Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (15): Bertemu Raja Persia-Mongol

in Travel

“Il-khan adalah contoh bagaimana keturunan prajurit Mongol dapat berkonversi menjadi orang Persia dan Muslim.  Dia seorang Muslim sejati yang menguasai sastra, dia mampu menulis baik bahasa Arab maupun Persia. Di bidang seni, Il-Khan bisa memainkan kecapi, menulis lagu, dan juga puisi. Sementara itu, sebagai penguasa, dia dinilai dapat memerintah dengan bijak.

–O–

Raja Persia-Mongol pertama, Hulagu Khan bersama istri Kristennya yang bernama Doquz Khatun. Hulagu Khan adalah leluhur dari Sultan Agung Abu Sa‘id Bahadur Khan. Abu Sa‘id menjadi penutup dari kekaisaran Mongol-Persia. Photo: Lukisan karya Rashid al’Din

Kedatangan Ibnu Bathuthah di Baghdad bertepatan dengan kedatangan Sultan Agung Abu Sa‘id Bahadur Khan, atau biasa disebut dengan gelar Il-Khan (Raja Agung).[1] Sultan Abu Sa’id merupakan putra dari Sultan Muhammad Khudabanda yang sebelumnya merupakan Raja Mongol non-Muslim. Sultan Khudabanda bersahabat baik dengan ulama setempat, dan suatu hari dia memutuskan untuk masuk Islam. Masuknya Sultan Khudabanda ke agama Islam juga diikuti oleh orang-orang Tatar (prajurit Mongol).[2]

Il-Khan berusia sekitar satu tahun lebih muda dari Ibnu Bathuthah. Dia menggambarkan Sang Raja sebagai “makhluk terindah ciptaan Allah.” Ibnu Bathuthah mengaguminya sebagai seorang Muslim sejati yang menguasai sastra, dia mampu menulis baik bahasa Arab maupun Persia. Di bidang seni, Il-Khan bisa memainkan kecapi, menulis lagu, dan juga puisi. Sementara itu, sebagai penguasa, dia dinilai dapat memerintah dengan bijak. Il-khan adalah contoh bagaimana keturunan prajurit Mongol dapat berkonversi menjadi orang Persia dan Muslim.[3]

Sejarawan Ross E. Dunn mengatakan, “mungkin jika dia (Il-Khan) memerintah lebih lama dia akan menjadi pembangun yang hebat…. Apa yang terjadi adalah tatanan politik yang dia bangun dalam delapan tahun terakhir pemerintahannya tidak cukup kuat untuk mempertahankan rezimnya, yang mana runtuh total pada kematiannya pada tahun 1335 M, meninggalkan Persia untuk menghadapi sisa abad tersebut dalam fragmentasi dan perang.”[4]

 

Bertemu Il-Khan

Ketika Il-Khan datang, Ibnu Bathuthah menyaksikan prosesinya, “ketika [para pemimpin militer datang dengan pasukan mereka, pemain genderang, dan pembawa bendera] dan barisan mereka diatur dengan sempurna, perangkat kerajaan, dan genderang, terompet, dan seruling dibunyikan untuk kedatangan [Raja]. Masing-masing Amir [pemimpin militer] maju, memberi hormat kepada Raja … Di antara para pemusik ada sepuluh orang yang berkuda yang membawa sepuluh genderang yang digantungkan ke leher mereka menggunakan tali, dan  lima penunggang kuda lainnya membawa lima pipa buluh…. Di sebelah kanan dan kiri Sultan selama pawai terdapat pemimpin militer yang jumlahnya sekitar lima puluh orang,” kata Ibnu Bathuthah.[5]

Ibnu Bathuthah kemudian mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan rombongan kerajaan untuk melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Tabriz, yang mana merupakan salah satu kota terpenting di Persia (ibukota pertama Il-Khans). Ketika invasi pertama bangsa Mongol, penduduk kota Tabriz cukup bijaksana untuk menyambut mereka ke dalam kota tanpa perlawanan. Selanjutnya Tabriz menjadi ibu kota bagi penguasa Mongol, kota ini telah menjadi tempat penting di sepanjang Jalur Sutra dengan koloni orang-orang dari Venesia, Genoa, dan negara-negara Eropa lainnya serta Armenia, Arab, dan bahkan pedagang China. Di sana juga terdapat beberapa Gereja Kristen. Kota internasional ini merupakan salah satu pusat pembelajaran dan budaya terbesar selama abad ke-14 setelah invasi bangsa Mongol.[6]

Di Tabriz, salah seorang Amir memberi tahu Il-Khan perihal Ibnu Bathuthah yang ikut serta dalam rombongan. Kemudian Il-Khan memanggil Ibnu Bathuthah, “Sultan bertanya kepadaku tentang negaraku, dan memberiku jubah dan kuda. Amir mengatakan kepadanya bahwa aku bermaksud pergi ke Hijaz, kemudian dia memberi perintah agar aku diberi bekal dan melakukan perjalanan dengan diiringi oleh komandan kafilah peziarah, dan menulis perintah tembusan kepada Gubernur Baghdad, ” kata Ibnu Bathuthah.[7]

 

Kisah Cinta Berujung Kematian

Ketika Sultan Muhammad Khudabanda (ayah Il-Khan) meninggal, salah seorang Amirnya yang bernama Juban melakukan pengkhianatan dan berniat untuk mengambil alih kekuasaan. Namun Il-Khan berhasil mengalahkan Juban dan mempertahankan kekuasaaan. Juban mempunyai seorang putri yang bernama Baghdad Khatun yang terkenal akan kecantikannya. Baghdad Khatun disebut-sebut sebagai perempuan paling cantik pada masanya.[8]

Pada saat Il-Khan berkuasa Baghdad Khatun sudah menikah dengan Syekh Hasan. Syekh Hasan sendiri merupakan sepupu Il-Khan dari adik perempuan ayahnya. Rupanya Il-Khan berhasrat untuk mempersunting Baghdad Khatun, dia kemudian memerintahkan Syekh Hasan untuk menceraikan Baghdad Khatun. Akhirnya Baghdad Khatun dinikahi oleh Il-Khan, dan dia menjadi istri kesayangan di antara istri lainnya.[9]

Dalam tradisi Mongol-Persia, setiap istri Raja diberikan pengaruh yang penting dalam pemerintahan. Masing-masing istri diberi mandat untuk memimpin beberapa kota, distrik, dan mengelola pendapatan negara. Karena kegiatan pemerintahan yang padat Il-Khan dan Baghdad Khatun terpisah cukup lama dan berjauhan. Kemudian terdengarlah kabar, di tempat lain Il-Khan menikahi perempuan lainnya yang bernama Dilshad.[10]

Il-Khan diberitakan sangat menyukai istri barunya tersebut. Baghdad Khatun yang merasa diabaikan sangat cemburu, dan dia merencanakan pembunuhan terhadap Il-Khan. Singkat kata, Il-Khan berhasil dibunuh oleh Baghdad Khatun menggunakan sapu tangan beracun. Saat kematiannya, Il-Khan sama sekali tidak meninggalkan keturunan. Karena tidak ada pewaris kekuasaan, dataran Persia menjadi kacau, masing-masing Amir saling bertarung untuk memperoleh kekuasaan. Sampai akhir abad ke-14, Persia terus dilanda peperangan dan fragmentasi kekuasaan.[11]

Di kemudian hari, para Amir mengetahui bahwa dalang pembunuhan Il-Khan adalah Baghdad Khatun. Khwaja Lu’lu’, seorang mantan budak Yunani yang telah menjadi salah seorang Amir besar, suatu hari mendatangi Baghdad Khatun ketika sedang mandi. Dia kemudian memukuli Baghdad Khatun dengan pentungan sampai mati. Jenazahnya dibiarkan di sana selama beberapa hari hanya ditutupi dengan selembar karung.[12] (PH)

Bersambung….

Sebelumnya:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (14): Baghdad

Catatan Kaki:

[1] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 93.

[2] Ibid., hlm 93.

[3] Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, Iraq and Persia: 1326 – 1327”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/iraq-and-persia-1326-1327, diakses 13 Februari 2018.

[4] Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm 99, dalam Nick Bartel, Ibid.

[5] Nick Bartel, Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibn Battuta, Ibid., hlm 102.

[8] Ibid., hlm 100.

[9] Ibid., hlm 100-101.

[10] Ibid., hlm 101.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

2 Comments

  1. menunggu lanjutan riwayat
    Ibnu Bathuthah,
    setelah
    Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (15):
    Bertemu Raja Persia-Mongol

  2. menunggu lanjutan riwayat
    Ibnu Bathuthah,
    setelah
    Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (15):
    Bertemu Raja Persia-Mongol

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*