Umumnya sejarawan menilai bahwa era pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan puncak masa keemasan peradaban Islam. Tapi di balik gemerlap pencapaian tersebut, sejarah politik Dinasti Abbasiyah tak kurang mengerikan dari sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Tulisan ini hanya berupaya mengisahkan kronologi sejarah imperium terbesar abad pertengahan ini.
Dari sekian banyak imperium yang pernah berdiri di muka bumi, sejarah tidak mungkin melewatkan eksistensi Dinasti Abbasiyah. Inilah imperium terbesar di muka bumi pada abad pertengahan. Luas wilayahnya membentang dari India, Asia tengah, hingga ke Afrika Utara. Sedang pengaruh kekuasaannya mencapai Asia Timur, Afrika, bahkan hingga Eropa.[1]
Disamping luas kekuasaannya, Dinasti Abbasiyah juga meninggalkan jejak peradaban yang unggul. Selama sekitar 500 tahun eksistensinya (750-1258), peradaban Islam berkembang mencapai kemajuan-kemajuan mengagumkan yang belum pernah disaksikan umat manusia sebelumnya. Filsafat, ilmu pengetahuan dan seni berkembang sedemikian rupa, bahkan karya-karya para ilmuwan Muslim yang hidup dalam rentang masa ini, masih bisa kita gunakan sampai sekarang. Mereka meletakkan fundamen yang kokoh bagi berkembangnya berbagai bidang kehidupan manusia di kemudian hari, mulai dari filsafat, logika, bahasa, matematika, kimia, fisika, kedokteran, astronomi, geografi dan Seni.[2]
Tapi di balik gemerlap pencapaian tersebut, sejarah politik Dinasti Abbasiyah, tak kurang mengerikan dari sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Intrik politik, penindasan, pertumpahan darah, pemberontakan hingga pembantaian juga terjadi di sepanjang sejarah dinasti ini. Tulisan sederhana ini, hanya berupaya mengisahkan secara kronologis dinamika politik dinasti ini mulai dari awal kemunculannya, hingga akhir eksistensinya.
Asal usul
Dinasti Abbasiyah, layaknya Dinasti Umayyah dan banyak dinasti lain di dunia, adalah sebuah kelompok oligarki politik. Meski nama-nama dinasti tersebut kerap menggunakan nama leluhur mereka, seperti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, dll, tapi pada faktanya, sistem tiap dinasti tidak selalu identik dengan satu individu atau keluarga tertentu. Nama-nama tersebut diambil sebagai sumber legitimasi mereka, sekaligus sebagai tajuk untuk mengikat identitas kolektif pendukung mereka. Dan Dinasti Abbasiyah, tidak lain adalah rezim keluarga Abbas atau Bani Abbas.
Bani Abbas merupakan keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad Saw. Selama hidupnya, Abbas senantiasa menaruh perhatian besar pada kemajuan agama Islam. Abbas-lah yang menemani Rasulullah Saw tatkala “Ikrar Perempuan” dinyatakan di antara Rasulullah Saw dan rombongan orang Madinah. Tapi karena kelemahan wataknya, atau karena alasan politik, dia baru memeluk agama Islam terang-terangan menjelang Mekah akan jatuh. Akan tetapi, Rasulullah Saw tetap memperlakukan pamannya itu dengan penuh kasih sayang dan penuh hormat. Teladan Rasulullah Saw kemudian diikuti oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka turun dari kendaraannya jika berjumpa dengan Abbas di jalan; dan tidak jarang mereka menemani hingga ke rumahnya. Abbas meninggal sekitar tahun 32 H. beliau meninggalkan empat orang anak laki-laki, yaitu Abdullah, Fazl, Ubaidullah, dan Khaitan.[3]
Abdullah bernama lengkap Abu Al Abbas Abdullah bin Abbas, atau lebih akrab disebut Ibn Abbas. Dia lahir pada tahun 619 M atau tiga tahun sebelum Hijrah. Dia belajar Al Quran dan hukum pada Ali bin Abi Thalib – yang oleh Rasulullah Saw dijuluki sebagai babul ilmi (gerbang ilmu kenabian). Di bawah bimbingan Ali, Ibn Abbas menggapai reputasi sebagai seorang ulama dan ahli dalam tafsir Al Quran. Dia kerap kali membantu para Khulafah Rasyidin mengambil keputusan-keputusan, sehinga membuatnya termasyhur dan membuat orang-orang berduyun-duyun untuk mendengar kuliah-kuliahnya.[4]
Sebagaimana dikatakan oleh Syed Ameer Ali, dalam seminggu, hari-hari Ibn Abbas banyak digunakan untuk menyampaikan ilmu. Hari pertama dia menggelar kuliah umum tentang tafsir Al Quran, hari kedua beliau mengajar tentang hukum Islam, hari ketiga tentang tata bahasa Arab, hari keempat tentang sejarah Arab, dan hari kelima tentang syair.[5]
Kecintaan dan kesetiaan Ibn Abbas dan saudara-saudaranya yang begitu kuat pada Ali sudah dikenal luas. Keempat bersaudara itu ikut bertempur dalam Perang Unta dan Perang Shiffin. Tak hanya sebagai ulama, sebagai tentara pun Ibn Abbas tak kurang cakapnya. Dia memimpin pasukan berkuda Ali. Dia sering bertindak sebagai duta pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dialah sosok yang diinginkan Ali sebagai wakil keluarga Muhammad ketika Ali dipaksa pasukannya yang keras kepala untuk menyerahkan penyelesaian pertikaiannya dengan Mu’awiyah melalui cara arbitrase.[6]
Ibn Abbas meninggal di Thaif pada 67 H, dikarenakan sedih setelah mendengar berita kesyahidan Husein bin Ali di Karbala. Anak laki-lakinya yang diberi nama sama dengan khalifah Ali, mengikuti jejak ayahnya dalam kecintaannya pada anak keturunan Ali dan Fatimah. Dia meninggal pada tahun 117 H. Kemudian putranya yang bernama Muhammad, menggantikannya sebagai kepala keluarga besar Bani Abbas.[7]
Pada saat itu, Persia, Irak, Hijaz, yang banyak menderita karena kekejaman Dinasti Umayyah, merupakan sarang bagi gerakan-gerakan rahasia yang bertujuan menggulingkan Dinasti Umayyah. Gerakan ini awal mulanya mencuat setelah tragedi Karbala yang menyebkan Husein bin Ali dan keluarganya terbunuh. Banyak kaum Muslimin yang menyesali kejadian tersebut, dan melakukan protes pada rezim Umayyah. Lama kelamaan, gerakan protes ini berkembang menjadi pemberontakan dan gerakan perlawanan, dengan spektrum yang semakin luas.[8]
Di akhir masa Dinasti Umayyah, banyak gerakan pemberontakan yang terjadi. Dan di antara banyak gerakan tersebut, Bani Abbas adalah salah satu pihak yang paling aktif melakukan gerakan untuk menggulingkan kekuasaan Umayyah. Mereka mengusung isu paling krusial, yaitu mengembalikan daulat keluarga Muhammad (Ahlul Bait). Dan masyarakat percaya. Karena bagaimanapun, Bani Abbas juga berasal dari Bani Hasyim, asal keluarga Rasulullah Saw. Pada mulanya, gerakan tersebut tampak lahir dari niat tulus untuk mengembalikan hak dan kehormatan keluarga Rasulullah Saw. Tapi kemudian, alasan itu bergeser, menjadi gerakan yang ditujukan demi kepentingan sendiri.[9] (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Lihat, The Golden Age of Islam, https://www.khanacademy.org/humanities/world-history/medieval-times/cross-cultural-diffusion-of-knowledge/a/the-golden-age-of-islam, diakses 28 Januari 2019
[2] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 363-407
[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902, hal. 278
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, hal. 279
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Lihat, Abbasid Chalipate, http://www.iranicaonline.org/articles/abbasid-caliphate, diakses 28 Januari 2019
Saya sangat suka membaca di artikel ini, semoga admin terus semangat amiiin gimana cara saya mendukung atau mendonasi di web ini