“Bila melihat kronologinya, Syekh Hasanuddin Quro bisa dikatakan tidak hanya sebagai peletak dakwah Islam pertama di Karawang dan Jawa Barat, tapi juga turut memberikan konstrubusi yang tidak kecil dalam rangka mengembangkan tradisi Islam damai di tanah Jawa.”
—Ο—
Menurut Agus Sunyoto, Syekh Hasanuddin Quro tidak tinggal cukup lama di Malaka. Beliau kemudian kembali lagi ke Karawang dan mendirikan mushallah yang kemudian menjadi pesantren tak jauh dari pelabuhan. Tapi berbeda dari sebelumnya, kali ini beliau berdakwah ditemani oleh murid-muridnya, salah satunya adalah Nyi Subang Larang. Dengan metode dakwah yang damai, sejuk dan mudah dimengerti, tak butuh waktu lama, dakwah beliau kembali mendapat sambutan yang luas dari masyarakat.[1]
Salah satu yang menjadi daya tarik utama dari majelis atau pesantren Syekh Hasanuddin Quro, adalah kegiatan membaca Al Quran yang demikian memikat. Sejumlah sumber yang menginformasikan tentang majelis Syekh Quro umumnya menyebutkan bahwa Syekh Hasanuddin Quro memiliki suara yang merdu dan sangat enak didengar ketika membaca Al Quran. Kemampuan ini ternyata tidak hanya dikuasai oleh beliau, tapi juga murid-muridnya, terutama Nyi Subang Larang. Semua kegiatan tersebut ternyata berhasil menarik perhatian masyarakat, sehingga mereka berminat masuk Islam dan mendalami Al Quran.
Tapi lagi-lagi, aktifitas mereka kembali terdengar oleh Prabu Angga Larang. Mendengar kemajuan pesat yang dicapai oleh Syekh Hasanuddin Quro, sang Prabu meradang. Kali ini ia mengutus langsung putra mahkotanya, yaitu Raden Pamanah Rasa untuk menutup pesantren tersebut. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al Quran yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik dan halus budinya itu. Dan lamaran itupun diterima oleh Nyi Subang Larang. [2]
Setelah terjadi pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Larang, historiografi Cirebon, seperti Carita Purwaka Caruban dan Babad Cerbon, serta naskah-naskah lokal lainnya, tidak lagi menceritakan lebih jauh tentang perkembangan dakwah Syekh Hasanuddin Quro selanjutnya. Umumnya kisah tersebut langsung berlanjut pada kisah Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Larang yang kemudian melahirkan raja-raja Muslim di Tanah Parahyangan.
Dari pernikahan tersebut, Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Larang dikaruniai 3 orang putra dan putri, di antaranya: 1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ); 2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im (Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi); dan 3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang (Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi). Ketiganya, merupakan tokoh-tokoh utama yang dengan gigih menyebarkan Islam di Jawa Barat. Khusus dari Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im, kelak lahir salah satu Walisongo di yang nyebarkan Islam di Jawa Barat bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. [3]
Hal lainnya, menurut Agus Sunyoto, berdasarkan naskah Negarakretabhumi sarga III disebutkan bahwa Syekh Hasanuddin Quro memiliki putra bernama Syekh Bentong yang menikah dengan seorang Muslimah beretnis China bernama Siu The Yo. Dari perkawinan ini lahir seorang putri bernama Sie Ban Ci yang kemudian diperistri oleh Prabu Brawijaya V Raja Majapahit. Dan dari Sie Ban Ci, Prabu Brawijaya V dikaruniai seorang putra bernama Raden Patah yang di kemudian hari menjadi Sultan Demak. Jika sumber ini otentik, maka bisa dikatakan bahwa Syekh Hasanuddin Quro merupakan kakek butut Raden Patah dari jalur ibu.[4]
Adapun di Karawang sendiri, Syekh Hasanuddin Quro merupakan leluhur dari para pemuka masyarakat Karawang. Menurut informasi dari situs resmi Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Barat, Syekh Hasanuddin Quro menikah dengan Ratna Sondari, dan dari pernikahan ini lahirlah Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Setelah melakukan islamisasi di Karawang, Syekh Hasanuddin Quro kemudian menjalani hidup menyendiri di Kampung Pulobata, Pulokalapa. Di kampung ini beliau melakukan ujlah untuk mendekatkan diri kepada Allah agar memperoleh kesempurnaan hidup. Hal ini beliau lakukan hingga akhir hayat. [5]
Dengan demikian, bila melihat kronologinya, Syekh Hasanuddin Quro bisa dikatakan tidak hanya sebagai peletak dakwah Islam pertama di Karawang dan Jawa Barat, tapi juga turut memberikan konstrubusi yang tidak kecil dalam rangka mengembangkan tradisi Islam damai di tanah Jawa.
Saat ini, Komplek makam beliau berada pada lahan seluas 2.566 m2 yang batas-batasnya sebelah utara pemukiman, timur, selatan, dan barat berupa sawah. Di sekitar Komplek makam ini disediakan tempat parkir kendaraan para peziarah; serta terdapat deretan warung yang menyediakan makanan serta benda-benda untuk keperluan ibadah seperti tasbih, peci, mukena, baju koko, dan kitab. Lahan tempat berjualan ini terletak di sebelah timur komplek makam. Aktivitas berjualan kelihatan hidup pada setiap hari Jumat malam hingga Sabtu, karena pada hari itu merupakan hari puncak pelaksanaan ziarah.[6] (AL)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, Tanggerang Selatan, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 90-91
[2] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Qurotul_Ain, diakses 27 Juli 2018
[3] Ibid
[4] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit, hal. 91
[5] Lihat, http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=165&lang=id#sthash.nKCRrg8i.dpuf, diakses 27 Juli 2018
[6] Menurut situs resmi Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Barat; Makam Syech Quro ditemukan oleh Raden Sumareja (Ayah Jiin) dan Syech Tolha pada hari Sabtu akhir bulan Sya’ban tahun 1859. Mungkin karena ditemukan pada hari Sabtu maka hingga sekarang pada setiap hari Sabtu banyak orang yang berziarah. Lihat, http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=165&lang=id#sthash.nKCRrg8i.dpuf, Op Cit