Tentang kejanggalan hubungan nasab antara Arya Damar dengan Raden Fatah yang tercatat dalam Babad Tanah Jawi, Prof. Dr. Slamet Muljana berkomentar dalam bukunya: “…Dalam hal ini pemberitaan Babad Tanah Jawi agak jumbuh (teledor). Hal ini dapat dipahami.”
Arya Damar, bisa dikatakan sosok cukup penting dalam rangkaian kisah sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Bukan hanya karena dia menjadi ayah dan juga guru pertama dari Raden Fatah, tapi juga karena perannya yang cukup sentral di akhir masa Majapahit. Tak mengherankan bila namanya banyak tercatat di dalam naskah kuno Nusantara dan juga Cina.
Tentang kesimpangsiuran hubungan nasab antara Arya Damar dengan Raden Fatah yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Prof. Dr. Slamet Muljana menjelaskan dalam karyanya berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”, bahwa Arya Damar dalam kronik Tionghoa dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang, dikenal dengan nama Swan Liong. Dia adalah putra dari raja Majapahit yang bergelar Hyang Wi Si Sa. Adapun raja Majapahit yang menyebut dirinya Hyang Wisesa adalah Wikramawardhana, suami Kusumawardhani. Jadi, Arya Damar atau Swan Liong bukan putra Kertabumi, tapi putra dari Prabu Wikramawardhana yang memerintah dari tahun 1389 sampai 1427.[1]
Dalam Kronik klenteng Semarang juga disebutkan, bahwa ibu Arya Damar bukanlah pribumi Majapahit, melainkan seorang peranakan Tionghoa dari Cangki/Majakerta. Dengan demikian, bila informasi Klenteng Semarang tepat, bisa diduga bahwa Raja Wikramawardhana, selain menikah dengan Kusumawardhani, putri Prabu Hayam Wuruk, juga menikahi putri Cina dari Cangki/Majakerta.[2]
Lebih jauh, dalam naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang, dikatakan bahwa “Swan Liong di Kakang (Palembang), dari tahun 1456 (5) sampai 1471, mengasuh dua anak laki-laki bernama Jin Bun dan Kin San. Jin Bun adalah keturunan raja Majapahit KUNG TANG BUMI.”[3]
Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana, nama raja Majapahit yang bunyinya mirip sekali dengan KUNG TANG BUMI adalah Raja Kertabumi, raja Majapahit terakhir, yang memerintah dari tahun 1474 sampai 1478.[4] Agaknya ini juga yang menjadi alasan Prof. Dr. Slamet Muljana menyatakan bahwa Raden Fatah adalah putra dari Kertabumi.
Adapun nama Jin Bun yang disebut dalam dalam naskah Klenteng Sam Po Kong di Semarang tersebut, tidak lain adalah Raden Fatah. Hal ini merujuk pada informasi yang tertulis dalam Serta Kanda yang menyatakan, bahwa setelah Raden Patah berhasil menaklukan Majapahit, diwisuda sebagai Panembahan Jimbun. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Patah juga bernama Senapati Jimbun. Baik Babad Tanah Jawi maupun Serat Kanda menceritakan bahwa Raden Patah diasuh oleh Arya Damar di Palembang. Dengan demikian, Panembahan Jimbun (Serat Kanda) atau Senapati Jimbun (Babad Tanah Jawi) sama dengan Jin Bun (Kronik dari Klenteng Semarang).[5]
Adapun tentang kejanggalan kisah yang ada di Babad Tanah Jawi, Prof. Dr. Slamet Muljana berkomentar dalam bukunya sebagai berikut: “Uraian Babad Tanah Jawi di atas memberi kesan bahwa Raden Patah adalah saudara sebapak dengan Arya Damar. Hal ini sama sekali tidak benar, karena menurut kronik Tionghoa dari klenteng Semarang, ayah Arya Damar adalah Hyang Wisesa dan ayah Raden Patah adalah Kung Ta Bu Mi. Yang pertama memerintah dari tahun 1389 sampai tahun 1427; yang kemudian memerintah dari tahun 1474 sampai 1478. Keduanya memang lahir dari wanita Toinghoa, tetapi baik ibu maupun bapaknya berbeda. Dalam hal ini pemberitaan Babad Tanah Jawi agak jumbuh (teledor). Hal ini dapat dipahami.”[6]
Sedikit berbeda dengan pendapat Prof. Dr. Slamet Muljana, Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo agaknya kurang memberi perhatian pada kejanggalan nasab ini. Meski begitu, dia mengisahkan bahwa Arya Damar dalam historiografi Nusantara memiliki jasa yang sangat besar pada Majapahit, khususnya pada era pemerintahan Rani Suhita yang naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Wikramawardhana. [7]
Kiprah Arya Damar yang begitu menonjol tersebut, tidak lain karena didukung oleh kedudukannya yang begitu penting, yaitu sebagai adik tiri Rani Suhita. Dengan kata lain, Agus Sunyoto sebenarnya juga menkonfirmasi bahwa ayah dari Arya Damar, adalah Prabu Wikramawardhana. Meski begitu, Agus Sunyoto lebih berpendapat, bahwa ayah dari Raden Fatah, bukanlah Kertabumi, melainkan Kertawijaya. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LKiS, 2013, hal. 87
[2] Ibid
[3] Ibid, hal. 86
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, hal. 89
[7] Dalam cerita tutur Jawa-Bali bertajuk Usana Jawa dan Pamacangah, dikisahkan Arya Damar adalah pahlawan yang berhasil menaklukkan seluruh Bali pada masa pemerintahan Rani Suhita. Setelah menaklukkan Bali, Arya Damar dikisahkan berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Pasunggiri. Kemudian, Arya Damar juga ikut dalam upaya memedamkam pemberontakan yang dilakukan oleh Bre Daha, putra Bre Wirabumi pada tahun 1434 M. Menurut Pararaton, dalam pemberontakan yang dilakukannya, Bre Daha bahkan sempat menguasai Istana Majapahit. Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 97-103