Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Sains Modern: Perspektif Muthahhari (5): Tauhid dan Evolusi (2)

in Studi Islam

Tuhan yang terusir dari alam, bersama munculnya Darwin, bukanlah model Tuhan yang cukup canggih, meski amat populer. Dia adalah Tuhan yang, bagaikan tukang jam, menciptakan sesuatu di suatu saat tertentu, dan kemudian absen dari alam semesta.

Lukisan Murtadha Muthahhari. Sumber: Himpunan Pelajar Indonesia

Oleh Zainal Abidin Bagir[1]

Muthahhari menunjukkan bahwa “sistem penciptaan” yang diacu Alquran di banyak tempat mencakup segala macam proses penciptaan; baik tumbuhnya tanaman dari biji, berkembangnya embrio manusia dalam rahim ibunya, juga berseminya tanaman.

Penciptaan, sebagai bukti kekuasaan Tuhan, tak hanya terletak di titik-titik awal. Dia menegaskan bahwa “menurut Alquran, penciptaan bukanlah fenomena sesaat.” Tapi, di setiap saat. Dalam ungkapan Muthahhari, Tuhan tak perlu sesekali “menjulurkan lengan dari balik jubahNya” ketika akan menciptakan spesies-spesies baru, termasuk manusia, karena sesungguhnya Dia selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa alam.

Salah satu mukjizat atau keajaiban penciptaan adalah adanya berbagai macam makhluk dengan beraneka anggota dan beragam tingkat kompleksitas dari satu substansi sederhana dan seragam, seperti yang dikemukakan teori evolusi. (209) “Manusia atau binatang secara terus menerus mengalami penciptaan dalam melalui tahap-tahap evolusi. Seluruh alam semesta mengalamai proses penciptaan secara terus menerus.” (202-203)

Lalu bagaimana dengan beberapa ayat Alquran yang tampak mengacu pada peristiwa penciptaan manusia pertama? Bagi Muthahhari, ketika ada penyebutan seperti itu, tujuannya bukanlah pembuktian adanya “tangan-tangan Tuhan yang menjulur dari balik jubahNya” untuk menunjukkan kekuasaan besar Tuhan, yang melawan keteraturan alam. “Tangan-Nya tak pernah berada di dalam jubah,” ujar Muthahhari tegas. (200) Tujuan ayat-ayat seperti itu adalah memberikan banyak pelajaran moral.

Bahwa bahasa kaum beragama ini tak hadir dalam teori evolusi, tak berarti Tuhan tak hadir dalam proses evolusi. Persoalannya adalah pemaknaan, yang berada di luar lingkup sains, meskipun tak sepenuhnya terpisah darinya.

Muthahhari menyampaikan kesedihannya bahwa gagasan adanya kontradiksi antara tauhid dan evolusi, seperti halnya gagasan bahwa penciptaan terjadi di suatu momen, telah menyebar di seluruh dunia. Bagi Muthahhari, sebagian penyebabnya justru ada dalam pemikiran kaum materialis-ateis yang mempromosikan pertentangan evolusi dan agama. Yang menyedihkan, pemikiran kaum ateis ini kemudian justru diyakini kaum beragama.

“Mengapa kaum materialis-ateis dan kaum beragama menerima hal ini begitu saja? Mengapa tauhid, teisme, dan prinsip penciptaan dianggap sinonim dengan teori ketetapan spesies (bahwa tak ada evolusi dari satu spesies ke spesies lain)? Mengapa pula dianggap ada kontradiksi logis antara tauhid dan evolusi?” (208)[2] Muthahhari menyarankan kita untuk menggali pemikiran filosofis di balik gagasan-gagasan pertentangan tauhid-evolusi ini dan bersikap kritis terhadapnya.

Sampai di sini kita kembali pada satu hal penting yang telah dikemukakan di atas: Pentingnya kemampuan membedakan teori ilmiah dari tafsir filosofisnya. Nyatanya, konflik antara sains dan agama seringkali merupakan konflik antara suatu tafsir atas teori ilmiah melawan tafsir atas suatu gagasan keagamaan.

Keduanya merupakan wilayah yang ambigu, dan karenanya dapat mengundang banyak penafsiran. Kunci upaya “mendamaikan” sains dan agama pun tampaknya terletak di sini. Bagi kaum beragama, ini di antaranya berarti adanya tuntutan kemampuan imajinatif membayangkan model Tuhan dan modus penciptaan yang baik.

Tuhan yang terusir dari alam, bersama munculnya Darwin, bukanlah model Tuhan yang cukup canggih, meski amat populer. Dia adalah Tuhan yang, bagaikan tukang jam, menciptakan sesuatu di suatu saat tertentu, dan kemudian absen dari alam semesta. Bertentangan dengan itu, gerak penciptaan yang kreatif dan terus menerus masih dapat tetap diyakini bersama keyakinan akan fakta terjadinya evolusi makhluk hidup.[3]

Seri Islam dan Sains Modern: Perspektif Muthahhari selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Tulisan ini merupakan makalah yang pernah beliau sampaikan pada acara Seminar Sehari Pemikiran Muthahhari  “Teologi Islam dan Persoalan Kontemporer”, 15 Mei 2004. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.

[2] Dalam kaitan dengan ketetapan spesies, menarik untuk mencatat respon S. Hossein Nasr. Dia menolak evolusi karena dianggapnya menghancurkan pondasi terpenting dalam metafisika tradisional, yaitu hirarki dan ketetapan maujud. Sementara teori evolusi menyangkal ketetapan spesies (fixity of species) dan mengajukan perubahan gradual sebagai sumber kemunculan suatu spesies baru dari spesies lainnya. Pandangan Nasr ini diungkapkan dalam banyak karyanya, di antaranya, yang paling eksplisit, adalah dalam salah satu karya awalnya, Man and Nature – The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) dan Religion and the Order of Nature (1996).

[3] Muthahhari sendiri menyampaikan gagasannya tentang penciptaan ilahiah—yang amat dipengaruhi Mulla Sadra dalam beberapa karyanya yang lain. Dia di antaranya meminta pembacanya mengacu kepada karya utamanya, Usul-i Falsafa va Ravish-I Rialism dan beberapa karya lainnya tentang Mulla Sadra (di antaranya tentang khalq jadid).

1 Comment

  1. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum: 30).

    orang2 fasik selalu merubah keyakinan, ayat ini diletakkan pada surat ar rum karena kedangkalan pemikiran mereka.
    evolusi kera jadi manusia itu pemikiran kaum fasik.

    wassalamualaikum wr.wb,
    ustadz sayyid habib yahya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*