Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (14): Baghdad

in Travel

Last updated on February 13th, 2018 01:32 pm

“Ibnu Bathuthah tiba di Baghdad, di antara sekian banyak hal yang menarik bagi Ibnu Bathuthah di antaranya adalah keberadaan salah satu universitas tertua di dunia, Universitas al-Mustansiriya; Bayt Al-Hikmah (House of Wisdom/Rumah Kebijaksanaan); dan Pemandian Umum (Hamam)”

–O–

Ibnu Bathuthah melanjutkan perjalanan dengan teman seperjalanan lainnya dan tiba di Baghdad, ibukota satu-satunya Dinasti Abbasiyah. Tapi Baghdad telah dihancurkan oleh invasi bangsa Mongol. Dia pergi ke sana untuk menghormati masa lalu dan berjalan di antara reruntuhan, membayangkan arwah-arwah dari mereka yang pernah tinggal di ibukota yang megah itu dengan populasi sekitar satu juta orang. “Garis keturunan lahiriahnya telah pergi dan tidak ada yang tersisa darinya kecuali namanya … Keindahannya tidak lagi dapat dilihat, atau menarik bagi orang yang sibuk untuk meninggalkan urusannya hanya sekedar untuk melihat.”[1]

Namun tidak seburuk itu. Nyatanya orang-orang Mongol tidak menghancurkan Baghdad secara total, mereka masih banyak menyisakan bangunan-bangunan umum dan membiarkan sedikit orang agar tetap hidup.  Ketika tentara Hulagu selesai memporakporandakan Baghdad, dia memerintahkan untuk merestorasi kota tersebut. Namun sayangnya setelah keruntuhan Dinasti Abbasiyah, Baghdad tidak lagi menjadi penting bagi Timur Tengah.[2]

 

Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan)

Walaupun demikian, meskipun banyak universitas dihancurkan, salah satu universitas yang dibangun pada tahun 1227 (lebih dari seratus tahun sebelum kunjungan Ibn Battuta) masih beroperasi. Perguruan tinggi tersebut direstorasi, dan meskipun beberapa dekade setelahnya peperangan terus terjadi di Irak, universitas tersebut tetap buka dan beroperasi.[3]

Universitas al-Mustansiriya, didirikan di Baghdad tahun 1227 M oleh Khalifah al-Mustansir. Photo: @Lamhatiraqia/Twitter

Universitas yang dimaksud adalah Universitas al-Mustansiriya, didirikan di Baghdad tahun 1227 M oleh Khalifah al-Mustansir, merupakan salah satu universitas tertua di dunia. Ketika di abad pertengahan Eropa sedang mengalami abad kegelapan, sebaliknya, justru Timur Tengah sedang mengalami abad keemasan.[4]

Artikel terkait:

Di Baghdad, terdapat sebuah perpustakaan terkenal yang bernama Bayt Al-Hikmah (House of Wisdom/Rumah Kebijaksanaan). Bayt Al-Hikmah menarik perhatian seluruh ilmuwan dari seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah. Orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, mencurahkan waktunya untuk mempelajari karya-karya ilmiah Yunani kuno.Tidak hanya itu, bahkan mereka juga menambahkan dan memperluas temuan-temuan baru menggunakan metode ilmiah yang mereka ciptakan sendiri—sebuah fakta yang jarang diketahui oleh dunia barat saat ini.[5]

Banyak faktor yang membuat Timur Tengah mengalami masa keemasan, salah satunya adalah semangat menggebu menerjemahkan bahasa-bahasa kuno ke dalam bahasa Arab. Di masa kekhalifahan Abbasiyah, kemampuan menerjemahkan menjadi faktor kunci berkembangnya ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah.[6]

 

Pemandian Umum (Hamam)

Salah satu hal yang menarik bagi Ibnu Bathuthah selama tinggal di Baghdad adalah pemandian umumnya (hamam). Ibnu Bathuthah mendapatkan banyak hamam di Bagdad, dia menggambarkan hamam tersebut dilukis dengan warna-warna pastel dan dekorasinya menggunakan marmer hitam. Sumber air panas hamam tersebut berasal dari daerah antara Kufah dan Basra yang airnya mengalir terus menerus.[7] Terkait ajaran Islam, kebersihan dianjurkan di dalam al-Quran, dan setiap Muslim diwajibkan untuk menjaga kebersihannya sebaik mungkin.[8]

Di bawah ini adalah salah satu hamam yang telah didekorasi ulang, namun tempat ini sudah ada pada waktu Ibnu Bathuthah mengunjungi Baghdad. Para laki-laki menggunakan handuk di pinggangnya, sementara dua handuk lainnya digunakan untuk mengeringkan diri. Mereka juga membawa semacam ember kecil untuk menyiuk air. Seorang pelayan terkadang membantu memandikan para pengunjung. Sebagian besar hamam, umumnya memiliki air panas dan dingin.[9]

Hamam yang telah didekorasi ulang, namun tempat ini sudah ada pada waktu Ibnu Bathuthah mengunjungi Baghdad. Photo: orias.berkeley.edu

“Setiap orang diberi tiga handuk, satu untuk dikenakan di sekeliling pinggangnya saat dia masuk, yang lain dikenakan di sekeliling pinggangnya saat dia keluar, dan yang ketiga untuk mengeringkan tubuhnya. Tiada kota lain selain Baghdad yang aku lihat melakukan pengaturan serinci ini, walaupun terdapat beberapa kota lain yang mendekatinya dalam hal ini,” kata Ibnu Bathuthah.[10] (PH)

Bersambung ke:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (15): Bertemu Raja Persia-Mongol

Sebelumnya:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (13): Imam Mahdi

Catatan Kaki:

[1] Ibn Jabayr dalam Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm 97, dalam Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, Iraq and Persia: 1326 – 1327”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/iraq-and-persia-1326-1327, diakses 12 Februari 2018.

[2] Nick Bartel, Ibid.

[3] Ibid.

[4] Anne Allmeling, “The Golden Age of Learning in the Arab-speaking World”, a review of ”The House of Wisdom” by Jim Al-Khalili, dari laman http://en.qantara.de/content/the-house-of-wisdom-by-jim-al-khalili-the-golden-age-of-learning-in-the-arab-speaking-world, diakses 12 Februari 2018.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 99.

[8] Nick Bartel, Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibn Battuta, Loc. Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*