Dinasti Abbasiyah (22): Al-Mahdi (1)

in Sejarah

Last updated on March 29th, 2019 10:27 am

Bila Al-Manshur berhasil mengukuhkan legitimasi kekuasaan Bani Abbas, maka Al-Mahdi berhasil menegakkan marwah kekhalifahannya sedemikian rupa. Sedemikian sehingga titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi.

Gambar ilustrasi. Sumber:
http://nafsiahnst.blogspot.com


Namanya adalah Muhammad bin Abdullah (Al-Manshur) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia biasa dipanggil Abu Abdullah dan bergelar Al-Mahdi. Dia dilahirkan di Idzaj pada tahun 126 H, dari ibu yang bernama Ummu Musa binti Manshur al-Himyariyah. Dia dikenal sebagai sosok yang pemurah, berperawakan bagus dan memiliki akhlak yang baik. [1]

Menurut Imam As-Suyuthi, Al-Mahdi belajar akhlak mulia Islam, banyak berinteraksi dan berguru dengan para ulama, serta memiliki karakter yang sangat baik. Tatkala menginjak dewasa, Al-Manshur mengangkatnya sebagai gubernur untuk memerintah wilayah Tabaristan dan sekitar. Dia dinobatkan sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah pada bulan Dzulhijjah 158 H, sesaat setelah menerima kabar bahwa ayahnya wafat dalam perjalanan ke tanah suci.[2]

Sebagaimana sudah dikisahkan pada beberapa edisi sebelumnya, bahwa berdasarkan wasiat As-Saffah, yang seharusnya menjadi khalifah setelah Al-Manshur, adalah paman mereka, yang bernama Isa bin Musa. Maka ketika masa awal pemerintahan Al-Manshur, Isa bin Musa berposisi sebagai putra mahkota. Dia adalah pengikut Al-Manshur yang sangat setia. Jasanya demikian besar pada Dinasti Abbasiyah. Bahkan dialah yang memimpin pasukan untuk menangkap dan membunuh anak keturunan Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pemberontakan dua anak Abdullah bin Hasan, bernama Muhammad dan Ibrahim.[3]

Tapi setelah pondasi kekuasaan Al-Manshur kokoh, dan semua ancaman sudah bisa dihilangkan, Al-Manshur malah mendepaknya dari posisi sebagai putra mahkota, dan menggantikannya dengan putranya sendiri, Al-Mahdi. Menariknya, sebagaimana dikisahkan oleh Tabari, ketika datang keputusan ini, Isa bin Musa bisa diyakinkan bahwa setelah Al-Mahdi, dialah yang akan menggantikan selanjutnya. Maka proses pergantian kedudukan putra mahkota itu pun berlangsung sangat tenang. Nyaris tanpa gejolak yang berarti.[4]

Akan tetapi, tepat ketika Al-Manshur wafat dalam perjalanan ke Mekkah ketegangan mulai muncul. Isa bin Musa yang saat itu menyertai Al-Manshur, tiba-tiba bangkit bersama pengikutnya dan menginginkan tampuk kekhalifahan. Untungnya ketika itu, para tokoh dan petinggi Bani Abbas langsung menghadap Musa bin Muhammad (putra Al-Mahdi) yang juga ikut dalam perjalanan haji. Melalui Musa inilah mereka semua membaiat Al-Mahdi.[5]

Adapun dengan Isa bin Musa, yang ketika itu masih belum mau menyatakan kesetiaannya, dia dikepung oleh prajurit Abbasiyah dan ditodong sejata. Kemudian Ali bin Isa bin Mahan, yang merupakan pejabat tertinggi di rombongan itu, mendatangi Isa bin Musa. Dia menghunuskan pedangnya, lalu berkata, “Demi Allah, bersumpah setialah, atau aku akan memenggal kepalamu!!” Tersudut. Isa bin Musa akhirnya,  lagi-lagi, harus menindas perasaan kecewanya, dan bersumpah setia pada Al-Mahdi.[6]

Al-Mahdi menerima kabar duka tentang ayahnya ketika sedang berada di Baghdad, yang saat itu sudah menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah. Segera setelah itu dia naik ke podium dan menyampaikan pidato di depan khalayak. Antara lain isi pidatonya dia berkata: ”Sesungguhnya, Amirul Mukminin (Al-Manshur) adalah seorang hamba yang diminta lalu memenuhi permintaan itu dan seorang yang diperintah lalu menaati perintah itu.”[7]

Sambil mengucapkan kalimat tersebut, kedua matanya berkaca-kaca. Kemudian dia melanjutkan, “Saudara-saudara, taatlah kalian kepada kami saat sendiri dan saat bersama-sama. Niscaya kalian akan selamat dan mendapat balasan yang baik. Rendahkanlah ‘sayap’ ketaatan kalian untuk orang yang menegakkan keadilan, mengangkat beban dari kalian, serta menyebarkan kedamaian di antara kalian sebagaimana dikehendaki Allah. Demi Allah, aku akan menghabiskan umur antara menjatuhkan hukuman dan melakukan kebaikan kepada kalian.” Demikianlah pidato pelantikan yang disampaikan Al-Mahdi sebagaimana dikutip dari Imam As-Suyuthi.[8]  

Secara garis besar, pemerintahan Al-Mahdi lebih banyak melanjutkan sejumlah kebijakan yang sudah dirintis ayahnya. Hanya bedanya, bila Al-Manshur berhasil mengukuhkan legitimasi kekuasaan Bani Abbas, maka Al-Mahdi berhasil meneggakkan marwah kekhalifahannya sedemikian rupa.

Sebagaimana dikatakan oleh Nadirsyah Hosen, “Di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting diserahkan kepada wazirnya.[9] Posisi khalifah menjadi agung dan berjarak dengan rakyat serta kukuh secara spiritual.”[10] (AL)

Bersambung…

sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 294

[2] Ibid, hal. 295

[3] Ibid, hal. 283

[4] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXIX, Al-Mansur and al-Mahdi, translated and annotated by Hugh Kennedy, State University of New York Press, 1995. Hal. 17

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, hal. 295

[8] Ibid

[9] Wazir adalah jabatan tertinggi dalam pemerintahan sebelum khalifah. Posisinya layaknya seperi Perdana Menteri di zaman sekarang. Sebagai catatan, sebelum masa Al-Mahdi, dunia politik Islam belum mengenal jabatan wazir khalifah. Jabatan ini tidak ada baik pada masa Khulafah Rasyidin, maupun pada masa Dinasti Umayyah. Namun demikian, di dalam sejarah Dinasti Umayyah sebenarnya sudah ada orang-orang yang memiliki otoritas setara wazir. Seperti yang terjadi pada Raja bin Haywa yang menjadi orang kepercayaan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Dia memiliki kedudukan yang demikian besar, hingga berhasil mengawal transisi dari Sulaiman ke Umar bin Abdul Aziz dengan sukses. Meskipun ketika itu, keputusan ini sempat ditentang oleh sejumlah elit Bani Umayyah. Lihat, Mahayudin Hj Yahaya, The Social and Political Background of the `Abbasid Revolution: The Rise of the `Abbasid Caliphate, International Journal of Humanities And Cultural Studies ISSN 2356-5926, Volume 2, Issue 3 December 2015, hal. 835

[10] Lihat, Nadirsyah Hosen, Kontroversi Khalifah Al-Mahdi dan Abbasiyah, https://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/kontroversi-khalifah-al-mahdi-dan-abbasiyah, diakses 19 Maret 2019 d

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*