Sepuluh tahun pertama pemerintahan Harun Al-Rasyid, pemberontakan dan kerusuhan terjadi di banyak wilayah, khususnya di wilayah perbatasan seperti Mesir, Suriah, dan Khurasan. Meski begitu, satu persatu permasalah tersebut bisa diatasi dengan baik oleh Harun Al-Rasyid. Setelah periode ini, Dinasti Abbasiyah mulai mencapai titik keseimbangan (Equilibrium).
Fadl bin Yahya bin Khalid berangkat ke Dailam bersama armada yang sangat besar. Tujuannya adalah untuk menghilangkan ancaman dari Yahya bin Abdullah yang dikini sudah didukung oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Tabari, Ketika itu kondisi cuaca sangat tidak bersahabat. Salju turun dan suhu menjadi sangat minim. Ini sebabnya ketika sudah mendekati wilayah Dailam, Fadl memerintahkan pasukannya untuk berhenti di daerah Rayy (Iran sekarang).[1]
Di tempat itulah dia mulai memerintahkan pada juru tulisnya untuk menulis surat kepada Yahya bin Abdullah. Menurut Tabari, beberapa balasan surat antara kedua orang tersebut. Pada intinya, Fadl bin Yahya meminta agar Yahya bin Abdullah menyerah dan mengakui legitimasi Harun Al-Rasyid. Dia juga berjanji, bila Yahya bersedia mematuhi keinginannya, maka Fadl akan memberikannya harta yang banyak dan juga pemukian yang layak.[2]
Yahya bin Abdullah pun bersediri memenuhi pemintaan tersebut, tapi dengan sejumlah syarat. Salah satunya, dia ingin agar Harun Al-Rasyid mengeluarkan surat yang langsung ditulis oleh tangannya sendiri, berisi tentang perintah kepada Fadl bin Yahya untuk menjamin keselamatan hidup Yahya bin Abdullah. Yahya juga meminta agar penandatanganan perjanjian damai yang diminta Fadl tersebut langsung dengan Harun Al-Rasyid. Dan yang terpenting, perjanjian tersebut harus dilakukan dihadapan para saksi, hakim, dan para pemuka Bani Hasyim.[3]
Setelah mendapatkan semua persyaratan dari Yahya bin Abdullah, Fadl pun langsung mengirimkan surat kepada Harun Al-Rasyid tentang semua syarat yang dimina Yahya tersebut. Mendapat persyarat damai dari Yahya, Harun Al-Rasyid sangat gembira. Seketika dia langsung menyanggupi untuk memenui semua persyaratan tersebut. dia pun langsung menulis sendiri surat perintah kepada Fadl bin Yahya, yang isinya memerintahkan agar Fadl menjamin keselamatan Yahya.[4]
Mendapat perintah langsung dari khalifah, Fadl langsung menyampaikan berita ini pada Yahya. Mereka pun menandatangi perjanjian yang isinya, bahwa Fadl akan menjamin keselamatan Yahya dengan cara apapun, dan menyerahkan uang sebasar 1.000.000 Dirham sebagaimana yang dijanjikannya. Setelah menandatangi perjanjian tersebut, kedua orang ini pun berangkat bersama ke Baghdad, untuk menandatangi perjanjain damai yang sesungguhnya dengan Harun Al-Rasyid.[5]
Di Baghdad, Yahya bin Abdullah ternyata sudah ditunggu oleh khalifah. Dia disambul dengan tangan terbuka dan suka ria oleh Harun Al-Rasyid. Setelah semua persiapan saksi, hakim dan para pemuka Bani Hasyim berkumpul, maka penandatanganan perjanjian pun dimulai. Perjanjian ini juga ditandatangi oleh para saksi yang hadir. Setelah perjanjian tersebut, Fadl diberikan promosi jabatan dan Yahya diberikan memukiman yang layak di Kota Baghdad. Sejak hari ini, Yahya bin Abdullah hidup di kota tersebut di bawah perlindungan khusus dari Fadl bin Yahya.[6]
Masih di tahun 176 H, terjadi kerusuhan besar di Suriah. Kerusuhan ini diawali oleh pecahnya perang sipil antara kelompok Mudhar dan Yaman yang membuat situasi keamanan jadi tidak menentu. Harun Al-Rasyid memutuskan untuk mengganti gubernur Suriah dengan sosok bernama Ibrahim bin Saleh. Sayangnya, Ibrahim tidak berdiri di tengah untuk memadam konflik ini. Dia justru memihak kelompok Yaman. Maka yang terjadi kemudian bukan lagi perang sipil, melainkan pemberontakan kelompok Mudhar terhadap penguasa yang mendukung kelompok Yaman. Kelompok Mudhar pun menyerang Kota Damaskus, dan akhirnya berhasil menguasai kota tersebut, serta mengusir Ibrahim bin Saleh.[7]
Harun Al-Rasyid akhirnya memerintahkan kepada Ja’far bin Yahya, yang juga adiknya Fadl bin Yahya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Maka berangkatlah Ja’far bin Yahya dengan pasukannya. Tujuannya kali ini jelas, adalah merebut Kota Damaskus dari kaum pemberontak. Dalam waktu singkat, Ja’far berhasil menembus dinding Kota Damaskus dan mengendalikan situasi. Ja’far segera membereskan semua masalah di kota tersebut. Setelah itu dia pun kembali ke Baghdad, dan melaporkan kebarhasilannya pada Harun Al-Rasyid.[8]
Pada tahun 177 H, terjadi pemberontakan di Kota Mosil yang dipimpin oleh sosok bernama Attaf bin Sufyan. Dia berhasil menguasai kota tersebut dan memenjarakan gubernurnya. Setelah berkuasa, dia sempat beberapa waktu menarik pajak dari rakyat sebanyak dua kali lipat dengan cara intimidasi. Mendengar berita ini, Harun Al-Rasyid memimpin sendiri pasukannya dari Baghdad menuju Mosil. Tapi mendengar kedatangan Harun, Attaf langsung melarikan diri ke Armenia.[9]
Pada tahun 178 H, terjadi juga pemberontakan di Mesir. Dimana ketika itu kaum pemberontak berhasil menggulingkan gubernur berkuasa, dan mengambil alih wilayah Mesir. Tapi ini tidak berlangsung lama. Harun Al-Rasyid memerintahkan Harsyimah bin Ayun yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Palestina untuk membawa pasukannya ke Mesir dan merebutnya kembali dari tangan pemberontak. Harsyimah pun berhasil dengan sukses membawa kembali Mesir ke pangkuan Dinasti Abbasiyah.[10]
Sebagai ganjarannya, dia dinobatkan oleh Harun Al-Rasyid sebagai penguasa Mesir. Akan tetapi, hanya satu bulan Harsyimah menjabat sebagai gubernur di sana. Setelah itu dia disingkirkan dan digantikan oleh Abdul Malik bin Saleh. Pada tahun yang sama (178 H), pecah juga pemberontakan kaum Khawarij di daerah Khurasan. Sama seperti yang terjadi pada wilayah-wilayah lain, di tempat ini pula terjadi kerusuhan yang cukup besar. Tapi dalam waktu cukup singkat, aparatur Harun Al-Rasyid berhasil mengendalikan situasi di sana dan menghukum mati para tokoh pemberontak.[11]
Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa sepuluh tahun pertama pemerintahan Harun Al-Rasyid adalah proses pengukuhan integrasi wilayah Dinasti Abbasiyah. Sebagaimaan kita saksikan, tahun demi tahun pemberontakan dan kerusuhan terjadi tanpa jedah di sejumlah wilayah yang berada di titik terjauh kekuasaan Abbasiyah (Mesir, Suriah, dan Khurasan). Harus diakui, kemampuannya memadamkan dan mengendalikan keadaan di semua wilayah tersebut menunjukkan sebuah talenta yang sangat langka. Sebagaimana kita saksikan, Harun berhasil memadukan dalam dirinya ketajaman strategis seorang jenderal, ketelitian seorang manajer, dan kecerdikan seorang politikus. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 117
[2] Ibid
[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 343
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, Op Cit, hal. 132
[8] Ibid
[9] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit. Hal. 344
[10] Ibid
[11] Ibid