Pelaksanaan Maulid Nabi sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun lalu oleh Umat Islam di dunia. Menurut AM. Waskito, setidaknya ada tiga versi tentang asal mula peringatan maulid:
Pertama, perayaan Maulid pertama kali diadakan oleh Dinasti Ubaid (Fathimi) di mesir yang berhaluan Syiah Ismailiyah (Rafidhah). Dinasti ini berkuasa di Mesir pada tahun 362 sampai dengan 567 Hijriyah. Maulid mula-mula diselenggarakan di era kepemimpinan Abu Tamim yang memiliki gelar Al-Muiz Dinillah. Tidak hanya Maulid Nabi Muhammad SAW saja yang mereka peringati, ada juga hari lainnya, yaitu peringatan Asyura, Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Hasan dan Husain, dan Maulid Fathimah binti Rasulullah.[1]
Kedua, peringatan Maulid dari kalangan Sunni pertama kali diselenggarakan oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri, gubernur Irbil di Irak. Sultan Abu Said hidup pada tahun 549-630 H. Pada saat peringatan Maulid beliau mengundang para ulama, ahli tasawuf, ilmuwan, dan seluruh rakyatnya. Beliau menjamu tamu dengan hidangan makanan, berbagi hadiah, dan bersedekah kepada fakir miskin.[2]
Ketiga, peringatan Maulid pertama kali diselenggarakan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi (567-622 H), penguasa dinasti Ayyub (di bawah kekuasaan Daulah Abbassiyah). Tujuannya adalah untuk meningkatkan semangat jihad umat Islam pada saat Perang Salib dan merebut Yerusalem dari kerajaan Salibis.[3]
Manakah versi yang benar? Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan: “orang yang pertama kali merintis peringatan Maulid ini adalah penguasa Irbil, Malik Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukabri bin Zainuddin bin Baktatin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun masjid Al-Jami’ Al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun.”[4]
Apabila dilihat dari jalannya sejarah, ketiga versi di atas bisa dihubungkan. Kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi di Mesir dimulai ketika Dinasti Ubaid sudah runtuh. Menurut catatan sejarah, tradisi-tradisi yang dilahirkan oleh Dinasti Ubaid tetap melekat dalam kehidupan masyarakat Mesir, bahkan sampai hari ini. Sebagai penguasa baru pada waktu itu, Shalahuddin Al-Ayyubi tidak sepenuhnya membuat aturan yang benar-benar baru, untuk menjaga popularitasnya beliau mengadaptasikan tradisi-tradisi yang sudah berkembang di masyarakat ke dalam aturan pemerintahannya.[5]
Lalu bagaimana keterkaitannya dengan Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri yang juga menyelenggarakan Maulid Nabi? Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri dan Shalahuddin Al-Ayyubi hidup di masa yang sama, dan ternyata mereka berdua memiliki hubungan kekerabatan, mereka adalah saudara ipar. Shalahuddin Al-Ayyubi memiliki saudara perempuan yang bernama Rabiah Khatun binti Ayyub, yang dinikahkan dengan saudara laki-laki dari Malik Al-Muzhaffar Abu Sa’id. Melihat efektifitas peringatan Maulid bagi semangat jihad masyarakat Mesir, besar kemungkinannya Malik Al-Muzhaffar Abu Sa’id ingin mengadaptasikan kegiatan tersebut di daerahnya.[6]
Namun, sekarang mari kita lihat fakta sejarah lainnya, Ali bin Abu Thalib, khalifah ke-empat Sunni dan sekaligus Imam pertama bagi Syiah, beserta keluarga dan pengikutnya pindah ke Kufah pada tahun 36 Hijriyah, dan kemudian menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahannya yang sebelumnya berada di Madinah. Dalam banyak kisah, keberadaan Imam Ali[7] di Kufah sangat membekas bagi penduduknya, di mana mereka melihat langsung keluhuran ilmu dan akhlak dari sang Imam beserta keturunannya, yakni Hasan dan Husain, yang kelak akan menjadi Imam selanjutnya bagi Syiah.[8]
Menurut Syed Husain M. Jafri, Kufah adalah tempat pertama di mana Syiah menancapkan fondasi keyakinan dan pergerakannya ke dalam level baru yang lebih massif dan sistematis, yakni setelah kedatangan Khalifah ke-empat, Imam Ali bin Abi Thalib.[9] Kufah, yang kini menjadi bagian dari negara Irak yang mayoritas penduduknya adalah Syiah, besar kemungkinannya memiliki banyak kesamaan tradisi dengan Dinasti Syiah di Mesir pada masa Ubaid. Mengingat pengaruh Syiah yang menyebar luas di Irak, bisa jadi, sebelum Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri naik ke tampuk kekuasaan, tradisi Maulid Nabi memang sudah pernah berlangsung di sana. Wallahua’lam.
Terlepas dari berbagai fakta sejarah di atas, pada hari ini, baik Sunni maupun Syiah di seluruh dunia sama-sama memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW tanpa terlalu mempedulikan dari mana asal-usulnya, yang mereka tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok agung penyelamat seluruh bangsa yang layak dicintai dan dicontoh oleh seluruh umat Islam. Hanya beberapa minoritas kelompok Sunni saja yang secara tegas melarang praktik ini karena dianggap bid’ah.
Peringatan Maulid Nabi ini, dengan berbagai versi tanggalnya, kini dipraktikan secara meriah di berbagai belahan dunia dengan berbagai motivasi, di antaranya mengungkapkan rasa suka cita atas kelahiran Rasulullah SAW, ekspresi rasa cinta terhadap Rasulullah SAW, ungkapan rasa syukur, menambah keimanan dan keislaman, sarana dakwah, sarana shadaqah, berdzikir, perenungan batin, melestarikan ajaran Islam, inspirasi kehidupan, dan berbagai macam motivasi lainnya. (PH)
Bersambung ke:
Maulid Nabi Muhammad SAW (3): Gallery Peringatan Maulid di berbagai Negara
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm 23.
[2] Ibid., hlm 24.
[3] Ibid., hlm 24.
[4] Ibid., hlm 24.
[5] Ibid., hlm 26-27.
[6] Ibid., hlm 26-27.
[7] Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya Khulafaur Rasyidin yang mendapat gelar “Imam”, menurut Prof Dr H Quraish Shihab, gelar Imam yang disematkan terhadap Ali bin Abi Thalib diberikan atas dasar kesepakatan kaum Anshar dan Muhajirin karena keluasan ilmu agama yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib.
[8] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 543-547.
[9] Syed Husain M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi’a Islam (Stacey Publishing: London, 2007), chapter 5.