Di era pemerintahan Al-Mahdi, Dinasti Abbasiyah masih berusaha mengukuhkan legitimasinya di tengah-tengah kaum Muslimin. Dia berhasil merangkul sebagian kekuatan oposisi yaitu para pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, dia mendepak Isa bin Musa dari posisi sebagai putra mahkota dan menggantinya dengan putranya.
Secara umum bisa dikatakan, bahwa Al-Mahdi hanya melanjutkan capaian-capaian yang sudah dilakukan oleh ayahnya, Al-Manshur. Hanya memang menurut catatan beberapa sejarawan, Al-Mahdi tergolong lebih bijak dari pendahulunya dalam mengelola pemerintahan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tabari, bahwa hal pertama yang dilakukan oleh Al-Mahdi di tahun pertamanya memerintah adalah membebaskan semua tahanan dan tawanan yang dipenjara Al-Mashur. Amnesti umum ini tidak menyangkut orang-orang yang terbukti menumpahkan darah, koruptor dan orang-orang yang masih memiliki sangkutan/sengketa dengan orang lain.[1]
Beberapa yang dibebaskan dalam amnesti umum ini adalah kelompok yang dulunya mendukung pemberontakan Muhammad dan Ibrahim. Sebagaimana sudah diulas pada edisi terdahulu, mereka berdua adalah anak keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Pemberontaka keduanya, sempat sangat merepotkan kekhalifahan Al-Manshur. Sehingga hampir semua anak keturunan Ali bin Abi Thalib di bunuh atau ditahan. Dan para pendukung mereka di siksa sedemikian rupa, termasuk diantaranya para ulama yang mendukung gerakan mereka seperti Imam Maliki dan Imam Abu Hanafiah. Sejak itu, kekuatan pendukung keluaraga Ali bin Abi Thalib menyusut drastis. Sehingga Dinasti Abbasiyah bisa dengan leluasa berkembang dan mengukuhkan legitimasinya.
Ketika masa Al-Mahdi, sejumlah orang yang turut dalam pemberontakan itu di bebaskan. Diantara mereka ada Ya’qub bin Dawud dan putra dari Ibrahim, yaitu Hasan bin Ibrahim bin Abdallah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, setelah di bebaskan, kedua orang ini (Ya’qub dan Hasan) menjalin hubungan yang dekat dengan Al-Mahdi. Lama kelamaan, keduanya mendapat kepercayaan dan mendapat jabatan di dalam pemerintahan. Awalnya, proses kedekatan mereka berlangsung sangat alamiah. Namun seiring berjalannya waktu, persahabatan ini ternyata memiliki dampak politik yang sangat signifikan. Dimana para pendukung keluaraga Ali bin Abi Thalib yang tadinya menjadi oposisi Dinasti Abbasiyah, secara perlahan sebagian besarnya bergabung dan mengendorkan determinasinya.[2]
Dengan kata lain, pada masa pemerintahan Al-Mahdi, legitimasi Dinasti Abbasiyah menjadi lebih kokoh tanpa satu proses berdarah seperti di alami pada masa Al-Manshur. Dan seperti biasa ketika legitimasi kekuasaan sudah sangat absolut, lahirlah keinginan untuk melestarikannya selama mungkin. Inilah yang dilakukan Al-Mahdi kemudian. Di sekitar tahun 159 hingga 160 hijriah, Al-Mahdi membuat keputusan kontroversial dengan, lagi-lagi, menyingkirkan Isa bin Musa dari kedudukan sebagai putra mahkota.
Sebagaiamana sudah dikisahkan pada edisi sebelumnya, bahwa Isa bin Musa sudah berkali-kali digulingkan dari posisi putra mahkota lalu kemudian dinaikkan kembali ke posisi tersebut. Sebelumnya, berdasarkan amanat As-Saffah, bahwa dia adalah sosok yang akan menggantikan Al-Manshur. Kemudian, di era Al-Manshur posisinya digeser dan diganti dengan Al-Mahdi. Lalu ketika Al-Manshur wafat dan Isa bin Musa ingin merebut posisi khalifah, keinginannya ini kembali bisa diredam dengan dijanjikan kedudukan sebagai putra mahkota; bahwa setelah Al-Mahdi, kekhalifahan Bani Abbas akan beralih ke tangannya. Tapi kini, dia lagi-lagi harus menelan kina. Berita tentang pendelegitimasian posisinya sebagai putra mahkota menyeruak, ketika Al-Mahdi baru berkuasa selama sekitar dua tahun.
Awalnya berita ini hanya berupa desas desus. Tapi kemudian datanglah surat dari khalifah yang memintanya untuk datang ke Baghdad menghadap khalifah. Mengetahui maksud dari pertemuan tersebut, Isa bin Musa hanya diam, dan tidak menggubris perintah khalifah. Lalu tiba lagi surat panggilan berikutnya, tapi Isa bin Musa tetap merespon dingin. Hingga kemudian diutuslah salah satu tokoh terkemukan Bani Abbas yang juga paman Al-Mahdi, Abbas bin Muhammad, kepada Isa bin Musa. Dia mendatangi Isa sambil membawa surat dari khalifah yang isinya membujuk agar Isa bersedia datang ke Baghdad. Tapi lagi-lagi Isa bersikeras menolak. Tapi kali ini dia bersedia menulis surat balasan kepada khalifah yang isinya dia tidak bersedia datang karena satu dan lain alasan.[3]
Mendapat surat tanggapan dari Isa bin Musa, Al-Mahdi tampaknya geram. Dia lalu memerintahkan pada komandan pasukan bernama Muhammad bin Farrukh Abu Hurayrah, untuk membawa paksa Isa bin Musa. Tidak main-main, Muhammad bin Farrukh membawa serta bersamanya ribuan pasukan bersenjata lengkap, layaknya sebuah ekspedisi perang. Sesampainya di pemukiman Isa bin Musa, mereka membunyikan genderang, sebagai tanda ancaman bahwa mereka akan menyerang. Mendengar suara gaduh ini, Isa bin Musa ketakutan, dan para pengawalnya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Muhammad bin Farrukh segera masuk ke rumah Isa bin Musa dan memerintahkannya berkemas untuk menghadap khalifah. Namun dia masih beralasan, bahwa saat itu dia sedang sakit. Tapi alasan ini tidak diterima oleh Muhammad bin Farrukh. Dia lalu membawa paksa Isa bin Musa ke Baghdad.[4] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXIX, Al-Mansur and al-Mahdi, translated and annotated by Hugh Kennedy, State University of New York Press, 1995. Hal. 172
[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 325-327
[3] Ibid, hal. 330
[4] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXIX, Al-Mansur and al-Mahdi, translated and annotated by Hugh Kennedy, State University of New York Press, 1995. Hal. 179