Dinasti Abbasiyah lahir dari sebuah revolusi. Sebagaimana halnya revolusi di dunia, revolusi Abbasiyah juga terdiri dua komponen utama, yaitu rakyat dan pemimpin. Persoalannya, bukan Bani Abbas yang meracik aspirasi masyarakat dan visi revolusi mereka. Dan bukan juga mereka yang dipahami oleh masyarakat sebagai pemimpin mereka.
Dalam carut marut situasi politik di akhir periode kekuasaan Bani Umayyah, banyak pihak yang menggalang dukungan rakyat untuk melakukan pemberontakan. Berbagai motifnya, beraneka rupa motodologi gerakannya. Tapi ada satu kesamaannya, yaitu dendam politik yang bercampur dengan kekecewaan atas segenap kebijakan yang dikelurkan oleh para penguasa Dinasti Umayyah. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, tapi juga elit di sekitar lingkungan keluarga istana sendiri. Puncaknya, terjadi ketika Marwan bin Muhammad naik sebagai Khalifah terakhir Bani Umayyah.
Muhammad bin Marwan bin Muhammad dilantik sebagai khalifah pada akhir tahun 126 H, dan lebih dikenal dengan sebutan Marwan II, untuk membedakannya dari kakeknya, Marwan bin Hakam. Dia naik ke puncak kekuasaan Dinasti Umayyah melalui sebuah pemberontakan militer. Sebelumnya dia adalah penguasa di Armenia dan Asia Tengah. Dia datang bersama pasukannya dari Armenia dan menggulingkan kekuasaan Ibrahim bin Walid, yang baru menjabat selama 70 malam.[1]
Sebelumnya, Marwan II sempat melakukan upaya pemberontakan terhadap pemerintahan Yazid bin Walid (Yazid III)[2] yang juga naik tahta melalui sebuah kudeta terhadap Walid II. Marwan II adalah sosok yang sangat mencintai Walid II. Hanya saja, pemberontakan yang dilakukannya tidak dilanjutkan, karena Yazid III memberi penawaran yang sangat menggiurkan, yaitu menjadi penguasa otonom yang mencakup wilayah Azarbaijan, Armenia dan Mosil.[3] Meski begitu, Marwan bin Muhammad tetap memelihara sekam di dadanya. Dia secara seksama memantau perkembangan yang terjadi di Damaskus, dan secara tidak langsung menjadi oposisi pemerintahan Yazid III.
Dan ketika berita tentang wafatnya Yazid III tiba, Marwan II langsung berangkat ke Damaskus bersama sekitar 80.000 pasukannya. Dengan mudah dia menaklukkan Damaskus dan langsung didaulat sebagai Khalifah. Tabari mengisahkan, bagaimana dendam di dalam diri Marwan kepada Yazid III ternyata demikian hebat. Ketika menjabat, dia langsung memerintahkan agar mayat Yazid III, yang sudah meninggal, digali kembali. Mayat tersebut lalu disalib dan digantung di gerbang kota.[4]
Marwan III menanggung warisan kekuasaan yang rapuh. Perpecahan internal keluarga Umayyah sudah terjadi demikian parah, dan masyarakat pun sudah mendeligitmasi kedaulatan mereka. Sikap politik masyarakat ini terekspresikan dalam rangkaian pemberontakan yang terjadi selama pemerintahan Marwan bin Muhammad. Dan Marwan, bukanlah sosok politikus, apalagi negarawan. Waktu hidupnya habis di medan tempur. Logikanya hanya menang-kalah. Dia hanya mengenal bahasa pedang. Selama masa pemerintahannya, darah kaum Muslimin bertumpahan dimana-mana.[5]
Hanya beberapa bulan menjabat sebagai khaliafh, Marwan II langsung disambut oleh sejumlah pemberontakan. Pemberontakan pertama pecah di Hims, tempat yang sebelumnya memberikan baiatnya kepada Marwan. Di saat yang hampir bersamaan, pasukan Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantine V melancarkan serangan ke Asia Kecil. Pasukan Bani Umayyah yang berada di tempat itu terpaksa mundur, dan pada tahun berikutnya pasukan musuh berhasil menguasai perbatasan Suriah bagian utara. Dalam situasi ini, Marwan memilih terlebih dahulu mengamankan Hims yang jaraknya hanya 30 Mil dari Damaskus. Ketika Marwan berhasil memadamkan pemberontakan di Hims, lagi-lagi, dia memperlakukan musuhnya demikian kejam. Dia menyalib korban-korban yang terbunuh di dinding-dinding kota.[6]
Belum sempat bernapas lega, pemberontakan kembali pecah di pinggir kota Damaskus, lalu di Palestina, dan juga di Irak yang dipimpin oleh Dhahak bin Qais Asy-Syaibani. Dhahak bahkan berhasil membunuh Gubernur Irak dan menguasai kota tersebut. Meski begitu, satu persatu rangkaian pemberontakan ini dapat taklukkan oleh Marwan II. Di internal keluarga Umayyah sendiri, masalah belum tuntas. Sulaiman bin Hisham, yang dulunya pernah disiksa oleh Walid II, juga melakukan pemberontakan. Dia melihat sosok Marwan sebagai representasi Walid II, sehingga dia mengganggap inilah momen untuk membalas kezhaliman yang dialaminya pada masa Walid II. Namun perlawanannya dapat dipatahkan oleh Marwan. Diapun melarikan diri, dan wafat di India.[7]
Marwan bin Muhammad memerintah selama sekitar 5 tahun. Tapi tak seharipun kursi kekuasannya tenang. Demikian kisruhnya suasana sosial politik masa itu, hingga dia memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Mesopotamia, wilayah bekas kekuasaannya. dia merasa lebih aman di wilayah yang sudah dikenalnya, daripada di Damaskus.[8]
Meski demikian perkasa menghadapi serangkaian front pertempuran, namun pada akhirnya laju sejarah tidak bisa dihentikan. Di Khurasan, sebuah kekuatan yang sudah bertahun-tahun disusun rapih tiba-tiba muncul ke permukaan. Kekecewaan yang objektif dari kebijakan yang diskrimintaf, represif dan merugikan rakyat adalah bahan bakar utama pemberontakan ini. Kali ini aspirasi memberontak memang berasal dari rakyat. Bukan disebabkan oleh provokasi elit. Ini yang menjadikannya berbeda dari banyak pemberontakan sebelum-sebelumnya. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Tapi kedudukan Ibrahim nyaris tidak diakui oleh sejarawan. Menurut Tabari terjadi delegitimasi yang intens terhadap kedudukannya – hanya seminggu menjabat sebagai khalifah, posisinya diturunkan menjadi hanya sekedar Amir, dan hanya seminggu menjabat sebagai Amir, diapun seakan hilang dari orbit kekuasaan, bukan khalifah, bukan pula seorang Amir. Tabari melanjutkan, menurut Abu Hashim Mukhallad bin Muhammad: masa pemerintahan hanya berlangsung 70 malam. Ini agak lebih lama dari durasi kekuasaan Muawiyah bin Yazid (Muawiyah II) yang hanya menjabat 40 hari saja. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVI., The Waning of the Umayyad Caliphate, Translated by Carole Hillenbrand, State University of New York Press, 1990. Hal. 247-248
[2] Yazid bin Walid (Yazid III) hanya berkuasa sekitar 6 bulan. Para sejarawan berbeda pendapat tentang usianya ketika wafat. Ada yang mengatakan ia wafat pada usia 46 dan ada pula yang mengatakan ia wafat pada usia 37. Tidak ada catatan khusus tentang sebab kematiannya yang terbilang mendadak dan masih di usia muda. Ia wafat dikarenakan sakit. Setelah Yazid III, saudaranya Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik menggantikan naik tahta. Terkait hal ini, Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikelnya mengutip Imam Suyuthi menceritakan sebenarnya Yazid III menolak memberi wasiat untuk mengangkat Ibrahim sebagai penggantinya. Kabarnya saat Yazid III pingsan menjelang wafatnya, Qathn menulis surat wasiat atas nama Yazid III yang berisikan pengangkatan Ibrahim sebagai khalifah. Jadi, ini semacam fait accompli. Lihat, Nadirsyah Hosen, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-yazid-bin-al-walid-fitnah-ketiga-dalam-sejarah-islam/, diakses 24 Maret 2018
[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, hal. 240
[4] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 1
[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, Hal. 250
[6] Lihat, Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Op Cit, hal. 5
[7] Ibid, hal. 9-19
[8] Ibid, hal. 19-27