Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Sains Modern: Perspektif Muthahhari (2): Posisi Muthahhari

in Studi Islam

Last updated on November 13th, 2019 01:11 pm

Sains terbatas karena, tak seperti agama, ia tak mampu menyalakan harapan manusia, menumbuhkan cinta, ataupun menegaskan tujuan dan maksud segala perkembangan yang dipicunya sendiri.

Foto: hajj.com

Oleh Zainal Abidin Bagir[1]

Di mana posisi Muthahhari dalam pemetaan kasar ini? Tampaknya agak sulit menemukan posisinya. Kita bisa dengan segera mengatakan bahwa Muthahhari tidak dapat dimasukkan ke kelompok (1) dan (2). Sebagaimana akan saya bahas secara cukup terinci di bawah, dia pun mengkritik dengan amat keras kecenderungan kelompok penolak evolusi (4). Dapatkah dia dimasukkan ke kelompok (3)?

Satu hal yang diamati dengan cermat oleh Mehdi Golshani adalah bahwa sesungguhnya Muthahhari tak pernah mengkritik sains modern per se.[2]  Sebagaimana tampak dalam beberapa bagian karyanya, Muthahhari tampak memiliki pemahaman yang cukup canggih mengenai karakter sains modern.

Dia sama sekali tak memiliki keberatan apapun terhadap perkembangan sains modern. Yang kerap dikritiknya adalah apa yang disebut Golshani sebagai “embel-embel filosofis” (philosophical attachment) atau penafsiran filosofis atas teori-teori ilmiah.

Di beberapa tempat, sebagaimana akan saya ungkapkan di bawah, yang dikritiknya adalah apa yang disebut “pandangan dunia ilmiah”, bukan sains itu sendiri. Menurut saya Golshani dengan tepat mencirikan satu hal penting yang disampaikan Muthahhari: yaitu, pentingnya melakukan pembedaan antara sains modern dan penafsiran filosofis atasnya.

Kalaupun ada ketegangan antara sains dan agama, seringkali penyebabnya adalah aspek filosofis dari sains, bukan sainsnya sendiri. Dengan demikian, bisa kita tafsirkan bahwa tampaknya Muthahhari, hingga tingkat tertentu, mengakui bahwa sains itu bebas nilai—pandangan yang sama sekali tak populer di kalangan Muslim kontemporer.

Di satu sisi, ini mungkin bisa dipahami sebagai masalah semantik belaka. Bahwa ketika sains didefinisikan terlalu sempit (dengan menghilangkan embel-embel filosofisnya), maka nilai-nilai yang dikandungnya pun menjadi tanggal.

Dan di beberapa tempat dalam karyanya, Muthahhari memang tampak membatasi peran sains modern. Sebagian Muslim akan berkeberatan dengan pendefinisian sempit ini, karena ini mungkin dianggap merupakan reduksi konsep sains sebagai upaya pencarian pengetahuan mengenai alam.

Sementara itu, pemahaman sains sebagai suatu sistem pencarian pengetahuan yang memiliki implikasi filosofis yang nyata dan tak ambigu membawa mereka pada keyakinan bahwa sains membawa nilai-nilai yang belum tentu sesuai (dan nyatanya bagi mereka memang tidak sesuai) dengan Islam. Tapi, sebagaimana ditunjukkan perdebatan panjang dalam filsafat sains abad ke-20, ada beberapa cara memahami aktifitas sains, dan karenanya sulit jika kita ingin ngotot memaksakan satu definisi sains.

Terlepas dari itu, pandangan umum Muslim yang tak mau membedakan kedua hal tersebut pada beberapa dasawarsa terakhir ini tampaknya telah menjadi penyebab munculnya proyek-proyek besar seperti “islamisasi ilmu” atau “sains Islam” yang tidak jelas benar arah dan manfaatnya.

Yang dikhawatirkan, proyek-proyek yang terasa “sangat islami” ini alih-alih memberdayakan Muslim, justru mengucilkan mereka dari pergerakan peradaban modern.[3]  Ini sudah terjadi, setidaknya dalam beberapa versi proyek semacam itu.[4]

Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana Muthahhari memahami sains secara umum?

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Muthahhari mengakui legitimasi sains modern sebagai aktifitas intelektual untuk memahami alam semesta. Dia bukanlah seorang instrumentalis yang menilai sains modern lebih sebagai instrumen, sebagai alat untuk melakukan prediksi dan kontrol atas alam (teknologi), dan nyaris tak memberi kita pengetahuan yang sebenarnya tentang alam semesta.

Buat kaum beragama, sesungguhnya pandangan instrumentalis seperti ini cukup “aman”. Mengapa? Salah satu peluang konflik sains dengan agama adalah jika keduanya melontarkan truth claims mengenai alam semesta. Dengan mengingkari kemampuan sains dalam memberikan pengetahuan konseptual mengenai alam semesta, salah satu sumber konflik ini hilang. Inilah pandangan yang “aman”, namun juga miskin (atau memiskinkan makna sains).

Muthahhari bukanlah seorang instrumentalis. Namun, meski mengakui kemampuan epistemik sains untuk berbicara tentang alam semesta, dia juga menekankan dua keterbatasan penting sains modern.

Pertama, sains terbatas karena, tak seperti agama, ia tak mampu menyalakan harapan manusia, menumbuhkan cinta, ataupun menegaskan tujuan dan maksud segala perkembangan yang dipicunya sendiri. Pendeknya sains, dalam dirinya sendiri, tak mampu sepenuhnya memanusiakan manusia. Kebutuhan ini bisa sebagiannya dipenuhi oleh filsafat dan seni, tapi bagi Muthahhari agamalah yang pada akhirnya berperan paling besar di sini.[5]

Keterbatasan kedua: kelebihan yang sekaligus merupakan kekurangan sains adalah sifatnya yang terlalu memusatkan perhatian pada bagian-bagian—bukan keseluruhan—realitas. Dengan demikian keluasan alam semesta bisa dikerat-kerat dalam kepingan-kepingan yang bisa dikontrol, dianalisis, diletakkan di bawah mikroskop, disayat-sayat dengan pisau, dibawa ke labarotarium, dan sebagainya.

Sains berkembang pesat dengan cara ini. Dengan demikian, kata Muthahhari, ia “Bisa memenuhi seluruh halaman sebuah buku dengan pengetahuan tentang sehelai daun.” Pengetahuan yang dihasilkannya pun amat eksak, berpresisi, dan teliti.

Meski demikian metode ini pada saat yang sama memiliki keterbatasan: pengetahuan yang dihasilkannya tak pernah lengkap dan tak boleh berpretensi lengkap. Dalam pandangan sains, ujarnya, “Alam semesta adalah bagaikan buku yang halaman pertama dan terakhirnya telah hilang.” Selain itu, perkembangan sains yang pesat juga berarti bahwa kebenaran yang dihasilkannya tak stabil.[6]

Kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan tersebut menghindarkan seseorang dari terjebak dalam saintisme. “Saintisme” bisa didefinisikan sebagai pandangan yang melihat sains sebagai semacam pandangan dunia, sebagai berkemampuan menghasilkan sistem konseptual yang menyeluruh mengenai dunia.

Sebagian kaum ilmuwan ateis meyakini hal ini, dan menganggap bahwa kini sains modern sudah dapat menggantikan peran agama sebagai basis pandangan dunia. Sementara itu, banyak pemikir religius berbagi keyakinan serupa, bahwa sains modern merupakan alternatif agama, meskipun kemudian memilih membela agama dengan mengorbankan sains.

Bagi Muthahhari kedua kelompok ini berbagi kekeliruan yang sama: melihat sains sebagai basis pandangan dunia. Dalam situasi ini hanya ada dua pilihan: menolak sains atau menolak agama. Sembari mengakui kelebihan sains, Muthahhari menolak “pandangan dunia sains” dengan tegas.

Perbedaannya dengan para pemikir dalam kelompok (3) di atas adalah, dia melihat bahwa kita dapat memisahkan sains dari apa yang disebut pandangan dunia sains, sementara para pemikir tersebut melihat ini sebagai kemustahilan. Sampai di sini kita kembali pada pernyataan pokok di awal tulisan ini: pentingnya memisahkan sains dari tafsir filosofis atasnya.

Bagaimana Muthahhari melakukan pembedaan dan pemisahan ini? Contoh terbaik untuk ini ada dalam pembahasannya mengenai teori evolusi Darwin. Inilah teori yang memang amat kontroversial di banyak kalangan beragama (setidaknya Islam, Kristen, dan Hindu), dan yang—kita beruntung—merupakan satu-satunya teori ilmiah yang dibahas Muthahhari dengan cukup terperinci.[7] 

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Tulisan ini merupakan makalah yang pernah beliau sampaikan pada acara Seminar Sehari Pemikiran Muthahhari  “Teologi Islam dan Persoalan Kontemporer”, 15 Mei 2004. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.

[2] Mehdi Golshani, “Muthahhari’s Deep and Philosophical Encounter with Modern Science”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Pemikiran Muthahhari di Jakarta, 8 Mei 2004, Islamic College of Adncanced Studies dan Jurusan Filsafat Universitas Paramadina.

[3] Sekali lagi, perlu ditekankan, bahwa kritik ini diajukan terhadap beberapa versi proyek islamisasi/ sains Islam yang cukup populer. Dalam beberapa versinya yang lain, seperti diajukan Mehdi Golshani dalam tulisannya “How to Make Sense of Islamic Science” (dimuat dalam Issues in Islam and Science, 2004), kritik di atas tak mengena. Golshani dalam artikel itu memahami “sains Islam” sebagai aktifitas pemberian tafsir filosofis Islami; ini adalah aktifitas di luar wilayah sains per se. Konsekuensinya, Muslim tak selayaknya memiliki keberatan untuk mengadopsi sains modern sepenuhnya.

[4] Banyak contoh mengenai ini bisa dilihat dalam buku Parvez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas- Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Mizan, 1996; buku aslinya: 1992.

[5] Fundamentals of Islamic Thought, 1985, h. 31-38. (Bab “Manusia dan Agama”) Catatan: bab-bab dalam buku yang saya gunakan di sini semuanya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam serial buku-buku kecil yang diterbitkan Mizan dan Yayasan Muthahhari beberapa tahun silam. Dalam setiap kutipan dari buku tersebut di bawah ini saya sertakan juga judul babnya, yang merupakan judul buku-buku kecil itu.

[6] Fundamentals of Islamic Thought, 1985, h. 68-71. (Bab “Pandangan Dunia Tauhid”)

[7] Muthahhari membahas evolusi terutama dalam bab tentang “Ruh, Materi, dan Kehidupan” dalam Fundamentals of Islamic Thought, 1985, h. 181-216. Nomor halaman yang saya cantumkan di bawah mengacu pada bab ini. Beberapa paragraf dari pembahasan di bawah ini saya ambil dari tulisan saya berjudul “Tuhan dalam Evolusi” di Koran Tempo, September 2002.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*