Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Sains Modern: Perspektif Muthahhari (3): Ilustrasi: Teori Evolusi dan Argumen Desain

in Studi Islam

Last updated on November 14th, 2019 12:07 pm

Muhammad Iqbal menyatakan bahwa argumen desain hanya mampu menyimpulkan Tuhan sebagai tukang yang trampil, yang selesai mencipta di masa lalu, dan terpisah dari alam hasil karya-Nya. Bagi Iqbal, aktifitas pertukangan ini tak layak disebut “penciptaan”.

Foto ilustrasi: Deccan Chronicle

Oleh Zainal Abidin Bagir[1]

Mesti diakui bahwa teori evolusi merupakan tantangan yang amat serius terhadap agama. Meski demikian, bisa jadi yang membuat teori ilmiah ini menjadi amat kontroversial bukan teorinya sendiri, tapi justru pemahaman teologis kaum beragama mengenai gagasan penciptaan oleh Tuhan.

Tampaknya sebab utamanya adalah populernya apa yang disebut argumen desain (design argument) sebelum teori evolusi Darwin dicetuskan pada pertengahan abad ke-19. Lebih-lebih, pada awal abad ke-19, tak lama sebelum karya Darwin Origin of Species terbit, seorang teolog Kristen termasyhur, William Paley, baru merumuskan ulang argumen tersebut, yang selama beberapa abad sebelumnya telah cukup populer.

Dalam karyanya Natural Theology, Paley mengajukan kisah ini: “Bayangkan Anda berjalan-jalan di tepi pantai, dan menemukan jam, lalu ditanya, bagaimana jam itu ada di sana? Masuk akalkah jika dikatakan bahwa, layaknya banyak batu yang tersebar di pantai itu, jam itu memang sudah selalu ada di sana, dan tak ada manusia yang sengaja menciptakannya lalu meletakkannya di sana?”

Tentu saja tidak masuk akal, karena jam amat kompleks, terdiri dari banyak bagian yang dengan cermat disusun menurut desain tertentu, satu bagian dihubungkan dengan bagian lain untuk menghasilkan gerakan tertentu, dan semua itu dirancang untuk bekerja mencapai tujuan tertentu (menunjukkan waktu).

Maka, jelas jam itu ada penciptanya. Nah, kalau jam saja pasti ada penciptanya, bagaimana mungkin alam semesta beserta segala isinya yang jauh lebih kompleks tak ada penciptanya? Siapa penciptanya? Jawabannya mudah: Tuhan.

Tak terlalu mengherankan jika jenis argumen sederhana ini lalu jadi nyaris identik dengan pernyataan religiusitas, dan penafiannya identik dengan ateisme. Di kalangan Islam pun, ayat-ayat Alquran yang mengajukan fenomena-fenomena alam yang teratur dan kompleks, dan diakhiri dengan penegasan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta, juga kerap dipahami sebagai satu bentuk argumen desain.

Di sisi lain, fakta dan teori evolusi (diajukan Darwin awalnya pada 1859 dalam Origin of Species, lalu diperkuat dengan data-data baru dari berbagai disiplin ilmu hingga kini) merupakan tandingan argumen desain untuk menjelaskan kompleksitas alam.

Sebagai penjelasan ilmiah, ia jelas bergerak di wilayah alam, dan menghindari unsur supranatural. Maka tak mengherankan pula jika banyak kaum agamawan lalu menolak keras teori evolusi dan mengecamnya sebagai bersifat ateistik.

Lepas dari perkembangan historis itu, benarkah fakta dan teori evolusi meniscayakan pengusiran Tuhan dari alam semesta? Bukan tempatnya di sini untuk membahas teori evolusi. Namun satu hal yang jelas, teori evolusi memang mengecilkan peluang keberadaan Tuhan yang tampil di ujung argumen desain. 

Persoalannya adalah: apakah argumen desain adalah satu-satunya argumen yang bisa digunakan kaum beragama?

Argumen desain tentu saja tak identik dengan Kristen, tak identik dengan agama, dan, lebih-lebih, tak identik dengan keyakinan akan keberadaan Tuhan. Kritik terhadapnya pun tak identik dengan sikap ateistik. Sesungguhnya tak sedikit kaum beragama yang juga menolak argumen ini.

Di kalangan Kristen, ketika sebagian ilmuwan yang sezaman dengan Darwin masih tak bisa menerima teori evolusi, telah banyak teolog yang bahkan dengan suka cita menyambutnya. Bagi mereka gagasan ini memberikan dasar bagi teologi Kristiani baru yang lebih memuaskan cita rasa intelektual.

Di kalangan Muslim modern, argumen desain tak kalah populer, namun juga tak memuaskan banyak orang. Salah satu yang menonjol adalah penolakan filosof besar awal abad ke-20, Muhammad Iqbal.

Dalam buku magnum opus-nya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, dia menyatakan bahwa argumen desain hanya mampu menyimpulkan Tuhan sebagai tukang yang trampil, yang selesai mencipta di masa lalu, dan terpisah dari alam hasil karya-Nya. Bagi Iqbal, aktifitas pertukangan ini bukan saja tak mampu menggambarkan model penciptaan Tuhan, tapi bahkan tak layak disebut “penciptaan”.

Tuhan Iqbal adalah Tuhan penuh gerak yang aktifitas penciptaan-Nya amat dinamis, berkelanjutan tanpa henti. Evolusi yang terus terjadi di alam adalah cerminan dinamisme daya cipta Ilahiah ini, di mana makhluk adalah sekaligus mitra Tuhan dalam kerja penciptaan. Jika Iqbal mengkritik Darwin, maka itu menyangkut tafsir materialistik atas evolusi, bukan pada teori evolusi itu sendiri.

Sikap serupa inilah yang diajukan Muthahhari dengan amat baik.

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Tulisan ini merupakan makalah yang pernah beliau sampaikan pada acara Seminar Sehari Pemikiran Muthahhari  “Teologi Islam dan Persoalan Kontemporer”, 15 Mei 2004. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*