Aku belum pernah menyaksikan seseorang yang mampu menghafal syair-syair, berbagai informasi, ilmu sanad dan silsilah seperti Abul Faraj. Dia sangat menguasai bahasa, tata bahasa, metode, serta hikayat peperangan bangsa Arab.
Oleh Khoirul Imam[1]
Sebagai pembaca awam, penulis merasa tertarik lebih dalam untuk mengkaji kitab ini. Selain mengundang ketidaksetujuan sejumlah pemikir dan ulama, karya ini tak jarang membuahkan pujian yang luar biasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebuah karya atau pemikiran manakala mengundang kontroversi dan ragam tanggapan berarti cukup dipertimbangkan; antara kritik dan pujian, bahkan dapat dianggap sebagai karya yang besar.
Setelah membaca berbagai kritik dan komentar negatif pada bagian sebelumnya, ada baiknya ditampilkan pula pujian-pujian atas kitab al-Aghani ini. Seperti ungkapan Yaqut al-Hamawi di dalam Mujam al-Adibba, bahwa karya ini memiliki posisi terhormat dan menjadi perbincangan luas karena di dalamnya mengandung banyak manfaat dan ilmu yang agung; keseriusan, orisinalitas, anekdot, dan nestapa. Saya mengkaji dan menelaahnya secara serius dan berkali-kali, lalu menulis sepuluh jilid kitab dengan merujuk kitab tersebut.[2]
Tak ketinggalan Ibnu Khaldun juga memberikan komentar positif atas kitab tersebut, sebagaimana dikutip Rabi as-Samlali,[3] dia mengatakan bahwa Abul Faraj telah menulis karya monumental. Karya tersebut merepresentasikan dirinya (huwa ma huwa). Dia juga mengkodifikasi berbagai informasi, catatan penting, silsilah, peristiwa, dan dinasti bangsa Arab.
Dalam menuliskan karyanya, Abul Faraj mengkonstruksikannya melalui nyanyian dan senandung dalam seratus langgam atau nyanyian (shaut) yang dipilihkan para musisi untuk Khalifah Harun ar-Rasyid. Dengan begitu, dia sangat menguasai seluruhnya dengan sempurna.
Bagi saya, kitab itu layaknya kumpulan syair Arab dan kompilasi keindahan seni, sastra, sejarah, nyanyian, dan segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan tradisi Arab. Maka, sejauh yang kita tahu tidak ada kitab yang sebanding dengannya. Dan inilah posisi puncak yang pernah dicapai oleh seorang sastrawan.
Dalam hal ini, Ibnu Katsir menyatakan di dalam kitab Tarikh-nya, bahwasanya Abul Faraj adalah seorang penyair, sastrawan, sekaligus penulis. Meski dalam pernyataannya ada nuansa menyayangkan karena dia adalah seorang penganut Syiah.
Senada dengannya, adz-Dzahabi juga menambahkan bahwa Abul Faraj adalah samudera dalam bidang sastra Arab. Dia mengetahui secara mendetail perihal ilmu silsilah dan berbagai peristiwa bangsa Arab, sekaligus seorang penyair yang bagus.[4]
Demikian pula Ali at-Tanuhi juga mengakuinya dengan ungkapan: “Aku belum pernah menyaksikan seseorang yang mampu mampu menghafal syair-syair, berbagai informasi, ilmu sanad, dan silsilah seperti Abul Faraj. Dia sangat menguasai bahasa, gaya bahasa dan metode, serta hikayat peperangan bangsa Arab.” Sementara Abul Hasan al-Bati, seorang penyair Iraq bermazhab Muktazilah menyatakan bahwa tidak ada orang yang lebih terpercaya (tsiqah) daripada Abul Faraj al-Ashfahani.[5]
Memang, diakui atau tidak karya tersebut sangat berharga, terutama sebagai sumber utama dalam menggali biografi para penyair dan sastrawan. Di dalamnya memuat hampir 500 biografi penyair baik laki-laki maupun perempuan yang hidup pada era Jahiliah, masa Islam, hingga era awal Khalifah Abbasiyah.
Hal ini seperti disampaikan oleh budayawan Arab kontemporer, Allamah Amjad ath-Tharabulisi bahwa Kitab al-Aghani karya Abul Faraj al-Ashfahani sejatinya merupakan ensiklopedi sastrawan klasik terlengkap yang telah dikembangkan kepustakaan Arab. Kitab ini merupakan sumber otoritatif yang memuat biografi para penyair Arab hingga akhir abad ketiga Hijriah.[6]
Tidak hanya pemikir dan sastrawan Arab, para orientalis juga banyak melayangkan pujian atas kitab ini. beberapa di antaranya seperti pernyataan Philip K. Hitti bahwa al-Aghani karya Abul Faraj al-Asfahani memuat sebagian besar data yang bernilai tentang geneologi, serta contoh-contoh prosa bersajak yang dinisbatkan kepada para dukun pra-Islam.[7]
Apresiasi Philip K. Hitti atas karya ini seakan-akan dia menjadikannya sebagai referensi utama dalam penulisan History of The Arabs, dengan sekurangnya terdapat 53 kutipan yang bervariasi yang merujuk ke kitab al-Aghani. Ini menandakan kitab ini mengandung ulasan yang luas yang memungkinkan menjadikannya sebagai referensi historis.
Lebih dari itu, pujian sekilas juga ditunjukkan oleh Killpatrick dalam Encyclopedia of Arabic Literature yangmenyatakan, “Meskipun tulisan tentang nyanyian telah banyak dikenal, namun al-Aghani karya Abul Faraj tergolong unik dalam ranah ini. Karena dia memberikan penjelasan yang sangat kaya bagi penulis selanjutnya. Penelitian modern telah banyak melakukan kajian mendalam atas kitab tersebut sekaligus menjadikannya sebagai sumber kesusasteraan dan sejarah kebudayaan.”[8]
Di dalam kajiannya, George Dimitri Sawa[9] juga merangkum berbagai penilaian atas kitab tersebut. Misalnya ungkapan Ahsan di dalam bukunya yang berjudul Social Life Under the Abbasid. Dia mengatakan bahwa karya ini menjadi sumber sejarah sosial periode awal kekhalifahan Abbasiyah yang sangat diperlukan. Beberapa tema tentang aspek sejarah sosial Islam dituliskan secara mendetail.
Sawa juga mengutip pendapat Brockelmann dan H.A.R. Gibb yang secara tegas memuji kitab tersebut. Brockelmaan, misalnya, menganggap bahwa secara umum karya ini sangat penting sebagai rujukan dalam studi sejarah peradaban. Sementara Gibb menemukan pemandangan yang sangat luas tentang sejarah Arab dan Islam awal, sekaligus pranata atau tradisi yang kurang seimbang dalam setiap kemunduran literasi hingga era modern.
Dari beberapa pujian ini di atas, perlu diketahui bahwa kitab ini adalah kitab pertama yang fokus mengkaji tentang seni musik Arab, serta biografi para musisi dan penyanyi sejak dicetuskannya musik dan nyanyian bagi bangsa Arab. Selain itu, karya ini menjadi sumber pertama dan terpenting yang secara detail membahas tentang peradaban Arab secara umum, dan terutama abad ketiga hijriyah.
Walaupun demikian, para pengkaji kitab ini tentu harus membedakan ranah periwatan yang ada di dalamnya dengan riwayat dalam hadis dan sirah nabawiyah, yang mungkin telah disepakati kebenarannya, semisal riwayat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dalam mengkaji kitab ini, para pengkaji dituntut waspada, atau setidaknya perlu membandingkan dengan karya-karya lainnya. Hal ini untuk menghindari informasi sepihak dan kesimpulan yang salah kaprah (jumping conclusion), terutama berkenaan dengan nama-nama ulama, khalifah, mentri, penyair-sastrawan, dan ilmuwan (mens bibliography) masa itu. Wallahu alam bish shawab.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Staf Pengajar Institut Ilmu Al Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta
[2] Yaqut al-Hamawi, Mu’jam al-Adibba`, tahqiq: Ihsan Abbas (Lebanon: Dar al-Gharb, 1993), juz. IV, hlm. 1708.
[3] Rabi’ as-Samlali, “Wa Yas’alunaka an Kitab al-Aghani” dalam http://howiyapress.com/ akses 8 Desember 2019
[4] Adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, tahqiq: Ali Muhammad al-Bajawi, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, tt.), juz. III, hlm. 124
[5] Rabi’ as-Samlali, “Wa Yas’alunaka an Kitab al-Aghani.,”
[6] Ibid.
[7] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 114
[8] Julie Scott Meisami dan Paul Starkey (Ed.) “Encyclopedia of Arabic Literatur” (London dan New York: Routledge, 1998), vol. I, hlm. 31
[9] George Dimitri Sawa, Music and Performance Practise in the Early Abbasid Era 132-320 H/ 750-932 M (Canada: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1989), hlm. 24-25