Kaum Sufi tunduk dan berserah diri kepada-Nya serta membebaskan diri dari ketergantungan pada usaha dan kekuatan diri sendiri.
Bab 6 :
Kualitas-Kualitas Khusus Kaum Sufi Seputar Isu-Isu Epistemologis
Syaikh Abu Nashr as-Sarraj, semoga Allah merahmatinya, berkata: Kaum Sufi juga memiliki ciri khusus yang berbeda dengan kalangan terpelajar agama lain dalam menggunakan ayat-ayat Kitab Allah yang dibaca dan hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan. Tidak ada satu pun ayat yang dihapus atau hadis maupun riwayat yang disamarkan. Semuanya ini menganjurkan keutamaan akhlak, membahas tentang kemuliaan berbagai kondisi spiritual dan keutamaan amal.
Semuanya itu membincangkan berbagai kedudukan spiritual yang tinggi dalam agama dan posisi-posisi terhormat yang membedakan satu lapisan orang mukmin dan mengelompokkannya pada para sahabat dan tabiin. Pelbagai ayat dan riwayat tersebut senantiasa mencakup perilaku dan nilai-nilai akhlak Rasulullah Saw. sebagaimana terungkap dalam sabda, “Sesungguhnya Allah telah membina akhlakku dengan sebaik-baik binaan.” Di samping itu, Allah Azza wa Jalla juga telah menegaskan dalam firman-Nya, Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Semua itu tertera dalam dokumen para sarjana agama dan ahli fiqih. Namun, di sini mereka kurang memiliki pemahaman dan wawasan mendalam yang lazim mereka pertunjukkan dalam aspek-aspek lain disiplin mereka. Berbeda dengan kaum Sufi, tidak satu pun sarjana yang berkredibilitas tidak terbantah mempunyai andil dalam topik ini selain pengakuan dan penegasan bahwa semua hal itu benar adanya.
Hal-hal itu antara lain seperti hakikat taubat dan sifat-sifatnya, derajat orang-orang yang bertaubat dan hakikat spiritual mereka; ciri-ciri takwa dan kondisi spiritual orang-orang yang bertakwa; tingkatan orang-orang yang bertawakal; kedudukan orang-orang yang ridha; dan derajat orang-orang yang sabar. Demikian pula mereka membicarakan soal kesederhanaan, kerendahan di hadapan Allah, cinta, harapan dan kecemasan, keinginan dan introspeksi, taubat dan ketenangan, keyakinan dan kebahagiaan spiritual.
Jumlah keadaan spiritual ini tidak mungkin bisa dihitung, dan masing-masing memiliki praktisi dan klasifikasinya sendiri. Tiap soal memiliki rincian-rincian pokok, meliputi (metode kontemplatif, keadaan spiritual, penghitungan-diri, rahasia-rahasia, perjuangan batin, tingkatan spiritual dan derajat yang berbeda-beda), keintiman unik, kekuatan kehendak yang berbeda, perlawanan terhadap kelemahan, dan suasan yang diliputi oleh kebahagiaan (spiritual) yang meledak-ledak. Masing-masing kondisi spiritual tersebut ada definisi dan tingkatan spiritualnya, tipe pengetahuan dan penjelasan sesuai dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla bagikan baginya.
Kaum Sufi juga diistimewakan dalam makrifat mereka atas ciri-ciri khusus ketamakan dan angan-angan duniawi; wawasan mereka ihwal ego dan amarahnya serta gejolak-gejolaknya yang berbahaya, kehalusan tipu daya, bisikan nafsu tersembunyi serta syirik yang tersamar. Kaum Sufi juga begitu unik dalam memahami cara menyelamatkan diri dari jerat-jerat semua hal di atas dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla, berlindung diri kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, melanggengkan rasa perlu segala kebutuhan kepada Allah, tunduk dan berserah diri kepada-Nya serta membebaskan diri dari ketergantungan pada usaha dan kekuatan diri sendiri.
Selain itu, kaum Sufi menemukan sejumlah kesimpulan yang lebih dalam mengenai pengetahuan yang telah dilewatkan oleh para pakar fiqih dan sarjana agama lain. Mereka mengungkapkan pelbagai kesubtilan itu dalam isyarat (alusi) dan mengemasnya dengan ungkapan-ungkapan teknis karena kepekaan dan kepelikan soal-soal ini.
Demikian itu berkenaan dengan pembicaraan mereka mengenai berbagai rintangan, penghalang, kewajiban, penyembunyian, rahasia tersembunyi, berbagai tingat keikhlasan, tahap penilikan atas rahasia, hakikat pemikiran dan derajat kedekatan pada Allah, pengakuan akan keesaan Ilahi, tingkatan-tingkatan pengakuan akan kesederhanaan Ilahi, hakikat penghambaan, hilangnya eksistensi temporal dalam pra-keabadian,[1] sirnanya makhluk-makhluk baru dihadapan Yang Abadi, hilangnya visi terhadap berbagai anugerah, kekekalan melihat Sang Maha Pemberi akibat hancurnya penglihatan terhadap pemberian, berlalunya berbagai kondisi dan kedudukan spiritual, penghimpunan berbagai hal yang beraneka ragam, fananya melihat tujuan akibat kekekalan melihat Zat yang dituju, berpaling dari melihat pemberian dan tidak pernah berpaling dari Zat yang dituju, menceburkan diri dalam menempuh jalan-jalan yang penuh risiko dan melintasi ‘padang sahara’ yang penuh bahaya.
Di kalangan orang-orang berilmu yang memiliki otoritas dan integritas yang tak terbantah, kaum Sufi membedakan diri mereka dalam mengurai berbagai buhulan dan memecahkan aspek-aspek problematis dalam soal-soal ini. Merekalah yang akan memecahkan persoalan-persoalan sulit ini dengan cara menyerang penuh tanpa melibatkan kepentingan diri sendiri. Mereka tidak berhenti hingga mereka bisa memberitahukan tentang kelezatan dan cita rasanya, pasang dan surutnya. Merekalah yang akan menguak kebohongan orang-orang yang mengaku kaum Sufi dengan cara menuntut mereka untuk memberikan dalil, dan membicarakan kekuatan dan kelemahan keadaan spiritual mereka. Tentu saja, manusia seperti ini sangat sedikit jumlahnya karena memang jarang yang sampai ke sana.
Semua pengetahuan tersebut tercantum dalam kitab Allah Azza wa Jalla dan Sunnah Rasulullah Saw., yang dipahami oleh para ahlinya; dan para pakar ini tidak berselisih ketika mendiskusikan masalah-masalah ini. Akan tetapi, segolongan orang berselisih dengan kaum Sufi karena para ahli ilmu eksoteris ini memahami aspek-aspek kitab Allah Ta’ala dan hadis-hadis Rasulullah Saw. sebatas hukum-hukum lahiriah dan yang mendukung polemik mereka dengan para penentangnya. Manusia di zaman kita ini memang lebih cenderung ke sana karena hal-hal ini lebih gampang untuk dipakai meraih kedudukan dan posisi di mata orang-orang awam, serta lebih mudah untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi.
Anda akan menyaksikan segelintir orang yang menyibukkan diri dengan ilmu sebagaimana yang telah saya sebutkan. Karena ilmu ini bersifat unik dan selalu dikepung dengan kepahitan, kepedihan, dan rintangan. Sementara mendengarnya saja akan melemahkan lutut, menyedihkan hati, membuat air mata mengalir deras, mengecilkan yang agung dan mengagungkan yang kecil. Apalagi bila kita menggunakan dan melaksanakannya secara langsung dan mencicipi cita rasanya, padahal jiwa tidak cenderung ke sana.
Ego tidak punya andil dalam perjumpaan batin, karena ego akan dimusnahkan dengan kematian, kekurangan pancaindra, dan kesementaraan objek-objek keinginannya. Akibatnya, tak heran bila banyak sarjana meninggalkan ilmu ini, lalu menyibukkan diri dengan ilmu yang meringankan biaya dan mendorong mereka pada kemudahan dan penafsiran yang gampang. Inilah ilmu yang klop dengan tendensi-tendensi manusiawi, lebih ringan di jiwa yang membungkuk pada kesenangan-kesenangan rendahan dan berpaling dari tanggung jawab. Dan Allah yang Mahatahu.
Dalam bab berikutnya, Sarraj secara serius membela analisis rinci unsur-unsur kehidupan spiritual kaum Sufi. Analisis kaum Sufi berpijak pada istilah dan uraian khusus yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, dan Sarraj berusaha menunjukkan bahwa setiap aspek psikologis dan epistemologis Sufi memiliki dasar kuat dalam wahyu dan Sunnah. (MK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Yaitu, kondisi spiritual ketika seseorang mencapai suatu tingkatan menjadi “seperti sebelum dia ada menjadi ada.”