Prof. Hamka dalam salah satu prasarannya di Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia tahun 1980, menyatakan bahwa tafsir Al Quran tertua yang memuat lengkap 30 Juz, dengan ditulis dalam bahasa Melayu adalah Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd ar-Ra’uf bin ‘Ali al-Jawiyy al-Fansuriyy as-Sinkiliyy, atau dikenal dengan Syeik Abdurrauf al-Sinkily yang diperkirakan hidup antara tahun 1615-1693 M.[1]
Dr. Rinkes seorang sarjana Belanda dan turut aktif membangun Serikat Islam (SI) sekitar 1915, dalam disertasinya yang berjudul “Abdurrauf Van Singkel”, menyebut nama lengkap beliau, yaitu Syaikh Aminuddin Abdurrauf bin ‘Ali Al Jawy, Tsummal Fanshuri As Sinkily.[2]
Terkait adanya nama Jawy pada nama Syeik Abdurrauf, menurut Hamka, sejak dulu Ibn Batutah kerap menyebut penduduk Nusantara sebagai orang Jawi. Meskipun Ibn Batutah tercatat pernah berkunjung ke Aceh, namun dalam catatatnya beliau menamakan penduduk Siam (Thailand), pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi dan Mindano (Filipina Sekarang), dengan sebutan Jawy. Catatan ini kemudian terkenal dan menjadi lingua franca internasional tentang Nusantara. Maka tidak mengherankan bila Syeik Abdurrauf memperkenalkan dirinya dengan nama Jawy.[3]
Adapun asal usul Syeik Abdurrauf sendiri berasal dari daerah Barus. Ini sebabnya ia menggunakan nama Al Fanshury, sebab pada masa lalu, masyarakat lebih banyak menyebut Barus dengan Pancur atau Fansur. Sedang As Sinkily menunjukkan daerah Singkel yang letaknya berada di Pesisir sebelah barat Pulau Sumatera. Jarak antara Barus dengan Sinkel ini menurut Hamka hanya 60 Km saja.[4]
Syeik Abdurrauf menjabat sebagai mufti Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelaran “Qadi Malik al-Adil” pada tahun 1665 M, atau pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam. Kedudukan yang begitu tinggi ini tidak sekonyong-konyong ia dapatkan. Dikabarkan selama puluhan tahun beliau sudah merantau menuntut ilmu hingga ka tanah Arab, sampai akhirnya menguasai begitu banyak ilmu agama baik di bidang Tafsir al-Qur’an, hadis, aqidah, fiqih, dll. Banyaknya karya yang dibuat oleh beliau semasa hidupnya menunjukkan bukti kedalaman ilmunya. Beberapa diantaranya, di bidang Fiqih, beliau menulis kitab Majmu’ul Masaa-il (Kumpulan masalah-masalah), ataupun dalam hal akhlaq beliau menulis kitab yang berjudul Al Mawaa’zh Al Badii’ah.[5] Dan dalam bidang Tafsir Al Quran, beliau menulis Tafsir Tarjuman al-Mustafid, yang merupakan magnum opus-nya.
Salah satu kelebihan kitab-kitab karangan Syeik Abdurrauf adalah kontekstualitasnya. Menurut Hamka, Kitab-kitab yang ditulisnya selalu menyesuaikan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Islam di Nusantara pada waktu itu, khususnya di wilayah Aceh Darussalam. Ia mengadaptasikan ilmu-ilmu agama yang dibawanya ke dalam bahasa-bahasa yang ringan, mudah dimengerti oleh masyarakat, dan langsung menjawab ke pokok persoalan. Hal yang sama juga terjadi pada Tafsir Tarjuman al-Mustafid, dimana beliau menulis ini dengan Bahasa Melayu lengkap 30 Juz, dengan penjelasan yang singkat, dan tidak panjang lebar. Sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh para pembaca yang awam sekalipun.
Terdapat cukup banyak komentar terkait Tafsir Al Quran pertama di Nusantara ini, diantaranya yang menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid tidak lain merupakan terjemah dari Tafsir al-Baydlawi. Pendapat ini muncul dari Christian Snouck Hurgronje. Serta Peter Riddle yang berpendapat Tarjuman al-Mustafid sebagai terjemahan dari Tafsir Jalalayn, karya Jalaludin Al Suyuthi. Sedangkan menurut Prof. Azrumardi Azra, Tafsir Jalalayn memberikan pengaruh yang kuat pada Tafsir Tarjuman al-Mustafid.[6]
Namun bila melihat dari teks halaman pertama Tafsir “Turjuman al-Mustafid” pada gambar di atas, bisa dipastikan bahwa Turjuman al-Mustafid sebenarnya lebih merupakan terjemahan, atau adaptasi dari kitab “Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil” atau yang dikenal dengan “Tafsir al-Baidhawi” karangan al-Qadhi al-Baidhawi (w. 685 H/ 1286 M), sebuah kitab tafsir legendaris yang banyak tersebar dan dijadikan rujukan utama di dunia Sunni. Kenyataan ini terlihat pada kalimat pembuka “basmalah” pada halaman naskah di atas, yaitu: إنيله تفسير البيضاوي “inilah tafsir al-baidhawi”. Sementara itu, di sampul naskah kitab edisi tersebut, juga terdapat tulisan sebagai berikut:
“ترجمان المستفيد في تفسير القرآن المجيد يغ دترجمهكن دغن بهاس ملايو يغ دأمبيل ستنه معنان درفد تفسير البيضاوي”
(Turjuman al-Mustafid fi Tafsir al-Quran al-Majid yang diterjemahkan dengan bahasa Melayu yang diambil setengah ma’nanya daripada Tafsir al-Baidhawi).[7]
Dalam Jurnal Substansia disebutkan beberapa kelebihan dan kekuarangan Tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah sebagai berikut: 1) Selalu memulai dengan kata Basmalah; 2) Menjelaskan ayat-ayat secara berurutan dimulai dari surat al-Fatihah ditutup dengan Surat al-Nas; 3) Menjelaskan ayat-ayatnya dengan singkat padat dan mudah untuk dipahami, serta cocok bagi semua usia; 4) Sebelum menjelaskan ayat-ayatnya terlebih dahulu memperkenalkan surat yang akan dijelaskan. Seperti Nama surat, tempat turun, dan juga fadilah membaca surat tersebut serta jumlah ayat dalam surat tersebut; 5) Penjelasan ayat terletak berdampingan dengan ayat, artinya penjelasan ayat dan ayat terletak dalam satu halaman, sehingga mempermudahkan bagi pembaca; 6) Setiap penjelasan diberi kode tersendiri sesuai dengan penjelasan yang akan dijelaskan, seperti menjelaskan tentang bacaan para imam qiraat kode yang diberikan adalah kata ikhtilaf yang terletak didalam kurung dan kata “wallahu’alam” pada penutup penjelasan bacaan para imam qiraat tersebut. Penjelasan mengenai sebab turun ayat biasanya diberi kode atau tanda dengan kata qisah dalam kurung, dan lain sebagainya; 7) Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawi.[8]
Adapun kekurangannya antara lain: 1) Penjelasannya terlalu singkat sehingga tidak menambah wawasan bagi pembaca; 2) Tidak menjelaskan tentang sanad dan matan hadits ketika menjelaskan suatu ayat; 3) Tidak menjelaskan tentang sanad dan matan hadits pada penjelasan asbabun nuzul atau menjelaskan tentang yang lainnya.[9]
Syeik Abdurrauf meninggalkan pada tahun 1693 M dan ada juga yang berpendapat beliau meninggal pada tahun 1693 hingga 1695 M. Kemudian beliau dimakamkan di muara Sungai Aceh atau Kuala Krueng Aceh, Banda Aceh, bersebelahan dengan makam Tengku Anjung yang dianggap di Aceh. Oleh itu, masyarakat Aceh menggelar beliau sebagai “Tengku di Kuala” atau “Syiah Kuala”. (AL)
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Prof. DR. Hamka, “Aceh Serambi Mekah”, dalam Prof. A. Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 221
[2] Ibid, Hal. 222
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, Hal. 223-224
[6] Lihat, Suarni, Karakteristik Tafsir Tarjuman al-Mustafid, Jurnal Substantia, Volume 17 Nomor 2, http://substantiajurnal.org, Oktober 2015
[7] Lihat, http://www.nu.or.id/post/read/67951/turjuman-al-mustafid-tafsir-karya-ulama-aceh-terbit-di-turki, Diakses 18 Oktober 2017
[8] Suarni, Op Cit
[9] Ibid
Assalamu’alaikum,
Dimana saya bisa membeli kita Tafsi karangan syeikh Abdulrauh ini?
wassalam,