Tak ada yang sia-sia dalam sejarah. Ia memberikan kita cara pandang holistik melihat masa lalu untuk meneropong masa depan. Mengamati keanekaragaman dari berbagai bentuk peninggalan, membaca sisa-sisa artefak dengan penuh kaitkelindan, dan menafsir ulang ragam narasi usang dengan gaya kekinian.
Oleh Khoirul Imam[1]
Salah satu peninggalan masa lalu yang menarik adalah Kitab al-Aghani. Kitab ini adalah di antara kitab yang jarang dibahas oleh para sejawaran. Sesuai dengan namanya, Kitab al-Aghani (Kitab Senandung), kitab ini berisi nyanyian dan musik. Namun tidak hanya itu, kitab ini bahkan menjadi ensiklopedi terlengkap seputar musik, kebudayaan, dan kumpulan puisi dan prosa, serta berbagai riwayat Arab Jahiliah dan Islam awal.
Kitab ini dikarang oleh Abul Faraj al-Asfahani. Nama lengkapnya Ali bin Husain bin Muhammad bin Ahmad bin Haitsam al-Marwani al-Umawi al-Qursyi. Lahir di Baghdad, tetapi sebagian ulama klasik seperti Ibnu an-Nadim, pengarang Kitab al-Fihris, Khatib al-Baghdadi, dan Yaqut al-Hamawi tidak menyebutkan tahun lahirnya. Para sejarawan kontemporer menyatakan bahwa Abul Faraj al-Asfahani lahir pada tahun 284 H atau 897 M.[2]
Abul Faraj lahir pada pemerintahan Khalifah Abbasiyah al-Mu’dhid. Sementara nasabnya dikaitkan dengan Ishfahan, sebagaimana dinyatakan oleh Ats-Tsa’alabi karena memang aslinya dia orang Ishfahan, dan Baghdad menjadi tempat tumbuh-kembangnya. Pernyataan ini juga dikutip oleh para penulis biografi, meskipun banyak di antara mereka yang meragukan hal tersebut. Nama ini pun dikaitkan dengan nama ayahnya yang dikenal luas sebagai al-Ashfahani. Maka ketika dia memilih hidup di Baghdad, orang-orang pun tetap mengenalnya sebagai orang Ishfahan.[3] Sedangkan nasab ke atas bersambung ke Marwan bin Muhammad, khalifah Bani Umayyah yang terakhir.[4]
Kecintaannya terhadap ilmu membawanya menghabiskan masa kecilnya dalam pengembaraan keilmuan di kota Baghdad. Sebenarnya, tak ada yang mengetahui secara pasti kapan dia mulai pergi ke kota tersebut. Akan tetapi, magnet Baghdad saat itu sangat kuat bagi seorang pengembara ilmu. Masa itu, kota tersebut menjadi semacam pusat keilmuan, seni, peradaban, dan lain-lain. Maka tak heran Abul Faraj pun tertarik untuk melancong ke sana.
Abul Faraj adalah seorang ilmuwan besar pada masanya. Dia menguasai berbagai macam kelimuan seperti sejarah, bahasa, sirah nabawiyah, dan ahli anatomi tubuh dan otak. Sejak remaja dia telah menggandrungi musik, sejarah, dan mengumpulkan hadis dan puisi-puisi dalam catatannya. Sebagian besar sejarawan seperti Yaqut Hamawi, Ibnu Khallikan, al-Tanukhi, al-Tsa’alabi dan Ibnu an-Nadim memberikan pujian atas penguasaannya terhadap berbagai cabang keilmuan. Misalnya, al-Tanukhi menyebutkan bahwa keahlian semua ulama dan semua penyair berkumpul padanya.
Salah satu guru yang ditemuinya pertama kali adalah seorang ahli hadis Muhammad bin Ja’far al-Qattat dan ar-Razazi (Ali bin Ahmad).[5] Selain itu, dia juga berguru kepada beberapa ulama di antaranya: Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Thabari, Ja’far bin Qudamah, Abu Bakar ibn al-Anbari, Fadhl bin Hijab al-Jumahi, Ali bin Sulaiman al-Akhfasy, Nafthawiyah, Muhammad bin Abadulah al-Hadhrami, Husain bin Umar ibn Abu Ahwash al-Tsaqafi, Ali bin Abbas al-Muqani’I, Ali bin Ishaq bin al-Zathiya, Abu Khubaib al-Barti, Muhammad bin Abbas al-Yazid.[6]
Baghdad yang gemerlap dengan keilmuan dan peradaban seakan menyediakan segala hal untuk Abul Faraj. Seakan-akan dia tenggelam dalam lautan yang tanpa batas. Dia pun menemukan muara pada kecintaan terhadap syair, nyanyian, ilmu tentang riwayat, khabar, dan nasab. Tetapi untuk menguasai semua itu, dia juga memperdalam ragam ilmu alat; bahasa, nahwu, sirah, dan nyanyian. Bahkan dia juga mempelajari ilmu klenik yang sebenarnya bukan menjadi tujuan utamanya. Tidak berhenti di situ, dia juga menghafalkan ribuan syair dan kasidah dari berbagai generasi sampai masanya. Dan inilah yang mentahbiskannya sebagai seorang penyair.
Karir kepenyairan semakin menanjak tatkala Abu al-Faraj menjadi teman setia al-Mahlabi, menteri dari Mu’izzud Daulah Dailami. Tak jarang dia menuliskan sejumlah kasidah, syair-syair pendek (muqaththa’at), dan puji-pujian, terutama untuk al-Mahlabi yang kelak menjadi penguasanya. Dengan itu pula Abul Faraj semakin dekat dan dipercaya, bahkan sebelum menjadi menteri. Persahabatan antara keduanya pun berlanjut setelahnya. Hingga orang-orang menjadi segan dengannya, bahkan sangat takut dengan ungkapan-ungkapannya.
Hal tersebut cukup mengherankan, alih-alih al-Mahlabi memiliki kecenderungan untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian dalam perjamuan, sedangkan Abul Faraj adalah orang yang tidak terlalu menjaga kebersihan dan kerapian dalam penampilannya dan tak peduli dengan perjamuan. Bahkan suatu hari Abul Faraj terserang alergi terhadap buncis. Jika dia mengonsumsi minuman yang mengandung buncis, maka seluruh badannya bento-bentol. Maka al-Mahlabi pun menyarankan untuk berobat, tetapi tak satu pun dokter yang dapat menyembuhkannya.[7]
Selain itu, Yaqut al-Hamawi pernah menyatakan bahwa Abul Faraj pernah menjadi sekretaris pribadi Rukn ad-Daulah al-Buwaihi, dan mendapat posisi strategis di sisinya. Namun, tuduhan Yaqut ini tidak benar. Dan yang benar bahwa Rukn ad-Daulah memiliki seorang sekretaris pribadi yang namanya hampir sama; Abul Faraj. Tetapi yang dimaksud bukan Abul Faraj al-Ashfahani, tetapi seorang menteri Dinasti Buwaihiyah yang bernama Abul Faraj Hamad bin Muhammad al-Katib.
Selain perjumpaan dengan para ulama, Baghdad juga menyediakan tempat-tempat hiburan dan pertunjukan, terutama biara-biara. Dia pun menyimak para penyanyi-penyanyi melantunkan lagu dan mengunjungi panggung-panggung pertunjukan. Dan seringkali mendatangi para pembuat kertas untuk membeli kertas sebagai bahan membuat karya-karya baru. Bahka dia pun mendatangi pusat pelelangan kitab-kitab dan perabotan.
Abul Faraj tidak hanya orang yang berdiam diri di kamar dan menulis karya. Dia adalah sosok yang suka melancong ke luar Baghdad dan negara Irak. Tetapi dia meninggalkan Baghdad untuk kembali ke kota tersebut. Sesekali dia pergi ke Rusafa atau Sergiopolis, sebua kota kuno zaman Byzantium, dan seringkali dia bersenang-senang di Dair ats-Tsa’labi di sebelah barat Baghdad. Tempat terakhir ini saat ini lebih terkenal dengan Tembok Besi (Bab al-Hadid). Orang-orang Baghdad menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata, terutama pada peringatan hancurnya Tembok Besi pada hari Sabtu akhir bulan September. Tempat ini sekaligus tempat yang paling ramai dikunjungi karena tamannya yang indah berpadu dengan angin sepoi-sepoi.
Abul Faraj meninggal pada 14 Dzulhijjah 356 H/967 di Baghdad. Selain meninggalkan karya besar al-Aghani, dia juga menulis sederet karya lainnya seperti Maqathil ath-Thalibiyyin, Nasab Bani Abd Syams, Ayyam al-‘Arab wa Jamharat al-Nasab, Adab al-Ghuraba, Al-Akhbar wa al-Nawadir, Nasab Bani Syaiban.
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta
[2] Lihat, Ihsan Abbas, dkk, “Muqaddimah at-Tahqiq” dalam Abul Faraj al-Asfahani, Kitab al-Aghani, tahqiq: Ihsan Abbas, Ibrahim as-Sa’afin, Bakar Abbas (Beirut: Dar Sader, 2008), jil. I, hlm. 5
[3] Ibid., hlm. 6
[4] Ibid., hlm. 5
[5] Ibid., hlm. 6
[6] http://id.wikishia.net/view/Abu_al-Faraj_al-Isfahani
[7] Ihsan Abbas, Op.Cit., hlm. 7