Muthahhari mengkritik “logika kaum beragama”, yang ketika menemui kebuntuan, ujung-ujungnya menyatakan bahwa kehidupan merupakan hasil intervensi Tuhan terhadap alam. Baginya, “Tuhan” ini diciptakan untuk menutupi ketidaktahuan manusia.
Oleh Zainal Abidin Bagir[1]
Muthahhari mengkritik keras Muslim “yang berpikir bahwa tauhid hanya bisa ditegaskan dengan menolak teori evolusi.” Dia menilai ada perbedaan krusial antara “logika Alquran” dengan “logika kaum beragama” (atau teolog).
Kaum teolog kerap mengacu pada asal muasal kehidupan di bumi ketika ingin menegaskan peran Tuhan. Sains jelas menunjukkan bahwa kehidupan di bumi ini tak merentang ke masa lalu yang tak terbatas, tapi mulai di satu titik di masa lalu.
Sementara kita tahu persis bahwa setiap individu makhluk hidup berasal dari individu induknya, yang dipertanyakan kemudian adalah bagaimana organisme-organisme awal muncul pertama kali? Kaum beriman biasanya tergoda segera membawa nama Tuhan untuk menjawab pertanyaan ini dengan berkata: di sinilah letak mukjizat ilahi.
Atau, apakah semua spesies berasal dari satu organisme awal—katakanlah, organisme bersel satu yang paling sederhana? Lalu, bagaimana organisme paling sederhana ini muncul? Pada titik inikah kita mesti menjawab bahwa kehendak Tuhanlah yang melakukan intervensi di sini? Kaum beragama menganggap bahwa ketika sains tak bisa menjawab pertanyaan ini, maka jawabannya adalah: Tuhanlah yang berperan pada titik itu.
Bahkan Darwin sekali pun, dalam kalimat-kalimat terakhir Origin of Species-nya, tergoda mengajukan jawaban serupa! Dia, yang memang (masih?) cukup religius ketika menerbitkan Origin, mengacu pada “nafas kehidupan” yang dihembuskan ke organisme-organisme awal.
Inilah “logika kaum beragama” yang dikritik keras oleh Muthahhari: “karena tak dapat dijelaskan dengan sebab-sebab material dan alamiah, kehidupan pastilah merupakan hasil intervensi Tuhan dalam alam”. Dalam bahasa filsafat, “Tuhan” ini disebut sebagai “God of the gaps”; Tuhan yang “diciptakan” untuk mengisi celah-celah ketidaktahuan manusia.
Muthahhari mengkritik logika ini, karena menjadikan ketakmampuan atau ketidaktahuan manusia sebagai bukti bagi keberadaan Tuhan. Tuhan sebagai Pencipta yang dimunculkan sebagai penjelasan untuk kompleksitas alam, karena tak adanya penjelasan lain, adalah Tuhan yang merupakan buah ketidaktahuan—bukan buah pengetahuan.
“Ketika tertumbuk pada hal-hal yang tak diketahui, mereka ‘menyeret’ Tuhan ke dalamnya,” kritiknya. “Bagi sebagian kaum beragama, wilayah adi alami (supernatural) adalah gudang bagi kebodohan mereka: apapun yang mereka tak tahu, atau belum menemukan sebab alamiahnya, mereka nisbahkan kepada Tuhan…. Sebab adi alami diajukan ketika sebab alamiah tak ditemukan.” (201)[2] Bagi filosof yang demikian rasional seperti Muthahhari, tentu model Tuhan seperti ini sulit diterima.
Dalam Alquran, jelas satu-satunya pencipta kehidupan adalah Tuhan. Namun, bagi Muthahhari, Alquran tak pernah sekalipun mengajukan asal muasal kehidupan sebagai bukti untuk itu. Penciptaan terjadi setiap saat; di “saat pertama” maupun saat-saat berikutnya. Tak perlu ada sesuatu yang istimewa pada “saat pertama” itu. Tuhan yang hadir sekali-sekali dalam bentuk mukjizat atau keajaiban berarti adalah juga Tuhan yang absen di waktu-waktu lain!
Menarik untuk melihat bahwa jalan pikiran ini amat mirip dengan beberapa teolog Kristen yang yang menerima evolusi. Misalnya, 30 tahun setelah terbitnya Origin of Species, Aubrey Moore menulis, “bukti ilmiah untuk teori evolusi jauh lebih Kristiani dibanding teori ‘penciptaan khusus’, karena teori ini berimplikasi pada imanensi Tuhan dalam alam, dan kehadiran daya ciptaNya di mana-mana….”[3]
Teori “penciptaan khusus” yang dianut kaum kreasionis membayangkan Tuhan hadir pada momen-momen tertentu untuk menciptakan spesies-spesies tertentu. Di mana Tuhan setelah itu? Sulit menjawabnya. Jika alam semesta diibaratkan sebagai jam besar dalam argumen desain, maka tampaknya Tuhan menjadi seperti tukang jam, yang memang hanya perlu hadir di masa-masa awal saja.
Arthur Peacocke, ilmuwan sekaligus teolog yang aktif dalam wacana sains dan agama dewasa ini, mengembangkan pandangan serupa. Baginya, penciptaan ilahiah bukanlah peristiwa sejarah yang telah selesai di suatu titik di masa lampau, tapi berlangsung terus. Di satu sisi Tuhan bersifat transenden, mengatasi alam, di sisi lain Dia imanen, selalu hadir dalam sejarah alam semesta dan manusia.
Banyak kaum beragama yang memahami keajaiban atau mukjizat ilahiah sebagai sesuatu yang tak biasa, yang melanggar hukum alam. Tuhan pun muncul sesekali ketika Dia mengintervensi kerja hukum alam. Padahal, keajaiban yang lebih besar adalah Tuhan yang hadir setiap saat.[4]
Repotnya, sesuatu yang hadir setiap saat—misalnya oksigen—memang lebih sulit kita rasakan kehadirannya. Dalam bahasa William Philips, seorang pemenang Nobel bidang Fisika, tampaknya Tuhan tak meninggalkan jejak-jejak atau sidik jari yang nyata di alam semesta yang diciptakanNya (–ataukah manusia yang tak memiliki mata yang cukup tajam untuk menyaksikannya?).
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Tulisan ini merupakan makalah yang pernah beliau sampaikan pada acara Seminar Sehari Pemikiran Muthahhari “Teologi Islam dan Persoalan Kontemporer”, 15 Mei 2004. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.
[2] Di sini Muthahhari mengutip kritik kera Mulla Sadra terhadap Fakhr-I Razi: “Saya sungguh heran terhadap orang ini dan orang-orang lain yang berupaya mendemonstrasikan prinsip tauhid atau prinsip agama lainnya dengan mencari situasi di mana sebab alamiah tak diketahui, dimana hukum alam semesta dilanggar dan perhitungan tak dapat dilakukan.” (Fundamentals of Islamic Thought, 202)
[3] Dikutip dari Arthur Peacocke, The Paths from Science towards God, 1998
[4] Ibid.