“Namanya Pangeran Wijil. Ia yang menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JAYABAYA” yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar. Harapannya agar dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.”
—Ο—
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga di belakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”. Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M.[1]
Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedaton ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah.
Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo” ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak dibasmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.[2]
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu diganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti di zaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama yang diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal.
Sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JAYABAYA” yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara yang dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad. Lalu dari hasil penelitiannya dicarikan inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.[3]
Cita-cita sang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukkan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup di abad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng. Ranggawarsita, cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.[4]
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Selesai
Sebelumnya:
Siapa Sebenarnya Prabu Jayabaya, Sang Peramal Masa Depan Nusantara? (1)
Catatan kaki:
Sumber tulisan: https://islamindonesia.id/siapa-dia/siapa-sebenarnya-prabu-jayabaya-sang-peramal-masa-depan-nusantara.htm, Sabtu, 25 Februari 2017
[1] Lihat, http://www.serunik.com/2014/04/inilah-isi-lengkap-ramalan-jayabaya.html, diakses 15 November 2017
[2] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya, diakses 15 November 2017
[3] Lihat, http://www.serunik.com/2014/04/inilah-isi-lengkap-ramalan-jayabaya.html, Op Cit
[4] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya, Op Cit