abu Dzar al-Ghifari (3): Ketika Lisan lebih Tajam daripada Pedang”, dari laman https://ganaislamika.com/kisah-abu-dzar-al-ghifari-3-ketika-lisan-lebih-tajam-daripada-pedang/, diakses 3 Desember 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*