Pada saat mahallul qiyam (berdiri), sang ayah akan membawa si bayi ke tengah-tengah peserta dengan diikuti seorang lain yang membantu membawakan baki berisi bunga, wewangian, dan gunting.
Tidak salah kiranya jika Martin Van Bruinessen dalam bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia mengatakan bahwa KitabBarzanji adalah teks keagamaan yang paling populer di seluruh Nusantara, yang mana hanya kalah populer setelah Alquran.[1]
Menurut Van Bruinessen, barangkali tidak ada seorang pun penganut Islam di Indonesia yang tidak pernah menghadiri pembacaan Barzanji, paling tidak beberapa kali sepanjang hidupnya.[2] Sebabnya adalah kitab ini memang banyak sekali dibacakan dalam berbagai tradisi di Indonesia.
Di awal kita pernah sempat mengulasnya, bahwa pada umumnya Barzanji dibacakan dalam acara peringatan Maulid Nabi. Namun pada kenyataannya Barzanji jauh lebih dalam menembus ke berbagai tradisi di Indonesia, ia juga dibacakan dalam momen-momen seperti Akikah, Khitanan, Tasyakuran, Hadrah-An, Midodareni, Rebo Wekasan, Wiridan, Ulih-Ulihan, Walimahan, dan bahkan Debus.
Ke depan kita akan mengulas berbagai tradisi ini dan bagaimana Barzanji dibacakan di dalamnya.
Akikah
Kata akikah berasal dari bahasa Arab, yaitu aqiqah, yang memiliki beberapa makna, di antaranya adalah rambut kepala bayi yang telah tumbuh ketika lahir, atau hewan sembelihan yang ditujukan bagi peringatan dicukurnya rambut seorang bayi.
Dalam tradisi Sunni, bila bayi itu laki-laki, maka hewan sembelihannya berupa dua ekor kambing dan bila perempuan, maka cukup dengan seekor kambing saja. Selain itu, akikah juga dapat bermakna sebuah upacara peringatan atas dicukurnya rambut seorang bayi.
Dalam pelaksanaan akikah, para ulama berbeda pendapat mengenai kapan semestinya akikah dilaksanakan. Sejumlah ulama menyatakan bahwa akikah mesti dilaksanakan sebelum hari ketujuh setelah kelahiran si bayi.
Sementara itu Imam Syafii berpendapat bahwa akikah boleh dilaksanakan baik sebelum maupun sesudah hari ketujuh kelahiran si bayi sampai dia berakal baligh. Pada acara akikah ini, dianjurkan pula untuk memberi nama si bayi.[3]
Ada banyak ragam cara penyelenggaraan akikah di berbagai daerah di Indonesia, misalnya di daerah Jawa, ada yang menyertakan prosesi selametan bubur abang putih (bubur merah putih) pada pukul 10 pagi untuk dijadikan bancakan. Di malam harinya, barulah diadakan akikahnya.[4]
Pada malam akikahan, pembacaan syair Barzanji umum diselenggarakan. Pada acara tersebut rambut bayi dipotong dan ada pula pembagian minyak wangi kepada jamaah yang membacakan syair-syair pujian kepada Rasulullah.
Pembacaan Barzanji ini bentuk upacaranya mirip dengan marhaban pada saat mauludan (peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw). Ketika para peserta dan undangan melantunkan marhaban atau saat mahallul qiyam (berdiri), sang ayah akan membawa si bayi ke tengah-tengah peserta dengan diikuti seorang lain yang membantu membawakan baki berisi bunga, wewangian, dan gunting.
Tamu yang paling dihormati biasanya mendapatkan kehormatan untuk mengawali pencukuran beberapa helai rambut bayi secara simbolis, kemudian sang ayah akan membawa bayi ke tamu-tamu lain secara bergilir satu per satu, dan masing-masing tamu secara bergiliran turut mencukur juga, namun masih tetap secara simbolis juga.
Maksudnya secara simbolis di sini bukan berarti dalam artian mencukur rambut bayi secara keseluruhan, biasanya tugas ini diserahkan kepada tukang cukur atau orang yang memang menguasai teknik pemotongan rambut dengan aman.
Sementara itu si pembawa wewangian bertugas untuk mengusapkan wewangian ke tangan orang-orang yang baru mendapat giliran. Bila semua sudah mendapatkan giliran, bayi dikembalikan ke kamar tidur.
Namun di tengah arus modernisasi sekarang ini, prosesi akikah juga mengalami sedikit banyak perubahan. Terutama dalam proses penyembelihan hewan yang hendak dijadikan akikah. Sejumlah penyedia jasa, sudah melihat adanya prospek bisnis dalam prosesi akikah.
Para penyedia jasa menyediakan hewan sembelihan akikah sekaligus siap untuk membagikan dagingnya dalam kondisi sudah dimasak dan siap untuk langsung disantap.
Munculnya penyedia jasa seperti ini di satu sisi mempermudah orang yang hendak mengakikahkan putra-putrinya. Di sisi lain, hal ini pada gilirannya menghilangkan sejumlah prosesi dalam tradisi akikah yang telah mengakar di masyarakat seperti tradisi Barzanjian dan lain sebagainya.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995), hlm 76.
[2] Ibid.
[3] Saifuddin Jazuli, Akikahan, dalam Suwendi, Mahrus, Muh. Aziz Hakim, dan Zulfakhri Sofyan Pono (tim editor), Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (Kementrian Agama RI: Jakarta, 2018), hlm 6.
[4] Saifuffin Jazuli, Kenduri, dalam Suwendi, Mahrus, Muh. Aziz Hakim, dan Zulfakhri Sofyan Pono, Ibid., hlm 177.
[5] Saifuddin Jazuli, Akikahan, Ibid., hlm 8-10.