Dinasti Abbasiyah (23): Al-Mahdi (3)

in Sejarah

Last updated on April 2nd, 2019 05:50 am

Al-Mahdi memutuskan membeli kedudukan putra mahkota dari Isa bin Musa seharga 10.000.000 Dirham, ditambah sebuah pemukiman untuknya di wilayah Zab dan Kaskar. Al-Mahdi kemudian menunjuk putranya yang bernama Musa bin Al-Mahdi menduduki posisi tersebut. Di era ini muncul sekte yang dipimpin Hakim Al-Muqanna. Dia bersama 2000 pengikutnya tewas dengan cara membakar diri.


Gambar ilustrasi. Sumber: http://waspadamedan.com


Isa bin Musa tiba di Baghdad bersama Muhammad bin Farrukh Abu Hurayrah pada awal tahun 160 H. Di sinilah drama penggulingan putra mahkota ini di mulai. Mulanya, dia diterima baik oleh Al-Mahdi layaknya sahabat dan keluarga. Demikian juga dengan keluarga dan pejabat-pejabat Al-Mahdi mereka memperlakukan Isa bin Musa layaknya seorang putra mahkota. Selama beberapa hari, dia bisa keluar masuk melalui pintu khusus yang membuatnya leluasan bertemu dengan khalifah. Intinya, tidak ada satupun masalah yang sebelum ini dikhawatirkannya akan terjadi.[1]

Kemudian suatu hari, Isa bin Musa menghadiri sebuah acara yang di dalamnya ada sejumlah kompok atau partai pendukung kaum Abbasiyah. Tiba-tiba para ketua kelompok di tempat itu menyerang dan menghinanya dengan kebencian yang amat dalam. Al-Mahdi yang mengetahui hal ini, sebenarnya tidak menyetujui perbuatan mereka. Tapi dia diam saja, dan tidak menghalangi perbuatan mereka pada Isa bin Musa. Hal ini membuat kelompok-kelompok tersebut kian berani mengintensifkan serangannya pada Isa bin Musa. Kondisi ini dibiarkan terjadi selama beberapa hari. Hingga akhirnya, tokoh-tokoh senior Bani Abbas menyarankan agar mereka yang bertikai memabwa masalah ini ke hadapan khalifah. Maka digelarlah pertemuan.[2] 

Dalam pertemuan tersebut, para pimpinan kelompok terus menunjukkan permusuhannya pada Isa bin Musa dan menolak untuk mengakuinya sebagai putra mahkota. Melihat situasi ini, Al-Mahdi menilai bahwa mereka harus diberikan jalan keluar. Lalu dia mengusulkan, untuk mengganti Isa bin Musa dari posisi putra mahkota dan menawarkan putranya yang bernama Musa sebagai putra mahkota. Usulan khalifah ini ternyata langsung disetujui oleh majlis tersebut, kecuali Isa bin Musa yang baru menyadari tentang drama yang berlangsung ini. Tapi sekarang dia sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa.[3]

Al-Mahdi kemudian meminta pendapat Isa bin Musa mengenai kesepakatan ini. Isa lagi-lagi terpojok. Dia tidak bisa memilih. Dalam situasi ini, dia hanya bisa memberikan usulan sederhana, bahwa di belakangnya, ada sejumlah orang dan kelompok yang sudah mengangkat sumpah setia padanya. Dia meminta agar khalifah memberi solusi untuk mengatasi kekecewaan mereka.[4]

Al-Mahdi lalu mengirimkan sejumlah ulama dan ahli hukum untuk memutuskan masalah ini. Setelah memikirkan beberapa waktu, akhirnya mereka menyetujui keinginan Isa bin Musa. Al-Mahdi pun akhinya memutuskan untuk membeli sumpah dari Isa bin Musa seharga 10.000.000 Dirham, ditambah sebuah pemukiman untuknya di wilayah Zab dan Kaskar. Dan harga ini pun disetujui oleh Isa bin Musa.[5]

Maka demikianlah, proses penggulingan putra mahkota ini berlangsung demikian tertib dan alamiah. Beberapa hari kemudian, Al-Mahdi menggelar acara khusus untuk serah terima posisi putra mahkota ini. Dia ingin agar semua orang mendengar keputusan penting ini. Karena ini menyangkut legitimasi kepemimpinan setelah dirinya. Maka dipanggilah semua tokoh terkemuka di masanya, termasuk pejabat dan para jenderal Abbasiyah. Mereka semua dikumpulkan untuk mendengarkan pengunduran diri Isa bin Musa, lalu dilanjutkan dengan penobatan Musa bin Al-Mahdi sebagai putra mahkota. Mereka semua pun secara aklamasi bersumpah setia pada Musa bin Al-Mahdi.[6]

Menumpas Kaum Zindiq

Di era Al-Mahdi banyak bermunculan kelompok dengan paham baru yang meresahkan. Salah satunya yang paling terkenal adalah kelompok yang dipimpin tokoh bernama Hakim Al-Muqanna. Dia berasal dari Kota Merv, Khurasan. Konon, wajahnya rusak akibat penyakit, sehingga dia menutupinya dengan topeng yang terbuat dari emas.[7]

Sebelumnya, dia adalah pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Tidak jelas bagaimana proses memahamannya mengenai agama, tapi tiba-tiba pada tahun 159 H, dia mengklaim bahwa dirinya tuhan. Dia percaya bahwa ketika tuhan menciptakan Adam, tuhan masuk ke dalam tubuhnya, lalu masuk ke dalam tubuh Nabi Nuh, lalu ke Abu Muslim Al-Khurasani, dan kemudian masuk ke raganya. Kepercayaan ini kemudian diterima oleh sebagian masyarakat Khurasan, khususnya di Merv. Mereka pun menyembah (bersujud) Hakim Al-Muqanna layaknya dia tuhan.[8]

Dalam waktu sangat cepat, kepercayaan baru ini menyebar dan meraup banyak pengikut. Tidak hanya di Merv, ajaran ini juga diterima di Bukhara dan wilayah lain sekitarnya. Ketika sudah cukup kuat, mereka kemudian mulai memaksa dan membantai kaum Muslim yang tidak mengikuti ajaran mereka. Hal ini kemudian sampai ke telinga Al-Mahdi. Maka dikirimlah bala tentara Abbasiyah untuk menangkap Hakim Al-Muqanna. Tapi beberapa kali upaya itu gagal dilakukan, karena pendukung sekte ini ternyata sudah menyebar ke berbagai daerah. Maka untuk memadamkannya, dibagilah prajurit Abbasiyah ke dalam beberapa divisi.[9]

Setelah empat bulan berlalu, barulah satu persatu wilayah yang diduduki oleh pendukung Hakim Al-Muqanna bisa dikuasai. Kemudian mereka memburu Hakim dan pengikutnya yang tersisa, hingga akhirnya mereka terkepung di dalam sebuah benteng yang bernama Bassam. Di dalam benteng tersebut terdapat sekitar 20.000 orang pengikut Hakim Al-Muqanna yang bersamanya. Melihat fenomena ini, komandan pasukan Abbasiyah bingung menentukan kebijakan. Kemudian, dia mengirim surat pada Al-Mahdi, memohon agar hanya Hakim Al-Muqanna saja yang di hukum. Di saat yang bersamaan, para pendukung Hakim Al-Muqanna banyak yang meminta amnesti pada pasukan Abbasiyah. Akhirnya diputuskanlah, bahwa mereka yang ingin meminta amnesti, segera keluar dari benteng dan menyerah. Lalu keluarlah mereka, sehingga menyisakan sekitar 2000 orang bersama Hakim Al-Muqanna.[10]

Kemudian terjadilah tragedi memilukan di dalam benteng tersebut. Tiba-tiba, Hakim Al-Muqanna menyalakan api yang sangat besar di dalam benteng, dan memerintahkan kepada para pengikutnya yang tersisa agar melompat ke dalam api itu. Mereka pun melompat bersamaan, termasuk Hakim Al-Muqanna dan keluarganya. Melihat hal ini kaum Abbasiyah segera bergegas menyelamatkan yang bisa diselamatkan, tapi semua sudah terlambat. Setelah api padam, mereka mencari sisa jasad Hakim Al-Muqanna, lalu membawanya ke hadapan Al-Mahdi.[11] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXIX, Al-Mansur and al-Mahdi, translated and annotated by Hugh Kennedy, State University of New York Press, 1995. Hal. 182

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid, hal. 183

[5] Ibid

[6] Ibid, hal. 184

[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 327. Lihat juga, Nadirsyah Hosen, Kontroversi Khalifah Al-Mahdi dan Abbasiyah, https://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/kontroversi-khalifah-al-mahdi-dan-abbasiyah, diakses 19 Maret 2019

[8] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Ibid

[9] Ibid, hal. 328

[10] Ibid

[11] Ibid 6

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*