“Pada tengah malam saat Rabi’ah dilahirkan, sang ayah bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan memberitahu bahwa anaknya akan menjadi seorang perempuan yang utama”
–O–
Pada satu malam yang gelap gulita, dilahirkan seorang anak perempuan yang akan menjadi salah satu tokoh sufi wanita pertama dalam sejarah Islam. Fariduddin Al-Attar menceritakan, pada masa kelahirannya, Ismail ayahnya tidak memiliki satupun barang berharga, bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar anaknya yang baru lahir, apalagi minyak untuk menerangi malam dirumahnya. Tak ada sehelai benang pun di rumah tersebut untuk menyelimuti sang bayi. Istrinya meminta agar Ismail pergi ke tetangga untuk meminta sedikit minyak agar dapat menyalakan lampu. Akan tetapi Ismail telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu apapun kepada manusia lain, sehingga ia berpura-pura mendatangi rumah tetangganya, lalu memberitahu bahwa tetangganya sedang tertidur lelap sehingga tidak membukakan pintu.[1]
Ismail adalah seorang yang menghabiskan siangnya dengan bekerja dan beibadah di malam harinya. Pendapatannya yang sedikit menyebabkan ia tak bisa mencukupi keperluan istrinya yang sedang mengandung anaknya yang keempat serta tiga anaknya yang lain. Untuk itu ia selalu berdoa agar anaknya yang terakhir dikandung oleh istrinya ini adalah seorang anak laki-laki, agar nantinya anak tersebut dapat membantu meringankan beban dan melindungi seluruh keluarganya.
Pada tengah malam setelah anaknya dilahirkan, Ismail bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata kepadanya “jangan merasa sedih karena anak perempuan yang baru dilahirkan tadi, kelak akan menjadi seorang perempuan yang utama, yang nantinya tujuh puluh ribu dari umatku membutuhkan syafaatnya”. Dalam mimpi tersebut Rasulullah pun memberitahukan agar besok menemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah. Isi surat tersebut “Hai Amir, engkau biasanya membaca shalawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali setiap malam jumat. Tetapi dalam jumat terakhir ini engkau lupa membacanya. Oleh karena itu hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini sebagai kifarat atas kelalaianmu”[2].
Ismail terbangun dan menangis, lalu ia bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir melalui seorang kurir. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia berkata “berikan dua ribu dinar kepada orang tersebut sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepadanya dan katakan kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidak tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan jenggotku”[3]
Anak perempuan tersebut adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashariyah al-Quisiyah atau yang nantinya banyak disebut dengan Rabi’ah al-Adawiyah. Nama Rabi’ah yang memiliki arti ‘ke-empat’ disematkan oleh ayahnya karena sebelumnya sang ibu telah melahirkan tiga orang putri. Ia dilahirkan dekat kota Basrah (Irak) pada sekitar tahun 99 H/ 717 M[4]. Beberapa tokoh menyebut Rabi’ah lahir di tahun 714 M, ini dikarenakan begitu gelapnya kehidupan orang tuanya ketika dia dilahirkan.[5]
Rabi’ah tumbuh dalam sebuah rumah yang terpencil dan keluarga yang miskin. Walaupun pada waktu itu Basrah merupakan kota yang sangat kaya. Kondisi demikian tidak menjadikan Rabi’ah dan keluarganya menjadi terpuruk, bahkan sang ayah banyak memberikan pelajaran mengenai agama, qana’ah dan wara, sehingga aspek rohani Rabi’ah berkembang.[6] Hal ini terlihat dalam beberapa literatur yang menceritakan bahwa pada umur 10 tahun Rabi’ah sudah mengkhatamkan Al-Quran. Ayahnya menghendaki agar anaknya jauh dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya. Maka ia sering dibawa sang ayah ke sebuah mushalla di pinggiran kota Basrah untuk beribadah.[7]
Kondisi orang tuanya yang miskin, menjadikan Rabi’ah seorang yang mandiri semenjak kecil dan sangat mengerti akan kondisi tersebut, sehingga ia tidak pernah menuntut banyak terhadap orang tuanya dan menerima apapun yang diberikan oleh orang tuanya. Tanda keshalehan Rabi’ah ketika melihat kondisi keluarganya pun terlihat ketika satu kali ayahnya bertanya kepada dirinya “Wahai Rabi’ah, bagaimana pendapatmu sekiranya ayah tidak menemukan makanan kecuali yang haram?” dengan tangkas ia menjawab “kita harus banyak bersabar, karena menahan lapar di dunia jauh lebih ringan dan lebih baik daripada menanggung siksa neraka”.[8]
Orang tua Rabi’ah meninggal ketika Rabi’ah beranjak dewasa. Kematian orang tuanya menyebabkan ia harus tinggal bersama tiga saudara perempuannya dan meneruskan pekerjaan ayahnya yaitu menyeberangkan orang di sungai Dijlah dengan sampannya. Hal tersebut dilakukan untuk dapat menyambung hidup dirinya dan ketiga saudaranya. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Rabi’ah adalah anak yang paling siap mental dan fisiknya dibanding ketiga saudaranya yang lain untuk hidup mandiri. Walaupun tak jarang pula Rabi’ah menangis karena teringat kedua orang tuanya dan terkadang menangis tanpa sebab yang pasti.[9] (SI)
Bersambung ke:
Rabi’ah Al-Adawiyah Ibu Para Sufi (2) : Perjalanan Spiritual
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Syed Ahmad Semait, 100 Tokoh Wanita Terbilang, Pustaka Nasional, Singapura, 1993, hal 476-477
[2] Lihat, Asep Usmar Ismail dkk, Tasawuf, Pusat Studi Wanita, Jakarta, 2005, hal 132-133
[3] Lihat, Margareth Smith, Rabi’ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hal 8
[4] Lihat, Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal 119
[5] Lihat, M Alfatih Suryadilaga, MIftahus Sufi, Teras, Yogyakarta, 2008, hal 112-113
[6] Lihat, Op.cit Syed Ahmad Semait, hal 477
[7] Lihat, Op.cit Asep Umar Ismail, hal 133
[8] Lihat, Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi, Pustaka Progressif, Surabaya, 1993, hal 15-16
[9] Lihat, Muhammd Attiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hal 10